Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Lalai Menjaga Eddy

Sepuluh petugas Inrehab Cimahi divonis penjara oleh mahkamah militer karena mereka lalai menjaga Eddy Sampak yang menyebabkan ia bisa melarikan diri.

4 Januari 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETAHUN sudah Eddy Sampak - kalau Anda belum lupa siapa dia - melarikan diri. Tapi persoalan yang ditinggalkannya belum usai. Pekan lalu, sepuluh petugas jaga di Inrehab Cimahi saat ia kabur - kini seorang bertugas di Timor Timur dan seorang lain desersi - diputus kurungan satu bulan dalam masa percobaan dua bulan, oleh Mahkamah Militer Priangan-Bogor. Seharusnya sudah matilah Sampak, si bekas sersan mayor itu. Mahkamah sudah memutuskan hukuman itu, Juni 1981, setelah Sampak merampok uang gaji Rp 21 juta untuk Kodim Cianjur dan dengan senjata Karl Gustaf-nya menembak dan membakar lima rekannya sendiri yang membawa gaji itu. Mahkamah Agung mengukuhkan hukuman itu. Presiden pun bahkan tak memberi maaf dengan menolak permohonan grasi Sampak. "Setelah grasinya ditolak Presiden, ia menjadi resah," kata seorang petugas. Padahal, sebelumnya ia sudah tampak pasrah, dan begitu rajin berkebun. Begitu baiknya ia, kata petugas yang lain, sampai boleh membeli rokok sendiri di samping Inrehab. Ketika petugas minta agar kamar Eddy Sampak dikunci, atasannya menolak, karena tak melihat adanya alasan untuk itu. "Sampak telah sadar dan menerima apa yang sekarang dialami," begitu pendapatnya. Sementara itu, kepala Inrehab masih mempertimbangkan agar Sampak dipindah ke ruang observasi untuk memudahkan pengontrolan piket. Dua minggu berlalu sudah dari saat permintaan penguncian kamar Sampak. Sepuluh petugas dengan Koptu Sudjono, 42, sebagai komandan jaga bertugas hingga 24 Desember 1984 pagi. "Baru pagi hari saya mendapat kabar dari Pratu Mahmud bahwa Eddy Sampak melarikan diri," kata Sudjono. Petugas menyebar mencari di seluruh kompleks. Ada sebatang pohon pisang menyandar di tembok setinggi 3 meter dekat Pos II yang dicurigai sebagai jalan lari. Kebetulan di dekat situ ada jejak kaki. Di atasnya ada besi yang sudah membengkok ke dalam. Pratu Joko Susilo, yang bertugas di Pos II, mengaku sama sekali tak melihat Sampak pada malam itu. Ia bergantian tidur dengan rekannya, Pratu Sidik Sumantri, di tempat jaga. Begitu pula Kopda Masni dan Kopda Atjeng di Pos I. Sedang Prada Surdija asyik mendengarkan siaran wayang dari radio dan baru tahu Sampak kabur setelah memulangkan radio pinjaman itu. Baru esoknya, menjelang timbang terima piket, Sunyoto menjadi saksi di persidangan - melihat kamar IV, tempat Eddy Sampak tinggal, tergembok. Secarik kertas tertempel di pintu: "Maaf, Eddy tidur di blok II". Ternyata, Sampak telah kabur. Atas kelalaian itu, Hakim Mahmil Letkol Sumarni menghukum para penjaga. Sampak tetap menghilang tak tentu rimbanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus