Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Fenomena polisi tembak polisi yang kembali terjadi baru-baru ini menambah deretan kasus serupa dalam kurun beberapa tahun terakhir. Sejak 2019, sedikitnya ada 7 kejadian, tak terlihat banyak namun tidak dapat dikategorikan sedikit. Ironis memang bila aparat penegak hukum justru berbaku tembak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lantas apa sebenarnya faktor penyebab terjadinya polisi tembak polisi ini?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun kejadian teranyar adalah di Polres Solok Selatan, pada Jumat dini hari, 22 November 2024. Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Solok Selatan, AKP Ulil Ryanto Anshari berakhir tewas setelah diduga dibedil rekan sekantornya, Kepala Bagian Operasi Polres Solok Selatan, AKP Dadang Iskandar.
Kapolda Sumbar, Irjen Suharyono mengungkapkan, motif sementara yang teridentifikasi adalah diduga karena ketidaksenangan pelaku terhadap penangkapan tersangka tambang galian C yang dilakukan tim Sat Reskrim. Namun, polisi masih mendalami kebenaran motif ini.
Adanya dugaan motif tersebut lantaran penembakan terjadi saat tersangka tambang ilegal sedang diperiksa pada lewat tengah nalam. Saat itulah terdengar suara tembakan dari luar gedung. Ketika dicek, Ulil tergeletak dengan dua luka tembakan di kepala.
“Saat personel keluar, Kasat Reskrim ditemukan tergeletak dengan luka tembak di bagian pelipis kanan dan pipi kanan,” kata Suharyono.
Pelaku kemudian menyerah diri pada pukul 03.00 WIB setelah sempat kabur menggunakan mobil dinas usai menembak rekan kerjanya tersebut. Adapun pelaku menyerahkan diri langsung ke Kepolisian Daerah Sumatera Barat atau Pokda Sumbar. “Pelaku langsung datang ke Polda Sumbar untuk menyerahkan diri," ujarnya.
Faktor terjadinya fenomena polisi tembak polisi
Menanggapi kejadian anyar di Solok Selatan, Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan, kasus polisi tembak polisi tersebut bukanlah yang pertama dan bahkan sudah berulang terjadi.
“Terkait peristiwa penembakannya, ini bukanlah yang pertama dan seringkali berulang,” kata Bambang dalam keterangan resmi pada Jumat.
Menurut Bambang, kasus ini tidak bisa dilihat hanya persoalan normatif. Penggunaan senjata api organik untuk anggota kepolisian, kata dia, sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Kepolisian Nomor 1 Tahun 2022. Syarat itu mulai dari kepangkatan, masa dinas hingga kesehatan, baik mental maupun jasmani.
“Peraturannya jelas, siapa saja anggota Polri yang diperkenankan menyimpan dan menggunakan senpi (senjata api) dengan prasyarat tertentu,”
Namun, meski telah diatur secara normatif, persyaratan penggunaan senjata api organik tak lantas bisa mencegah fenomena polisi tembak polisi. Bambang menyebutkan, sedikitnya ada tiga faktor penyebab peristiwa penembakan antarpolisi sering berulang. Berikut faktornya:
1. Mentalitas lemah
Menurut Bambang, penyebab pertama terjadinya polisi tembak polisi berhubungan dengan perilaku dan mentalitas individu personel tersebut yang lemah secara mental. Sehingga melakukan penembakan kepada sesama anggota. Ia berpendapat, perilaku itu terindikasi karena pragmatisme dan materialisme yang melingkupi jajaran kepolisian.
“Mulai dari elit yang memberi ketauladanan, dan diikuti bawahan yang mencontoh dan terpaksa mengikuti gaya hidup atasan,” katanya.
2. Materialistik
Kedua, kata dia, disebabkan oleh faktor perilaku yang berakar dari materialistik. Hal ini tercermin dalam gaya hidup hedonis dan sikap pragmatis saat pengambilan keputusan. Ia menilai, semua keputusan hanya berdasar ukuran-ukuran materi. Implementasinya di lapangan adalah menerobos aturan guna mengumpulkan kekayaan.
“Salah satunya menjadi beking usaha ilegal, mulai dari tambang, logging, fishing maupun judi online,” ungkap Bambang.
3. Ketidaktegasan Kepala Kepolisian dan tebang pilih penegakan hukum
Adapun faktor ketiga terjadilah baku tembak polisi, menurut Bambang adalah ketidaktegasan Kepala Kepolisian dalam menegakan peraturan internal maupun perundangan, serta tebang pilih penegakan hukum telah mengakibatkan korban-korban di jajarannya sendiri. Hal ini dinilainya menjadi ironi dari jargon Presisi yang digulirkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
“Ini menambah deret hitung dari kasus kematian di internal kepolisian yang disebabkan konflik antaranggota,” ujar Bambang.
Sementara itu, merespons adanya kasus polisi tembak polisi, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman meminta Kapolri melakukan evaluasi secara berkala terhadap anak buahnya atas penggunaan senjata api. Salah satunya adalah pemeriksaan psikologis minimal sekali setahun.
“Perlu dilakukan pemeriksaan psikotes minimal setahun sekali terhadap aparat polisi yang menggunakan senjata api, agar kejadian serupa tidak terulang,” kata Habiburokhman di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat, 22 November 2024.
Politikus partai Gerindra ini meyakini Jenderal Listyo Sigit tidak akan tinggal diam merespons kejadian tersebut. Untuk itu, dia melanjutkan, Komisi III akan menggelar pertemuan dengan Kapolri seusai pelaksanaan Pilkada membahas masalah ini.
“Saya yakin masalah seperti ini akan ditindak tegas dan Kapolri tidak akan main-main soal ini,” katanya.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | AMELIA RAHIMA SARI | NANDITO PUTRA | ADE RIDWAN YANDWIPUTRA