PEKERJAANNYA cukup meyakinkan: konsultan di sebuah perusahaan pelayaran di Singapura. Ketika pria berkebangsaan Norwegia itu mendarat di Halim Perdanakusuma, Jakarta, Sabtu malam 14 Juli lalu, pemeriksaan terhadap dia lancar saja. Tapi ketika pria tadi, J.F. Hilding, 39, hendak mengambil kopornya, petugas Bea Cukai curiga. Tubuhnya yang berpakaian tebal tak bisa membungkuk. Ia digeledah, dan ketahuanlah "belang"-nya. Di pinggangnya ada 12 kg emas murni, yang ditaruh dalam sabuk biru yang berkantung-kantung. Hilding pun ditangkap, denan tuduhan mencoba melakukan penyelundupan. Penangkapan serupa terjadi sehari sebelumnya di tempat yang sama. Ketika itu, A. Rahim, yang berkewarganegaraan Singapura, disergap polisi saat berada dalam mobil Ridwan Martha alias Ong Kim Ming, 52, seorang WNI. Dari mereka disita 14 kg emas murni. Ong, yang tinggal di Mampang, Jakarta Selatan, itu ternyata buron Interpol. "Ia dicari polisi Muangthai karena diduga keras terlibat sindikat narkotik internasional dan pemalsuan dolar AS," kata sumber TEMPO. Desember 1983 lalu, dikabarkan ia lolos ketika polisi Muangthai menyergapnya di sebuah hotel mewah di Bangkok. Dari kamarnya, polisi hanya menemukan uang tunai US$ 373.300 atau hampir Rp 400 juta, yang belum diketahui palsu tidaknya. Tapi emas yang diterimanya dari Rahim yang baru datang dari Singapura dipastikan asli, tapi tak dilindungi dokumen sama sekali. Penyelundupan emas belakangan ini memang terasa meningkat. Selain di Jakarta, petugas Bea Cukai Medan pun menangkap seorang tersangka penyelundup, Muri A Law, 40. Wanita cantik itu tertangkap 12 Juli lalu dengan bukti 6,1 kg emas, yang ditaruh dalam karton berisi permen dan minyak goreng. Dan tiga hari sebelum tertangkap Rahim juga mengaku pernah ke Indonesia membawa 10 kg emas. Ia lolos dari pemeriksaan dan menyerahkan emas yang dibawanya ke tangan Ong. Maka, pada minggu kedua Juli itu ada 42,1 kg emas yang diketahui dicoba diselundupkan lewat Halim Perdanakusuma dan Polonia, Medan. Padahal, harga emas kini sedang melorot. Ketika emas itu ramai-ramai diselundupkan, harganya hanya Rp 11.750 per gram. Merosot jauh dibanding harga Maret lalu yaitu Rp 12.550 atau Mei 1983 lalu yang mencapai Rp 12.970. Penurunan harga itu karena kini seluruh dunia sedang gandrung memburu dolar AS yang kuat nilainya, sementara bunga pinjaman tetap tinggi. Maka, terjadinya penyelundupan itu cukup mengundang tanya. "Dibandingkan dengan harga emas di Singapura, untungnya tidak seberapa. Paling hanya Rp 500 per gram. Itu pun masih dipotong untuk tiket pesawat dan uang jasa bagi si pembawa," ujar sumber TEMPO. Pembawa emas, umumnya, memang hanya orang suruhan. Hilding, misalnya, mengaku dititipi seseorang di Singapura agar menyerahkan barang yang dibawanya kepada seseorang di Hotel Kartika Plaza. Bila pekerjaan berjalan lancar, ia dijanjikan mendapat US$ 1.000 atau Rp 1 juta lebih. Sedangkan Rahim mengaku mendapat upah S$ 400 - tak sampai Rp 200.000. Menurut sumber TEMPO yang lain, bisa jadi motif impor emas gelap itu memang bukan bisnis semata. "Ada motif lain, tapi apa, kami belum tahu," katanya. Kepala Pemberantasan Penyelundupan (P2) Bea Cukai Wilayah II Medan, G. Soejono, pun curiga. Yang jelas, kata Soejono, "Masuknya emas murni berarti masuknya devisa." Sebab itu, ada ketentuan, impor emas harus sepengetahuan Bank Sentral, agar stabilitas rupiah tetap terjaga. Ong Kim Ming, yang disebut-sebut anggota sindikat narkotik dan pemalsuan dolar internasional, pun menyangkal. "Desember lalu saya memang pernah ke Muangthai, tapi hanya untuk jalan-jalan. Saya tidak tahu-menahu soal sindikat, dan tidak pernah punya uang sampai hampir Rp 400 juta seperti dikatakan polisi Muangthai," katanya kepada polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini