Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Setelah Kejaksaan Tetapkan Sembilan Tersangka Baru Korupsi Impor Gula

Para tersangka adalah petinggi di sembilan perusahaan yang terlibat dalam impor gula pada era Tom Lembong.   

23 Januari 2025 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aktivitas bongkar muat gula di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 22 November 2023. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Para tersangka adalah petinggi di sembilan perusahaan yang terlibat dalam impor gula pada 2015-2016.

  • Proses penerbitan izin impor perlu ditelusuri secara cermat untuk menentukan adanya korupsi.

  • Unsur pidana seharusnya gugur bila kebijakan impor itu memang dibutuhkan untuk kepentingan publik.

KEJAKSAAN Agung menetapkan sembilan tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi impor gula yang menyeret mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong. Para tersangka itu berasal dari pihak swasta. "Penyidik telah mendapatkan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan sembilan tersangka," kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Abdul Qohar, Senin, 20 Januari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para tersangka adalah petinggi di sembilan perusahaan yang terlibat dalam impor gula kristal mentah untuk diolah menjadi gula kristal putih. Tom Lembong, yang saat itu masih menjadi Menteri Perdagangan, memberikan izin impor tersebut. Berdasarkan hitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kata Abdul, kerugian negara dalam kasus korupsi ini mencapai Rp 578 miliar.

Dari sembilan tersangka itu, kata Abdul, satu orang masih dicari. Tersangka itu berinisial ASB selaku Direktur Utama PT Kebun Tebu Mas (KTM). Penyidik sudah melayangkan surat panggilan sesuai dengan prosedur, tapi ASB hingga kini belum muncul. "Ini sedang dicari,” ujar Abdul. “Kalau sudah dapat, nanti dikasih tahu."   

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Abdul Qohar menyampaikan keterangan pers ihwal penetapan tersangka baru, di Kejaksaan Agung, Jakarta, 4 November 2024. ANTARA/Asprilla Dwi Adha

Impor Gula: Pidana atau Maladministrasi?

Dugaan korupsi dalam impor gula ini berawal dari rapat koordinasi antar-kementerian pada 12 Mei 2015. Dalam rapat itu, disepakati pemerintah tak perlu melakukan impor karena produksi gula dalam negeri sedang surplus.

Lima bulan setelah rapat itu, Direktur Utama PT Angels Product TWN mengajukan permohonan impor gula kristal mentah sebanyak 105 ribu ton untuk diolah menjadi gula kristal putih. Tom Lembong menyetujui permohonan itu.

Pada akhir Desember 2015, rapat koordinasi kementerian di bawah Kementerian Koordinator Perekonomian memperkirakan Indonesia kekurangan gula kristal putih sekitar 200 ribu ton pada Januari-April 2016. Namun dalam rapat itu tidak diputuskan untuk mengambil kebijakan impor.

Pada periode November-Desember 2015, Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) Charles Sitorus memerintahkan anak buahnya bertemu dengan delapan perusahaan gula swasta, yakni PT Angels Products, PT Andalan Furnindo, PT Sentra Usahatama Jaya, PT Medan Sugar Industry, PT Makassar Tene, PT Duta Segar International, PT Berkah Manis Makmur, dan PT Permata Dunia Sukses Utama. 

Dalam empat kali pertemuan di gedung Equality Tower di kawasan Sudirman Central Business District, Jakarta Selatan, PT PPI menawarkan pengadaan gula kristal mentah. Tujuannya adalah menjaga stabilitas harga pasar dan stok gula nasional. Gula kristal mentah itu nanti diolah menjadi gula kristal putih.

Selanjutnya, pada Januari 2016, Tom Lembong menandatangani surat penugasan kepada PT PPI untuk memenuhi stok gula nasional—sekitar 300 ribu ton—lewat kerja sama dengan produsen gula lokal. Tom juga memerintahkan pelaksana tugas Dirjen Perdagangan Luar Negeri menerbitkan persetujuan impor gula kristal mentah kepada delapan perusahaan swasta itu.  

Persetujuan impor tersebut dikeluarkan tanpa rekomendasi Kementerian Perindustrian dan rapat koordinasi dengan instansi terkait. Padahal, dalam Pasal 9 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 117 Tahun 2015, gula kristal mentah hanya boleh diolah untuk kebutuhan industri serta tidak bisa diperdagangkan kepada pihak lain.

Setelah produsen gula lokal mengimpor gula kristal mentah dan mengolahnya menjadi gula kristal putih, seolah-olah produk itu dibeli oleh PT PPI. Faktanya, gula kristal putih itu dijual ke pasar melalui distributor yang terafiliasi dengan harga Rp 16 ribu per kilogram. Sementara itu, harga eceran tertinggi gula kristal putih Rp 13 ribu per kilogram. PT PPI mendapat fee dari delapan perusahaan itu sebesar Rp 105 per kilogram.

PT Angels Products kembali mengajukan permohonan impor gula kristal mentah sebanyak 105 ribu ton pada 28 Maret 2016 dan 157.500 ton pada 8 April 2016. Tom langsung menyetujui tanpa ada koordinasi dengan Kemenko Perekonomian dan rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.

Permohonan serupa diajukan oleh delapan perusahaan yang sebelumnya bekerja sama dengan PT PPI. Pada 28 April 2016, mereka mengajukan permohonan impor sebanyak 200 ribu ton. Lagi-lagi Tom memerintahkan Plt Dirjen Perdagangan Luar Negeri menyetujuinya.  

Pada 7 Juni 2016, giliran PT Kebun Tebu Mas yang mengajukan permohonan impor sebanyak 110 ribu ton gula kristal mentah. Berselang 22 hari kemudian, PT Berkah Manis Makmur mengajukan permohonan serupa untuk 20 ribu ton. Semua disetujui dan berjalan tanpa pembahasan ataupun rekomendasi instansi lain.


Dosen hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan sembilan perusahaan yang mengimpor gula kristal mentah untuk diolah menjadi gula kristal putih hanya persoalan administratif. Sebab, perizinannya sudah dipenuhi meski obyeknya berbeda. "Apakah jika mengimpor gula yang berbeda dengan izin itu bisa dijustifikasi sebagai pidana? Jelas tidak," ucap Abdul Fickar lewat aplikasi perpesanan pada Rabu, 22 Januari 2025.

Alasannya, kata Fickar, perbuatan tersebut legal kendati obyeknya berbeda. Jadi, dari sudut administrasi, seharusnya hukumannya adalah denda, bukan pidana. Denda itu dihitung berdasarkan jumlah kerugian yang ditimbulkan. Bila perusahaan-perusahaan tersebut dipidanakan, termasuk Tom Lembong, itu bisa disebut sebagai kriminalisasi.  

Fickar melanjutkan, meski perusahaan swasta itu menjual gula kristal putih langsung ke pasar dengan harga lebih tinggi dan memberikan fee kepada PT PPI, tetap saja tindakan itu masuk pelanggaran administratif. "Kecuali ketika pengusaha mengimpor dan diawasi PPI, yang dapat dipidanakan itu pejabat PPI-nya. Pengusahanya disanksi dengan kewajiban membayar keuntungan atau kelebihannya kepada negara."

Ahli hukum perdagangan internasional dari Universitas Airlangga, Iman Prihandono, berpendapat berbeda. Dia mengatakan korporasi dalam menjalankan usaha harus berdasarkan izin-izin dari pihak berwenang. Apabila perizinan yang digunakan bermasalah, dapat dikatakan ada masalah administratif. "Namun, bila dalam proses mendapatkan dan menjalankan izin-izin usaha tersebut korporasi tahu atau seharusnya mengetahui ada unsur perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian negara, korporasi dan pengurusnya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana," tutur Iman.

Guru besar hak asasi manusia dan korporasi multinasional Unair ini menjelaskan, sepanjang ada perbuatan-perbuatan perusahaan yang melanggar peraturan tertulis, ada perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum ini ada dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). 

 

Pengajar hukum pidana Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, menjelaskan, suatu perbuatan masuk pidana bila unsur “perbuatan” dan unsur “kesalahan” dapat terpenuhi. Pada unsur “perbuatan”, misalnya, terjadi kerugian negara akibat perbuatan yang dilakukan. Sedangkan pada unsur “kesalahan”, harus dinilai apakah ada kesengajaan atau niat jahat dalam melakukan perbuatan tersebut. 

Dalam konteks korupsi impor gula, kata Orin, perlu dipastikan adanya rencana jahat dari mereka yang terlibat. “Semacam modus operandi untuk mendapatkan keuntungan yang berujung pada kerugian negara."

Untuk memastikan praktik impor ini korupsi atau bukan, kata Orin, perlu ditelusuri proses penerbitan izinnya. Apabila sudah sesuai dengan prosedur dan dapat dipertanggungjawabkan, transparan, akuntabel, serta lewat pertimbangan yang patut dan layak, seharusnya tidak menjadi pidana.

Dosen hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. Antara/HO-Dok. Pribadi

Sementara itu, bila izin impor tersebut memang menyimpang dari aturan, tapi dibutuhkan sebagai upaya yang paling rasional untuk memenuhi kepentingan publik, seharusnya juga tidak dipidana. Terlebih tidak ada keuntungan yang diterima oleh pembuat kebijakan. "Kalau perusahaan swasta menerima keuntungan, ya, karena mereka memang berorientasi bisnis," kata Ketua Pusat Studi Anti Korupsi ini.

Peneliti dari Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Yuris Rezha Kurniawan, mengatakan dugaan korupsi dalam impor gula ini cukup rumit. Untuk mengetahui ada-tidaknya tindak pidana, harus menunggu pembuktian di persidangan. "Ini masih belum bisa kami analisis, apakah masuk dimensi tipikor atau tidak," ujarnya.

Kendati demikian, kata Yuris, para tersangka dapat dijerat menggunakan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Dalam konteks korupsi perizinan, paling tampak jelas ketika ada suap atau gratifikasi. Dalam pasal ini, unsur yang penting adalah bagaimana membuktikan tersangka melakukan suatu kecurangan yang kemudian menyebabkan kerugian keuangan negara. "Tapi, kalau unsur-unsur yang tadi saya sampaikan tidak masuk, jangan-jangan memang ini bukan dimensi tipikor, ya,” ucapnya. “Bisa jadi maladministrasi atau mungkin pelanggaran hukum lain."

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Amelia Rahima Sari

Amelia Rahima Sari

Alumnus Antropologi Universitas Airlangga ini mengawali karire jurnalistik di Tempo sejak 2021 lewat program magang plus selama setahun. Amel, begitu ia disapa, kembali ke Tempo pada 2023 sebagai reporter. Pernah meliput isu ekonomi bisnis, politik, dan kini tengah menjadi awak redaksi hukum kriminal. Ia menjadi juara 1 lomba menulis artikel antropologi Universitas Udayana pada 2020. Artikel yang menjuarai ajang tersebut lalu terbit di buku "Rekam Jejak Budaya Rempah di Nusantara".

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus