MESIN mobil sudah dihidupkan. H.M. Taufik, 32, lalu turun untuk menutup pintu pagar rumah pondokannya di Jalan Siaga II, Pejaten, Jakarta Selatan. Tiba-tiba terdengar dua kali letusan. Sebutir peluru mengenai punggung kiri, tembus ke dada, dan peluru yang lain mengeram di pinggang. Asisten dosen Sekolah Tinggi Teknik Nasional (STTN) dan ketua Senat Mahasiswa periode 1979-1981, yang pernah masuk 10 terbaik pada Penataran P4 Pemuda Tingkat Nasional 1983, itu pun jatuh terkapar. Ia segera dilarikan ke Rumah Sakit Fatmawati. Ternyata, ia tak tertolong. Taufik meninggal setelah mengucapkan takbir, sekitar tiga jam setelah tertembak Rabu malam pekan lalu. Tapi hingga pekan ini kasusnya belum juga jelas. "Kami masih melakukan penyidikan dan mengumpulkan keterangan dari orang-orang yang dekat dengan dia," ujar sumber di Polres Jakarta Selatan. Siapa penembaknya memang masih diliputi teka-teki. Juga motifnya. Menurut induk semangnya, beberapa saat sebelum meninggal korban menuturkan sempat melihat bahwa si penembak seorang lelaki kurus berbaju putih. Ia melepaskan tembakan dari jarak sekitar 20 meter, lalu menghilang. Tapi siapa pun si penembak, polisi menduga bahwa tampaknya ia hanya orang suruhan. "Terlalu riskan turun sendiri, apalagi sampai sempat dikenali korban," kata petugas di Polda Jakarta. Tapi jika benar ia ditembak dari jarak 20 meter, tentulah si penembak sudah terlatih benar. Yang muncul sekarang memang hanya sejumlah dugaan. Anak keempat dari lima bersaudara asal Pariaman itu dikenal cukup menonjol, disegani, tak punya musuh, dan tak pernah meninggalkan sembahyang. Hanya, ia memang agak tertutup, khususnya dalam persoalan pribadi. Selain sebagai asisten dosen Menggambar Teknik Mesin dan Praktek Teknologi Mekanik, ia juga menjadi sekretaris Balai Penelitian dan Pengembangan (Litbang) STTN, dan termasuk dalam tim penyusunan RencanaInduk Pengembangan (RIP) kampusnya untuk lima tahun mendatang. Dalam kedudukannya ini, ia sempat mempelajari berkas masalah pembebasan tanah untuk kampus STTN di Srengseng Sawah, Jakarta Selatan, yang menelan dana sampai Rp 800 juta. Dalam kasus ini memang sempat timbul kericuhan. Seorang dosen yang ditunjuk sebagai kuasa pembebasan tanah, beserta tiga orang lainnya, dikatakan tak bisa mempertanggungjawabkan uang Rp 87 juta. April lalu dosen itu dibebastugaskan sebagai dosen dan dari jabatannya sebagai salah satu pembantu rektor. Tugasnya mengajar lalu digantikan Taufik, yang selama ini menjadi asistennya. Tapi, kata sumber TEMPO, pembebastugasan itu belum tentu karena ia menyeleweng. "Administrasinya saja yang kacau, misalnya ada kuitansi yang kurang. Ia memang bukan sarjana hukum yang memperhatikan betul soal bukti-bukti pembayaran, kata sumber itu. Dan menurut bekas pembantu rektor itu, "Yang Rp 87 juta itu sudah tidak ada persoalan, karena pihak Yayasan sudah menganggap selesai dan tidak ada masalah." Tapi Taufik kelihatannya menganggap kasus itu belum selesai. Ia cukup bersemangat meninjaunya kembali. Sebab, seperti dikatakan seorang kawan dekatnya, "Boleh dibilang, Taufik-lah motor rencana pembangunan kampus di Srengseng, Pasar Minggu." Taufik, yang selangkah lagi akan menjadi sarjana jurusan mesin, tergolong gigih memperjuangkan kepentingan mahasiswa. Namun, masih belum jelas apakah penembakan atas dirinya berhubungan dengan kasus tanah tadi. Juga, apakah ada hubungan dengan jabatannya sebagai asisten dosen, di Balai Litbang atau RIP, belum diketahui. "Jabatan itu bukan tempat yang basah, dan ia, meski cukup menonjol, bukan orang yang paling cepat menanjak kariernya di STTN," kata Ir. Rusjdi, purek yang dibebastugaskan setelah 25 tahun mengajar dan kemudian di gantikan Taufik tadi. Pacarnya, Jamilah, 25, pun tak bisa menduga motif penembakan itu. Hanya, beberapa waktu lalu, Taufik sempat melontarkan kekesalannya kepada seseorang. "Masa orang terpelajar tidak bisa mempertanggungjawabkan uang," begitu Taufik pernah berkata. Hanya, ketika ditanya apa kasusnya dan siapa orang yang dimaksud, Taufik enggan mengatakan. Jamilah kini diliputi kesedihan karena karyawati Bapindo itu pekan ini menurut rencana hendak dilamar keluarga Taufik, dan Februari nanti pasangan ini yang semula ditentang pihak Taufik, merencanakan pernikahan. Apa mau dikata, takdir rupanya menentukan lain. Kasus tindak kekerasan dan penembakan belakangan ini memang tampaknya cukup mengkhawatirkan. Menurut catatan Lembaga Kriminologi UI, pembunuhan dengan senjata api dalam periode Januari-Juni lalu ada 66 kasus. Jumlah itu merupakan rekor dibandingkan dengan pembunuhan dengan cara lain - seperti dengan senjata tajam dan benda tumpul - yang masing-masing hanya 53 dan 28 kasus. Sedangkan angka pembunuhan total selama periode itu tercatat 170 orang. Selain Taufik, yang juga menjadi korban tembakan adalah Ali bin Badiarif, 19, dropout STM. Minggu dinihari 15 Juli lalu, ia dijemput serombongan orang berkendaraan jip dan sepeda motor, ketika sedang tidur di rumah kenalannya di Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara, yang tak begitu jauh dari rumahnya. Ia langsung diborgol dan dibawa pergi. Pagi harinya, ia sudah ditemukan tergeletak di atas rerumputan di dekat Cakung Drain. Di tubuhnya ada tiga luka tembak. Dua di punggung dan satu di pantat. Yang menarik, di lengan kanan bawah pemuda itu ditemukan tato palsu. "Tato bergambar orang Indian sedang memegang tameng, berwarna hijau," tutur sumber di LKUI. Tato tadi terbuat dari tinta biasa, sehingga cepat hilang ketika diusap dengan tangan. Belum jelas apakah tato palsu tadi buatan si pembunuh atau perbuatan korban sendiri yang malam itu kebetulan iseng. Di sekitar tempat tinggalnya, Ali dikenal sebagai papa gang. "Dia tukang ngompas orang, ke mana-mana sering membawa parang, suka ngeganja, dan mabuk-mabukan," ujar seseorang yang mengaku pernah dimintai uang dengan paksa. Ibunya sendiri, Nyonya Noor, menyatakan bahwa Ali pernah dipenjarakan dua tahun karena berkelahi. "Tapi sekarang dia sudah insaf," katanya. Ia hanya bisa menduga-duga siap yang membunuh anaknya. Polis: Jakarta Utara sendiri menyatakar bahwa malam itu tak ada petugas yang melakukan penangkapan terhadap Ali. "Mungkin dia di'makan' temannya sendiri," begitu komentar kenalannya. Barangkali ada benarnya. Sebab, di Cianjur, misalnya, Aep Saefudin, 32, nyaris mati dianiaya saudara iparnya bersama enam pria lain. Selasa pekan lalu, ia ditemukan dalam keadaan babak belur dengan tangan dan leher terikat di tepi Sungai Ciranjang. Ia mengaku dianiaya dan dilemparkan ke dalam sungai oleh Edi, kakak iparnya. Aep mula-mula disuruh menjualkan tape oleh mertuanya. Ternyata, pria yang memang suka mencuri kecil-kecilan itu membawa kabur uang yang didapat. Mertuanya marah dan mengutus Edi mencarinya. Aep segera saja dihajar dan tubuhnya, yang dikira sudah tak bernyawa, dilemparkan ke sungai setelah diikat dan dijerat. Ternyata, Aep belum mati. Maka, Edi dan kawan-kawannya kini terpaksa berurusan dengan polisi. Tindak main hakim sendiri seperti inilah yang disayangkan. "Mestinya orang menempuh jalur hukum, dan tidak menggunakan jalan pintas. Sangat berbahaya. Hal itu bisa menimbulkan dendam yang berkepanjangan," tutur seorang hamba hukum dengan nada prihatin. Memang memperihatinkan bila nyawa manusia, betapapun besar kesalahannya, bisa dihabisi dengan begitu mudah dan cepat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini