Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Polisi menangkap tiga petinggi biro umrah PT Naila Syafaah Wisata Mandiri yang diduga menipu ratusan anggota jemaah.
Tersangka diduga menggunakan uang jemaah untuk membeli barang pribadi.
Kementerian Agama dituding longgar mengawasi biro umrah.
KANTOR PT Naila Syafaah Wisata Mandiri di kompleks rumah toko Ayodhya Square, Kota Tangerang, Banten, terlihat terbengkalai. Padahal bangunan tersebut baru setahun digunakan. “Sejak pindah ke sini, banyak orang yang datang berdemonstrasi, jadi belum sempat ditempati,” ujar Anton, seorang pegawai keamanan, Kamis, 13 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PT Naila Syafaah merupakan biro jasa perjalanan umrah dan haji khusus ke Arab Saudi. Pengurus menutup kantor sejak polisi menelusuri penipuan umrah yang diduga melibatkan petinggi biro sejak Februari 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anton menjelaskan, anggota staf perusahaan terlihat terakhir kali sekitar sebulan lalu. Mereka menghilang setelah polisi menggeledah kantor. Mereka baru muncul pada malam hari. “Kalau siang mereka takut bertemu jemaah yang memprotes,” tutur Anton.
PT Naila Syafaah menerima protes ratusan anggota jemaah yang gagal berangkat umrah sejak tahun lalu. Keinginan jemaah terbagi dua. Ada yang tetap ingin diberangkatkan ke Tanah Suci, ada pula yang menuntut pengembalian uang.
Gedung baru milik PT Naila Syafaah Wisata Mandiri., di kompleks ruko Ayodhya Square, Kota Tangerang, 13 April 2023/Tempo/ Muhammad Iqbal
Tak hanya di dalam negeri, nasib jemaah yang sudah berangkat ke Mekah dan Madinah pun terlunta-lunta. Manajemen PT Naila Syafaah dituding lepas tangan. Mereka tak mau menanggung ongkos kepulangan jemaah. Video penelantaran itu beredar luas di media sosial.
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Hilman Latief mengatakan Satuan Tugas Penanganan Umrah telah melaporkan nasib jemaah PT Naila Syafaah ke Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. Untuk membantu jemaah yang terbengkalai di Arab Saudi, Kementerian juga sudah meminta tim teknis pada Konsulat Jenderal RI di Jeddah agar berkoordinasi dengan muasasah, badan haji setempat, guna membantu pemulangan. “Tiket pulang merupakan tanggung jawab penyelenggara. Itu murni urusan bisnis mereka,” katanya.
Belakangan, tim Kementerian Agama juga menemukan ada indikasi ratusan anggota jemaah PT Naila Syafaah pernah telantar di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Mereka terpaksa menginap berhari-hari di sebuah hotel yang tak jauh dari bandara lantaran gagal berangkat umrah.
Hilman mengatakan Kementerian sudah melayangkan surat peringatan kepada PT Naila Syafaah pada 30 September 2022. PT Naila Syafaah memiliki 318 agen di seluruh Indonesia. Tapi baru 48 agen yang terdaftar di Kementerian Agama. “Penelusuran tim di beberapa daerah menemukan ratusan calon anggota jemaah lain yang jadi korban,” ujarnya.
Parinem, 29 tahun, adalah salah satu korban. Perempuan asal Bantar Kambing, Semplak, Bogor, Jawa Barat, itu mengaku sudah membayar lunas biaya umrah sebesar Rp 25,5 juta. Uang tersebut merupakan tabungan dari usaha berdagang bakso dan hasil patungan anak-anaknya.
Ia tak menaruh curiga. Parinem tertarik menggunakan jasa biro PT Syafaah Naila karena mendapat rekomendasi dari sahabat yang sudah dua kali umrah dengan perusahaan itu.
Menjelang keberangkatan pada 2022, Parinem dan jemaah lain diminta menginap di sebuah hotel tak jauh dari bandara. Pada saat itu, manajemen PT Naila Syafaah berjanji bakal memberangkatkan mereka secara bertahap.
Sebagian jemaah lain diminta menunggu karena adanya persoalan visa. Namun rencana pemberangkatan mereka tak kunjung mendapat kepastian hingga tenggat sewa hotel habis pada hari kelima belas. “Saya dan jemaah lain terpaksa pulang ke rumah masing-masing,” ucapnya mengeluh.
Selepas menerima aduan Kementerian Agama, polisi langsung tancap gas. Mereka menangkap pengelola PT Naila Syafaah, Mahfudz Abdullah, beserta istrinya yang juga pemilik biro tersebut, Halijah Amin, pada akhir Februari lalu. Polisi juga menciduk Hermansyah, mantan Direktur PT Naila Syafaah. “Ada 500 calon anggota jemaah yang mereka telantarkan,” ujar Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Hengki Haryadi.
Hengki menjelaskan, semua anggota jemaah sudah melunasi biaya perjalanan umrah sejak 2022. Rata-rata besarannya Rp 30 juta, tergantung paket yang dipilih. Total dana yang dihimpun perusahaan itu ditaksir mencapai Rp 100 miliar. Polisi menduga Mahfudz menggelapkan dana tersebut untuk kepentingan pribadi. “Ada indikasi pencucian uang,” tuturnya.
Mahfudz merupakan residivis dalam bisnis penyelenggaraan umrah. Ia pernah tersangkut skandal serupa ketika memimpin biro penyelenggara umrah PT Garuda Angkasa Mandiri. Kasus penelantaran ratusan anggota jemaah yang terjadi pada 2018 itu berujung vonis delapan bulan penjara. Mahfudz kembali terjun ke bisnis yang sama setelah keluar dari bui. Bedanya, ia tak merintis usaha baru, melainkan mengakuisisi PT Naila Syafaah.
Hengki menjelaskan, untuk menyamarkan jejak masa lalunya, Mahfudz diduga mengganti identitas. Ia mengubah namanya menjadi Abi Hafidz Al-Maqdisi. Penggantian identitas dilakukan menjelang proses akuisisi PT Naila Syafaah. Ia mengambil langkah ini diduga untuk mengelabui Kementerian Agama. “Karena dia pernah divonis bersalah,” kata Hengki.
Ketua Komisi Nasional Haji dan Umrah Mustolih Siradj menilai Kementerian Agama kurang sigap merespons kasus itu. Sebab, kasus yang terdeteksi sejak September 2022 itu baru jadi perkara hukum pada awal 2023.
Padahal dua surat peringatan untuk PT Naila Syafaah semestinya sudah jadi cukup alasan untuk membekukan dan mencabut izin operasional perusahaan. “Tidak boleh ada toleransi dalam menangani pelanggaran seperti ini,” tuturnya.
Ia juga menganggap Kementerian Agama tak segera mendeteksi peran Mahfudz dalam bisnis tersebut. Meski tak tampak dalam layar depan dan berganti identitas, sepak terjang mantan residivis itu semestinya bisa dicegah jika satuan tugas menerapkan peraturan yang mewajibkan pelaku usaha mendeklarasikan penerima manfaat bisnis. “Sebab, identitas dalam akta sering kali hanya boneka,” ucapnya.
Kementerian Agama menolak dituduh kecolongan. Hilman Latief beralasan Mahfudz tak terdeteksi dalam akta perusahaan. Identitas Mahfudz baru terungkap ketika tim menginterogasi mantan Direktur PT Naila Syafaah, Hermansyah. Saat itu ia baru mengakui bahwa orang yang mengendalikan keuangan perusahaan bukan direktur, melainkan Mahfudz. “Sejak itu, kami melarang mereka menerima jemaah,” ujarnya.
Pada mulanya bisnis PT Naila Syafaah berjalan lancar. Mereka mulai mengalami kesulitan saat berupaya mendapatkan visa untuk jemaah. Manajemen perusahaan lantas bersiasat menggunakan data jemaah yang sudah mereka berangkatkan pada Maret 2022. “Mereka menggunakan barcode palsu,” kata Kepala Subdirektorat Keamanan Negara Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Joko Dwi Harsono.
Barcode merupakan kode unik yang tertera dalam kartu identitas yang wajib digunakan setiap anggota jemaah selama beraktivitas di Tanah Suci. Di dalamnya memuat data anggota jemaah yang telah didaftarkan melalui Sistem Komputerisasi Pengelolaan Terpadu Umrah dan Haji Khusus atau Siskopatuh. Untuk mengelabui petugas yang memeriksa, Joko mengimbuhkan, PT Naila Syafaah tetap menggunakan foto calon anggota jemaah yang akan diberangkatkan.
Kepala Subdirektorat Harta Benda Tanah dan Bangunan Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Ratna Quratul Aini mengatakan calon anggota jemaah banyak yang menjadi korban lantaran PT Naila Syafaah menawarkan tarif umrah yang murah. PT Naila Syafaah juga berjanji memberikan satu paket umrah gratis untuk individu yang mampu menjaring sembilan calon anggota jemaah.
Seluruh dana anggota jemaah ditampung menggunakan rekening PT Naila Syafaah. Tapi pengelolaannya berada di bawah kendali Mahfudz dan istrinya. Itu sebabnya polisi meyakini ada unsur pencucian uang dalam kasus ini.
Mahfudz diduga membelanjakan uang jemaah untuk keperluan pribadi. Kepemilikan rumah toko dan kendaraan operasional perusahaan itu tertera atas nama Mahfudz, istri, atau anggota keluarganya. “Sebagian aset tersebut sudah kami sita,” ucap Ratna.
Pengacara Mahfudz, Yanto Nelson Nalle, mengatakan kisruh penyelenggaraan umrah PT Naila Syafaah adalah imbas persoalan internal. Manajemen tak bisa mengambil keputusan lantaran Hermansyah mundur tanpa alasan pada 27 September 2022. Akibatnya, keputusan-keputusan korporasi tak bisa ditangani dengan cepat. “Selama ini jemaah dilayani dengan sistem go show, terbang ke Arab Saudi tanpa mengantongi tiket pulang,” ujarnya.
Pengunduran Hermansyah tak membuat Mahfudz leluasa mengendalikan PT Naila Syafaah. Sebab, pencairan rekening uang jemaah hanya bisa dilakukan atas persetujuan tiga orang: Mahfudz, istrinya, dan Hermansyah.
Ketika dimintai konfirmasi ihwal perseteruan itu, pengacara Hermansyah, Julian, tak kunjung merespons permintaan wawancara Tempo. Ia tak sekali pun membalas pesan WhatsApp dan merespons panggilan telepon.
Mahfudz Abdullah ketika masih memimpin biro penyelenggara umrah PT Garuda Angkasa Mandiri/Istimewa
Nelson mengakui adanya persoalan visa. Tapi ia tak tahu siapa yang terlibat pemalsuan barcode. Ia juga tak bisa memastikan penyelesaian nasib ratusan anggota jemaah lain. “Di rekening perusahaan sudah tidak ada dana,” tuturnya.
Lewat akun Instagram PT Naila Syafaah yang diunggah pada 17 Februari lalu, Direktur Utama PT Naila Syafaah yang baru, Budi Hartono, meminta maaf kepada anggota jemaah yang gagal berangkat umrah. Ia menyatakan keuangan perusahaan bermasalah karena kesalahan manajemen. “Perkiraan kami bisa memberangkatkan jemaah dalam enam-tujuh bulan ke depan,” ucapnya.
Masalahnya, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas sudah menjatuhkan sanksi kepada PT Naila Syafaah. “Izin usaha mereka sudah kami cabut,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini terbit di edisi cetak dengan judul "Iming-iming Umrah Murah". Faiz Zaki, Desty Luthfiani, dan Muhammad Iqal, para koresponden Tempo, menyumbang bahan untuk liputan ini.