Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEJUTAN bagi Polda Aceh. Bagaimana tidak, awal November lalu Polres Aceh Timur berhasil menggagalkan penyelundupan narkotik, di sekitar Sungai Lueng, 4 km dari Langsa. Barang yang diselundupkan pun terhitung aneh: berupa bibit opium (Poppy seed) dari jenis Papaver somniverum, sebanyak 92 kilogram bersama-sama dengan buku-buku primbon berbahasa Cina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polisi masih meraba-raba latar belakang dan tujuan memasukkan bibit opium ini. Konon, untuk menggantikan ganja yang semakin langka. "Sebab, di Muangthai opium bisa tumbuh dengan subur, berarti ada kemungkinan juga untuk bisa tumbuh di Aceh," ujar Lettu Abdoel Moeis, Kepala Satserse Polres Aceh Timur kepada TEMPO. Dan, dengan cara itu mungkin akan luput dari perhatian pihak yang berwajib. Sebab, selama ini sasaran penumpasan lebih banyak diarahkan ke ladang ganja. "Apalagi pohon opium masih baru bagi polisi," tutur Moeis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika bibit itu sempat ditanam dan berhasil, membahayakan. Sebab, morfin atau heroin dibuat dari getah buah opium. Tapi, menurut sumber TEMPO di Polda Metro Jaya, kemungkinan untuk tumbuh sangat kecil. Sebab, opium hanya dapat tumbuh dengan baik di dataran tinggi, sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut dengan suhu 20 Celcius.
Kemungkinan lain, bibit opium yang menyerupai wijen ini dipergunakan untuk bumbu masak atau bahan pembuat jamu. Semula, polisi ragu ragu dengan butiran putih ' yang mereka temukan ini Baru, setelah contoh barang diperiksa Labkrim di Polda Sum-Ut dan Mabak, Jakarta, diketahui secara pasti bahwa butiran putih itu termasuk jenis narkotik yang paling berbahaya.
Tiga tersangka yang tertangkap pada malam itu, beserta barang bukti, adalah M. Isa bin Hanafiah, 30, M. Amin bin Hasyim, 16, dan M. Jalil, 40, penduduk Matang Panyang, di Kecamatan Langsa. "Barang itu bukan milik kami. Kami hanya menerima upah untuk membawanya ke daratan," ujar mereka berbarengan, sewaktu ditemui di tahanan Polres.
Menurut mereka, barang itu dibawa dari daerah Alue U, yang memakan waktu sekitar dua jam ke daratan. Untuk ini mereka menerima Upah Rp 5.000 per orang sedangkan sewa perahu Rp 10.000 sekali angkut. Bagi pengumpul kayu bakau, upah itu lebih dari cukup. "Sungguh mati, baru setelah tertangkap polisi, kami tahu apa isinya," ujar Jalil polos.
Dari pengakuan mereka, ada anggota ABRI yang terlibat di dalam kasus ini, sedangkan dua orang lagi, Amin bin akaria dan M. Yakup, penduduk Alue Nireh di Kecamatan Peureulak, masih buron. Keberhasilan polisi menggagalkan penyelundupan ini tidak terlepas dari informasi masyarakat sekitar kejadian. Sebab, modus yang diterapkan bisa dikatakan baru.
Sekarang ini, kapal-kapal berbendera asing yang membawa barang selundupan tidak langsung ke pelabuhan. Melainkan buang sauh dulu di lepas pantai untuk menurunkan barang ke kapal motor nelayan. Barang-barang itu lalu diangkut ke daratan di sekitar hutan bakau.
Di malam hari, di saat-saat penjagaan sedang kendur, baru barang dibawa ke daratan dengan memakai jalur khusus. Hal itu mungkin dilakukan, "Karena geografi pantai Aceh Timur, berupa hutan bakau, sangat menguntungkan bagi penyelundup," kata Mayor (Pol.) Drs. Rasyif Sofian, Waka Polres Aceh Timur.
Di areal hutan bakau itu banyak alur berliku-liku yang bentuknya hampir serupa. "Jika belum mengenal medan, bisa-bisa tersesat di alur-alur itu," tambah Sofian.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Opium di Hutan Bakau"