Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Proyek Pelaporan Kejahatan Terorganisasi dan Korupsi atau Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) mengungkapkan alasan mengapa Presiden ke-7 Joko Widodo menjadi finalis tokoh terkorup 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
OCCRP, dalam siaran persnya, mengatakan tidak memiliki kendali atas siapa saja yang dinominasikan. Sebab, berbagai saran datang dari orang-orang di seluruh dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini termasuk nominasi Jokowi sebagai tokoh terkorup 2024. OCCRP memasukkannya ke dalam finalis yang memperoleh dukungan daring terbanyak. Selain itu, ada beberapa dasar lain.
“Para juri menghargai nominasi warga negara, tapi dalam beberapa kasus, tidak ada cukup bukti langsung tentang korupsi yang signifikan atau pola pelanggaran yang sudah berlangsung lama,” kata Penerbit OCCRP Drew Sullivan pada Kamis, 2 Januari 2025.
Namun, ia mengatakan jelas ada persepsi kuat di antara warga negara tentang korupsi. Ini seharusnya menjadi peringatan bagi mereka yang dinominasikan bahwa masyarakat peduli dan sedang memperhatikan.
"OCCRP tidak memiliki bukti bahwa Jokowi terlibat dalam korupsi untuk keuntungan finansial pribadi selama masa jabatannya," ujar Sullivan. "Namun, kelompok masyarakat sipil dan para ahli mengatakan bahwa pemerintahan Jokowi secara signifikan melemahkan komisi antikorupsi Indonesia (KPK)."
Selaon itu, OCCRP menilai Jokowi juga dikritik secara luas karena merusak lembaga pemilihan umum (pemilu) dan peradilan Indonesia. "Demi menguntungkan ambisi politik putranya (Gibran Rakabuming Raka) yang sekarang menjadi wakil presiden."
Lebih lanjut, Sullivan mengatakan keputusan akhir untuk penghargaan "Tokoh Tahun Ini" dibuat oleh panel juri. Para juri ini terdiri dari masyarakat sipil, akademisi, dan jurnalis yang berpengalaman menyelidiki korupsi dan kejahatan. Merekalah yang menyeleksi 55 ribu tokoh yang diusulkan.
Pada 2024, penghargaan tokoh terkprup diberikan kepada mantan Presiden Suriah Bashar al-Assad. Kendati tidak termasuk dalam nominasi terbanyak, ia dipilih karena perannya. Assad dinilai mengacaukan Suriah dan kawasan melalui jaringan kriminal terbuka, pelanggaran hak asasi manusia yang signifikan termasuk pembunuhan massal, dan korupsi.
Sullivan menuturkan, proses seleksi akhir OCCRP didasarkan pada penelitian investigasi dan keahlian kolektif jaringan. Penghargaan ini menyoroti sistem dan aktor yang memungkinkan terjadinya korupsi dan kejahatan terorganisasi, tapi juga berfungsi sebagai pengingat akan kebutuhan berkelanjutan untuk mengungkap ketidakadilan.
Ia menggarisbawahi, penghargaan ini terkadang disalahgunakan oleh individu yang ingin memajukan agenda atau ide politik mereka. Namun, tujuan dari penghargaan ini untuk memberikan pengakuan terhadap kejahatan dan korupsi.
"Kami akan terus menyempurnakan proses nominasi dan seleksi, dengan memastikan transparansi dan inklusivitas," ujar Sullivan. Selain itu, pelaporan OCCRP akan tetap berfokus pada dampak dari nominator dan pihak lain yang melakukan kejahatan dan korupsi, dengan menyoroti peran mereka dalam merusak demokrasi dan masyarakat di seluruh dunia.
Penghargaan tahun ini, kata Sullivan, telah memicu keterlibatan global yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini mencerminkan meningkatnya minat publik terhadap korupsi dan konsekuensinya yang luas.