Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tertahan hampir setahun, surat dan sebundel lampirannya itu akhirnya melayang ke meja kerja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Komisi Pemberantasan Korupsi mengirimkan surat itu Senin dua pekan lalu. Isinya: meminta pemerintah menarik rancangan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang tengah dibahas Dewan Perwakilan Rakyat.
Komisi antikorupsi juga mendesak pembahasan Rancangan KUHP dan KUHAP dilakukan DPR baru hasil Pemilihan Umum 2014. Alasannya, dengan masa kerja yang tersisa sekitar 100 hari, DPR periode ini tak mungkin membahas secara serius kedua rancangan itu. "Mengingat kedua RUU tersebut memiliki lebih dari seribu pasal," tulis Abraham Samad, Ketua KPK, dalam surat bertanggal 17 Februari 2014 tersebut.
Dalam lampirannya ke Presiden, KPK menyatakan kedua rancangan itu bakal melemahkan upaya pemberantasan korupsi dan kejahatan luar biasa lainnya. KPK menuntut pemerintah memperbaiki kedua rancangan itu bila hendak mengusulkannya kembali ke DPR.
Dua pekan berlalu, pemerintah malah menunjukkan gelagat sebaliknya: terus membahas revisi kedua undang-undang itu bersama DPR.
Upaya merevisi KUHP dimulai pada 1964. Menurut catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, pemerintah Indonesia setidaknya sudah 13 kali membuat rancangan revisi KUHP. Kendati berkali-kali masuk Program Legislasi Nasional, kedua rancangan tersebut urung dibahas karena berkasnya tak kunjung dikirim pemerintah. Rancangan ke-13 RUU KUHP pernah beredar pada awal 2000-an. Tapi, sebelum sampai di DPR, draf tersebut bolak-balik dari kantor Kepresidenan ke kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Pada 2011, sejumlah pegiat antikorupsi dan hak asasi manusia mendatangi Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana. Mereka meminta Rancangan KUHP dan ÂKUHAP yang lama ngendon di Kementerian Hukum segera dibawa ke Presiden agar bisa diajukan ke DPR. Mereka mengingatkan pembaruan hukum pidana warisan pemerintah kolonial Belanda itu harus menjamin perlindungan hak asasi.
Denny lalu melaporkan masukan para aktivis itu kepada Menteri Hukum Amir Syamsuddin. Sang Menteri dan wakilnya sepakat membahas dulu kedua rancangan sebelum dikirim ke Presiden. Tapi pembahasan tak dilakukan dengan detail. "Hanya Âpointer yang disajikan melalui slideshow," ujar seorang anggota staf di Kementerian Hukum yang menghadiri pertemuan itu.
Meski tak detail, dalam pertemuan itu Denny sempat membuat sejumlah catatan. Dia, misalnya, tak setuju pada ketentuan vonis Mahkamah Agung yang tidak boleh lebih tinggi daripada putusan di pengadilan tinggi. Denny juga memberi masukan: pasal perzinaan tidak masuk delik aduan, tapi delik umum saja.
Denny dan Amir lantas menemui Presiden Yudhoyono. Mereka meyakinkan Presiden bahwa dua rancangan undang-undang yang telah lama disiapkan sudah waktunya diajukan ke DPR. Bila jadi disahkan, revisi kedua undang-undang itu bisa menjadi warisan terakhir pemerintahan Yudhoyono. Maret tahun lalu, dua rancangan undang-undang itu akhirnya masuk parlemen. Di depan anggota Komisi Hukum DPR, Amir membacakan pidato pengantar Presiden atas Rancangan KUHP dan KUHAP.
Pimpinan KPK terkaget-kaget ketika pemerintah mengirimkan naskah kedua rancangan undang-undang itu ke DPR. Menurut Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, KPK periode sekarang tak pernah dilibatkan dalam pembahasan kedua rancangan itu. Bambang pun curiga pembahasan kedua rancangan itu tak akan obyektif. Soalnya, sebagian pembahasnya memiliki potensi terjerat KPK karena sedang berhadapan dengan hukum.
Sebaliknya, Menteri Amir mengklaim telah mengundang KPK dalam pembahasan kedua rancangan itu pada 2011. Yang diundang, kata dia, Wakil Ketua KPK saat itu, Chandra M. Hamzah. "Kami ada surat keputusannya," ujar Amir. Namun Chandra membantah pernah dilibatkan membahas Rancangan KUHP dan KUHAP. Dia mengatakan hanya pernah membahas rencana revisi Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, Pencucian Uang, dan Perampasan Aset.
Telanjur ditinggalkan, pimpinan KPK menunjuk tim khusus untuk mengkaji draf yang diajukan pemerintah. Hasil penelaahan singkat tim Biro Hukum itu membuat pimpinan KPK terperenyak. "Begitu banyak pasal yang bisa menghilangkan kewenangan KPK dalam penindakan," kata Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas.
Tim, misalnya, menemukan 15 pasal pidana korupsi yang dicaplok Rancangan KUHP. Yang mengejutkan, ada pasal yang menyatakan aturan pidana di luar KUHP hanya berlaku sepanjang tak diatur dalam KUHP baru. Kesimpulan tim: revisi undang-undang KUHP akan menghapus Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, yang jadi acuan kewenangan penindakan KPK. "Akhirnya kami putuskan membuat kajian akademis atas revisi ini," ujar Busyro.
Semula KPK mendahulukan kajian atas draf revisi KUHP. Alasannya, revisi KUHP lebih mengancam komisi itu. Selain itu, secara teoretis KUHP yang mengatur hukum materiil seharusnya memang didahulukan pembahasannya oleh DPR. Namun perkiraan pimpinan KPK meleset. Pertengahan tahun lalu, sejumlah media memberitakan DPR akan merampungkan pembahasan Rancangan KUHAP pada Oktober 2013. Itu membuat KPK kalang-kabut. "Kami berpikir, serius DPR ini," kata Busyro.
Dalam sebuah rapat, Busyro menuturkan, pimpinan KPK memutuskan akan mengirimkan surat keberatan kepada Presiden dan DPR. Awalnya semua pimpinan sepakat mengantarkan secara langsung kepada Presiden. Tapi pimpinan KPK memutuskan surat itu dikirimkan melalui kurir saja.
Meskipun diputuskan sejak tengah tahun lalu, pengiriman surat keberatan itu terhambat hasil kajian akademis yang belum kelar-kelar. Untuk menjaring masukan berbagai pihak, pada triwulan akhir 2013, tim KPK berkeliling ke lima kota besar: Medan, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta. Baru pada Januari lalu, dokumen kajian setebal 300-an halaman bisa dibukukan. Itu menjadi "kitab" rujukan KPK dalam menolak Rancangan KUHP dan KUHAP versi pemerintah. "Yang kami kirim ke Presiden hanya ringkasannya," ujar Bambang.
Presiden Yudhoyono rupanya tak mau membalas langsung surat pimpinan KPK. Jawaban pemerintah justru datang melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Lewat surat bertanggal 21 Februari 2014, Menteri Hukum Amir Syamsuddin menyatakan pemerintah sama sekali tak bermaksud mengebiri atau menghilangkan kewenangan KPK. Namun Menteri Amir memastikan Presiden tak akan menarik Rancangan KUHP dan KUHAP dari DPR. "Rancangan itu tak mungkin secara sepihak ditarik Presiden tanpa persetujuan DPR," tulis Amir dalam surat itu.
Sembari menunggu "kerelaan" pemerintah menarik Rancangan KUHP dan ÂKUHAP, KPK tak lupa menggalang dukungan. Selasa tiga pekan lalu, KPK menggelar pertemuan dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat antikorupsi, seperti Indonesia Corruption Watch dan Transparency International Indonesia.
Dalam pertemuan itu, para aktivis kembali menegaskan dukungan atas langkah KPK menolak pembahasan Rancangan KUHP dan KUHAP. Mereka juga menyarankan KPK memuntahkan semua "peluru" yang masih disimpan selama ini. Para aktivis meminta KPK menggeber kembali pengusutan kasus korupsi yang diduga melibatkan beberapa anggota Panitia Kerja KUHP dan KUHAP. Misalnya kasus korupsi proyek simulator kemudi di Korps Lalu Lintas Kepolisian RI dan proyek pusat pengembangan sumber daya manusia Kejaksaan Agung di Kelurahan Ceger, Jakarta Timur.
Menjelang pemilihan umum pada April nanti, pegiat antikorupsi pun mengajak KPK melakukan kampanye "tolak politikus anti-pemberantasan korupsi". Sasaran mereka terutama anggota panitia kerja revisi KUHP/KUHAP yang mencalonkan diri kembali dalam Pemilihan Umum 2014. "Nama mereka sudah kami kantongi. Kami siap menggoyang mereka di daerah pemilihannya," ucap seorang aktivis yang hadir dalam pertemuan dengan KPK.
Dimintai konfirmasi soal itu, Busyro tak membantah ataupun membenarkan. Dia hanya mengimbau para politikus yang namanya disebut terlibat dalam kasus korupsi mengundurkan diri dari panitia kerja. "Siapa pun yang terlibat dalam pembahasan sebaiknya bicara dengan hati nurani," ujar Busyro.
Bila DPR dan pemerintah ngotot merevisi KUHP dan KUHAP, menurut Busyro, KPK tak akan berhenti melawan. Komisi akan menguji materi semua pasal yang menghambat pemberantasan korupsi ke Mahkamah Konstitusi. "Kami tak mengenal kamus mundur. Mereka maju selangkah, kami maju dua langkah," ujar Busyro.
Jajang J., Febriyan, Prihandoko, Amri M., Bunga M., Fransisco R., M. Rizki
Bahaya Dua Rancangan
Dalam lampiran setebal tujuh halaman yang dikirim kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Komisi Pemberantasan Korupsi merinci keberatan mereka terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang kini dibahas Dewan Perwakilan Rakyat.
Komisi antirasuah, misalnya, berkeberatan terhadap Rancangan KUHP yang memasukkan sejumlah tindak pidana yang tergolong kejahatan luar biasa. Misalnya pidana korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, pidana terorisme, kejahatan narkotik, dan pencucian uang.
Menurut KPK, menghimpun pasal kejahatan luar biasa dalam satu kitab pidana (kodifikasi) bermasalah. Itu bisa membuat sejumlah undang-undang khusus yang mengatur kejahatan luar biasa tak berlaku lagi. Yang bakal menjadi "korban", menurut KPK, antara lain UU Pemberantasan Korupsi. Lembaga yang dibentuk atas dasar undang-undang khusus itu, seperti KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, terancam kehilangan pijakannya. "Ini pengingkaran atas komitmen bersama yang memandang negara ini masih darurat korupsi," demikian tertulis dalam lampiran surat yang diteken Ketua KPK Abraham Samad itu.
Keberatan lain KPK berkaitan dengan pergeseran wewenang menyidik dan menuntut perkara korupsi. Jika rancangan KUHP disahkan, taring KPK di bidang penindakan itu bakal rontok. Wewenang menyidik kasus korupsi akan dimonopoli kepolisian. Adapun wewenang menuntut hanya milik kejaksaan. Wewenang KPK hanya melakukan pencegahan korupsi.
Seperti halnya KPK, eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pun terancam. Soalnya kelak kasus korupsi pun akan diadili di pengadilan umum bersama kejahatan lain.
Jaminan pemerintah bahwa KPK masih bisa memakai Undang-Undang Pemberantasan Korupsi tak meyakinkan KPK. Itu karena Rancangan KUHP dan KUHAP menyatakan ketentuan pidana dan hukum acara khusus hanya berlaku bagi tindak pidana yang diatur di luar KUHP, misalnya tindak pidana perbankan dan perpajakan.
Komisi antikorupsi juga mempertanyakan asas restorative Âjustice yang diadopsi Rancangan KUHP dan KUHAP secara salah kaprah. Menurut Pasal 71 Rancangan KUHP dan Pasal 42 Rancangan KUHAP, pelaku kejahatan yang mengembalikan kerugian bisa tidak dituntut atau dikenai pidana.
Menurut KPK, prinsip "pemulihan kerugian" lebih pas diterapkan untuk kejahatan biasa, seperti pencurian dan penipuan. Prinsip restorative justice tak cocok untuk kejahatan korupsi dan kejahatan luar biasa lainnya. Karena itu, Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dengan tegas menyatakan pengembalian kerugian negara tak menghapuskan perbuatan pidana.
Pengutamaan perlindungan hak asasi tersangka dan terdakwa dalam Rancangan KUHAP, menurut KPK, juga lebih cocok untuk mengusut dan mengadili kejahatan biasa. Pendekatan itu justru akan mempersulit penyidikan dan penuntutan kasus kejahatan luar biasa seperti korupsi.
Hal baru dalam Rancangan KUHAP yang dipersoalkan KPK adalah keberadaan hakim pemeriksa pendahuluan. "Ini binatang apa, makhluk apa?" ujar Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas. Menurut dia, konsep hakim pemeriksa pendahuluan diambil dari hakim komisaris pada sistem lama hukum Belanda. "Katanya mau mengubah produk warisan Belanda, tapi barang bekas di sana kok dipakai di sini?" ucap Busyro.
Komisi antikorupsi berkeberatan terhadap wewenang hakim pemeriksa pendahuluan yang terlalu luas, yakni, antara lain, menangguhkan penahanan di tingkat penyidikan, menghentikan penyidikan dan penuntutan, serta menentukan layak-tidaknya sebuah perkara diajukan ke pengadilan.
Komisi antikorupsi juga memprotes prosedur penyadapan yang dipersulit. Dalam Rancangan KUHAP, penyadapan pada prinsipnya dilarang. Penyadapan hanya bisa dilakukan untuk kejahatan serius. Itu pun harus berdasarkan perintah tertulis atasan penyidik dan seizin hakim pemeriksa pendahuluan.
Materi Rancangan KUHAP lain yang dikritik KPK adalah penghapusan proses penyelidikan, masa penahanan di tingkat penyidikan yang dipersingkat, proses penahanan yang berbelit-belit, kewenangan menyita harus seizin pengadilan, dan tidak diaturnya pembalikan beban pembuktian. Semua itu, menurut KPK, jelas akan mempersulit pemberantasan korupsi.
Jajang Jamaludin, Febriyan
Rongrongan Tiada Akhir
Upaya melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi datang bertubi-tubi sejak lembaga itu didirikan. Penggembosan itu muncul setiap kali KPK menyentuh orang kuat di partai politik dan pemerintah.
Judicial Review
Sejak berlaku sepuluh tahun lalu, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah 17 kali digugat ke Mahkamah Konstitusi. Yang digugat, antara lain, wewenang menyadap dan mengusut perkara, yang terjadi sebelum lembaga itu dibentuk. Hampir semua uji materi itu kandas.
Revisi Undang-undang
Usul revisi Undang-Undang KPK berembus kencang pada Januari 2011 setelah KPK menahan 38 politikus Senayan yang menerima suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S. Goeltom. Dalam draf revisi yang beredar pada Maret 2012, banyak pasal yang mengamputasi kewenangan KPK.
- Pasal penyadapan. DPR ingin KPK hanya menyadap setelah punya bukti permulaan yang kuat serta izin pengadilan.
- Wewenang penuntutan. DPR ingin penuntutan dikembalikan sepenuhnya ke kejaksaan.
- Nilai perkara korupsi. Dewan ingin menaikkan nilai perkara korupsi yang ditangani KPK dari Rp 1 miliar menjadi Rp 10 miliar. Kasus korupsi di bawah Rp 10 miliar diusulkan ditangani polisi dan jaksa.
- Dewan Pengawas. DPR mengusulkan pembentukan Dewan Pengawas KPK yang anggotanya bakal dipilih DPR.
Belenggu Anggaran
Komisi Hukum DPR berkali-kali menolak menyetujui anggaran proyek gedung KPK. Pada 2012, KPK kembali mengajukan permohonan dana gedung baru Rp 225,7 miliar. Kementerian Keuangan sanggup menyediakan dana itu dalam tiga tahun anggaran. Komisi Hukum DPR menolak. Setelah dikecam kanan-kiri, DPR menyetujuinya.
Usul Pembubaran
Pada periode kedua KPK, 2007-2011, Komisi Hukum DPR berkali-kali mengusulkan pembubaran KPK. Usulan serupa pernah dilontarkan Ketua DPR Marzuki Alie.
Tuduhan Superbodi
Pada Juni 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan kekuasaan KPK terlalu besar. "Terkait KPK, saya wanti-wanti benar power must not go unchecked. KPK ini sudah menjadi power holder yang luar biasa. Pertanggungjawabannya hanya kepada Allah. Hati-hati," kata Yudhoyono.
Kriminalisasi Pimpinan
Pada akhir 2009, dua pemimpin KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah, menjadi tersangka dan ditahan Badan Reserse Kriminal Polri. Polisi menjadikan Bibit dan Chandra tersangka atas laporan Anggodo Widjojo, adik buron kasus korupsi Anggoro Widjojo, yang mengaku diperas Bibit-Chandra. Belakangan, terungkap tudingan Anggodo hanya rekayasa.
Sebelum Anggodo bersaksi, KPK hampir menangkap Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji, yang diduga menerima suap. Penangkapan batal, tapi memicu gesekan KPK dengan Polri, yang dikenal sebagai konflik "Cicak versus Buaya".
Penggembosan Penyidik
Pada akhir 2012, Mabes Polri menarik puluhan penyidiknya dari KPK, sehingga jumlah penyidik tersisa 62 orang. Padahal masih ada 40-an kasus yang belum selesai, termasuk kasus rekening gendut perwira tinggi kepolisian, bailout Rp 6,7 triliun Bank Century, dan kasus STNK/pelat nomor.
TEKS: JAJANG JAMALUDN | EVAN | PDAT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo