Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tangisan Henny Silalahi masih terngiang-ngiang di telinga Rudianto Simanjorang. Ahad dua pekan lalu, ia menyaksikan istrinya itu menangis histeris saat mengetahui anak bungsu mereka, Tiara Debora Simanjorang, meninggal di Rumah Sakit Mitra Keluarga, Kalideres, Jakarta Barat.
Ayah lima anak ini tak kuasa menahan air mata saat menceritakan peristiwa ketika istrinya mendekati tubuh Debora yang terbujur kaku di atas ranjang rumah sakit. Perempuan 37 tahun itu beberapa kali mencoba membangunkan anaknya tersebut. "Bangun Nak, bangun Nak," ujar Rudianto menirukan ucapan istrinya, Kamis pekan lalu. Tak lama setelah itu, kata Rudianto, tangis istrinya kembali pecah.
Di usianya yang baru menginjak empat bulan, Debora meninggal karena tak kunjung mendapat perawatan di ruang unit pelayanan intensif untuk kesehatan anak (pediatric intensive care unit) Rumah Sakit Mitra Keluarga. Rumah sakit tak bersedia menangani Debora karena kedua orang tuanya tak sanggup membayar di muka seluruh biaya perawatan Rp 19,8 juta. Saat itu Debora sangat membutuhkan perawatan di ruang khusus tersebut karena kondisinya kritis.
Rudianto membawa Debora ke Rumah Sakit Mitra Keluarga setelah mendapati putri keduanya tersebut susah bernapas. Pria 47 tahun itu dan istrinya panik karena mengetahui Debora memiliki riwayat kesehatan yang kurang baik. Debora lahir prematur melalui operasi caesar. Rumah Sakit Cengkareng, Jakarta Barat, yang menangani persalinannya, memvonis Debora mengalami kelainan jantung.
Tiga bulan kemudian, setelah kembali memeriksa Debora, rumah sakit yang sama menyatakan penyakit jantung bawaan itu sudah sembuh. Tapi orang tua Debora kerap waswas karena anaknya itu mudah sakit. Sabtu dua pekan lalu, Debora kembali jatuh sakit. Mereka mengira ia hanya terserang batuk dan pilek. Debora lantas dibawa ke Rumah Sakit Cengkareng. Dokter menggunakan alat nebulizer untuk membantu mengeluarkan dahak Debora dan kemudian memberinya obat puyer.
Malam harinya, setelah pulang dari rumah sakit itu, kondisi Debora justru semakin parah. Ia susah bernapas. Rudianto kemudian membalut tubuh Debora dengan selimut dan bergegas membawanya ke rumah sakit terdekat menggunakan sepeda motor. Mereka menuju Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres, yang jaraknya hanya 2 kilometer dari rumah.
Setiba di Rumah Sakit Mitra, mereka menuju instalasi gawat darurat. Dengan kondisi tak sadar dan tubuhnya yang mulai tampak membiru, Debora ditangani dokter piket, Irene. Dalam pemeriksaan medis, dokter Irene menemukan adanya masalah pernapasan berat pada Debora. Menurut catatan rumah sakit, frekuensi denyut nadi Debora terhitung 60 kali per menit dengan suhu badan mencapai 39 derajat Celsius.
Setelah mendapat penanganan medis dari dokter Irene, kondisi Debora mulai membaik. Tapi, karena kondisi Debora masih terbilang kritis, dokter menyarankan agar bayi itu mendapat perawatan di ruang pediatric intensive care unit (PICU). "Debora sempat menangis, artinya ada harapan hidup," kata Birgaldo Sinaga, kuasa hukum Rudianto.
Kedua orang tua Debora lantas menanyakan biaya perawatan di ruangan itu apabila dibayar dengan fasilitas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Irene menjelaskan, rumah sakit itu tak bekerja sama dengan BPJS. "Bu Henny menyanggupi bayar tunai," ujar Birgaldo.
Henny lalu meminta suaminya mengurus pembayaran. Di bagian administrasi, Rudianto diterima petugas jaga, Ifa dan Tina. Petugas tadi menyodorkan kertas berlaminating yang berisi daftar tarif pelayanan. Untuk ruang PICU dipatok tarif Rp 19,8 juta. Karena berangkatnya tadi terburu-buru, kedua orang tua Debora tak membawa uang.
Dengan jarak rumah sakit dan tempat tinggal mereka cukup dekat, Rudianto pulang mengambil dompet ke rumah. Tapi ia hanya bisa membawa uang Rp 5 juta. Rudianto berjanji kepada pihak rumah sakit melunasi pembayarannya pada keesokan harinya. Setelah berkomunikasi dengan atasannya, anggota staf administrasi memberi tahu jumlah uang yang harus dibayarkan orang tua Debora malam itu. "Oleh admin disebut Rp 11 juta," kata Birgaldo.
Pagi harinya, Rudianto mendapatkan tambahan Rp 2 juta dari bos istrinya yang bekerja di salah satu perusahaan ekspedisi di Jakarta. Penjual air isi ulang itu kembali meminta pihak rumah sakit memindahkan anaknya dari ruang IGD ke ruang PICU. Pihak rumah sakit menolak dengan alasan pelunasan di muka sudah menjadi kebijakan rumah sakit.
Rudianto mencoba mencari ruang pediatric intensive care unit ke rumah sakit lain. Ia sempat mendatangi Rumah Sakit Hermina, Kalideres, Jakarta Barat. Tapi ruang PICU di rumah sakit itu penuh. Rudianto pun bergeser ke Rumah Sakit Cengkareng. Lagi-lagi ia harus kecewa karena ruangan yang sama di rumah sakit itu juga sudah penuh.
Menurut Rudianto, istrinya juga tak tinggal diam. Henny, yang tengah menunggui Debora di IGD, turut mencari ruang PICU. Pada pukul 06.05, dia mengunggah status di laman Facebooknya tentang kebutuhan mendesak ruang PICU untuk anak kelimanya itu. Teman-temannya di media sosial itu banyak merespons dan menyarankan sejumlah rumah sakit.
Di tengah upaya mencari ruang PICU, seorang suster tampak panik setelah melihat kondisi Debora. Henny mendapati mata anaknya hanya terlihat kornea putih. Tangan Debora sudah dingin. Ia menangis histeris setelah diberi tahu dokter jaga bahwa anaknya telah meninggal.
Kematian Debora kemudian ramai diberitakan media nasional dan lokal. Isu ini juga menjadi topik yang paling banyak diperbincangkan dalam dua pekan terakhir. Para penghuni dunia maya mengkritik keras sikap Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres.
Dinas Kesehatan DKI Jakarta dan Kementerian Kesehatan turun tangan menyelidiki dugaan kelalaian rumah sakit atas meninggalnya Debora. Hasilnya, Dinas Kesehatan menemukan kelalaian rumah sakit karena menyuruh keluarga mencari tempat rujukan. Mereka juga menemukan buruknya komunikasi dari manajemen rumah sakit kepada keluarga pasien.
Dua lembaga itu memberikan sanksi berupa surat peringatan tertulis kepada Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres. Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Koesmedi Priharto mengatakan, jika hal yang sama terulang, rumah sakit menyanggupi pencabutan izinnya. "Mereka sudah membuat perjanjian dengan saya," ujar Koesmedi.
Tindakan lalai tersebut mendorong Kepolisian Daerah Metro Jaya mengusut kasus ini. Direktur Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Besar Adi Deriyan mengatakan penyelidikan kasus ini berdasarkan laporan tipe A, yakni dari polisi sendiri. Polisi menyiapkan Pasal 190 Undang-Undang Kesehatan. "Ada dugaan perbuatan melawan hukum dengan tidak adanya tindakan medis kepada pasien kritis yang berakibat pada meninggalnya korban," tutur Adi.
Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres siap menghadapi akibat hukum dari kasus Debora. "Apabila itu terjadi dan diperlukan, kami akan mengikuti prosedur dan hukum yang berlaku," kata Nendya Libriyani dari Hubungan Masyarakat Rumah Sakit Mitra Keluarga.
Linda Trianita, Joniansyah Hardjono (tangerang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo