Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengatakan pejabat eselon I dan II Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjadi tersangka dugaan korupsi tata kelola sawit periode 2005 - 2024. Akan tetapi, Burhanuddin tak menyebutkan siapa pejabat tersebut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Yang pasti ada," ujar Burhanuddin saat ditanya soal ada tidaknya eselon I dan II yang menjadi tersangka di kasus ini di Gedung Kejaksaan Agung, Rabu, 8 Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, Burhanuddin sempat mengungkapkan pihaknya telah menetapkan tersangka dalam kasus korupsi tersebut pada 2 Januari 2024. Kasus ini terungkap ke publik setelah penyidik Kejaksaan Agung menggeledah Gedung Manggala Wanabakti KLHK pada 3 Oktober 2024.
Burhanuddin mengatakan penyidik melakukan penggeledahan setelah mereka mengantongi nama tersangka. Namun Kejagung memang baru mengungkap adanya tersangka dikasus ini pada Kamis pekan lalu.
Burhanuddin tidak menjelaskan siapa pejabat eselon yang dimaksud. Ia meminta semua pihak menunggu. Sebab, kata dia, penyidik masih melakukan pendataan tentang sawit. "Dalam waktu dekat, mungkin satu bulan lagi kami sampaikan." Ia mengatakan sudah ada perbuatan melawan hukum yang ditemukan penyidik.
Sementara itu Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Febrie Ardiansyah, mengatakan pihaknya mengusut soal perusahaan sawit yang menanam di kawasan hutan namun tidak memliki izin pelepasan. "Termasuk masalah pelepasan area kawasan hutan, ini ada di lahan konservasi, di hutan lindung," ujar dia.
Kasus ini merupakan tindak lanjut dari tim satgas sawit yang dulu dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.
Febrie menjelaskan jika penyidik masih menyisir mana yang bisa dikenakan pidana dan mana yang bisa diselesaikan melalui denda administratif. "Itu kami teliti lagi, sehingga harus ada kepastian yang mana yang ngemplang hak negara."
Salah-satu kesulitan dalam penanganan kasus ini, menurut Febrie, ialah jumlah perusahaan sawit yang mencapai ribuan dan proses prosedur pelepasan kawasan hutan yang melibatkan tingkat kabupaten hingga kementerian pusat. Febrie mengatakan, kasus ini juga berkorelasi dengan data kebocoran uang negara Rp 300 triliun yang pernah diungkap oleh Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo. Data itu merupakan hasil hitungan dari BPKP.
Berdasarkan keterangan Ketua BPKP Muhammad Yusuf Ateh kepada Tempo sebelumnya, hitungan angka itu berasal dari pelanggaran ketentuan Pasal 110A dan Pasal 110B UU Cipta Kerja. Termasuk juga adanya temuan selisih pembayaran yang dilakukan perusahaan kepada KLHK. Kini wewenang penarikan denda administratif ini berada di Kementerian Kehutanan, sejak KLHK dipecah menjadi sejumlah kementerian di era Prabowo Subianto.
Dalam menentukan denda dan hukuman sawit di kawasan hutan, KLHK membentuk Ketua Tim Satuan Pelaksana Pengawasan Dan Pengendalian Implementasi UU Cipta Kerja atau Sagas Sawit yang dipimpin Bambang Hendroyono. Bambang adalah pejabat eselon I KLHK yang menjabat Sekretaris Jendera. Ia pensiun pada September 2024 dan kini menjabat Penasihat Utama Menteri Kehutanan.
Di bawah Bambang Hendroyono, Satgas Sawit menghitung denda maupun hukuman kepada setiap orang yang menanam sawit di kawasan hutan. Pasal 110A merupakan pengaturan untuk sawit individu, sementara pasal 110B mengatur sanksi bagi perusahaan yang menanam sawit di kawasan hutan.
Sawit di kawasan hutan mencapai lebih dari 3 juta hektare. Pemerintah acap menyebut sawit di kawasan hutan sebagai "ketelanjuran". UU Cipta Kerja hendak menyelesaikannya dengan memberi sanksi berupa pengembalian dan jangka benah bagi petani individu, sementara perusahaan dikenakan denda administratif. Perhitungan denda ini yang tengah diselidiki jaksa karena berbau korupsi.