Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Peradilan Jenderal Tergantung Presiden

Kasus Timor Timur yang melibatkan beberapa jenderal TNI tak mungkin ke pengadilan HAM? Menurut RUU-nya, itu terserah pada presiden dan DPR.

18 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK bisa dimungkiri, kasus Timor Timur menjadi taruhan mahal bagi citra Indonesia di mata internasional. Tapi kasus kejahatan hak asasi manusia di bumi Loro Sa'e yang melibatkan beberapa jenderal TNI itu tampaknya masih sulit dibawa ke pengadilan. Tilik saja, hasil penyelidikan kasus itu sudah diserahkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia kepada Jaksa Agung Marzuki Darusman sejak 31 Januari 2000, tapi hampir lima bulan ini tim penyidik gabungan yang dibentuk jaksa agung tak kunjung merampungkan tugasnya.

Itu dari segi penyidikan. Dari segi dasar hukum, ternyata belum ada perangkat hukum untuk bisa mengadili kasus Timor Timur. Sampai kini, calon dasar hukum itu—berupa Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan HAM—masih dibahas di DPR. RUU itu paling cepat bisa menjadi undang-undang pada akhir Juli 2000. Itu kalau penggodokannya tak molor. Soalnya, pada persidangan Rabu pekan lalu saja, hanya sekitar 30 anggota DPR yang kelihatan. Padahal, daftar absennya diparaf oleh sekitar 300 wakil rakyat.

Sepintas, banyak hal baru dalam RUU tersebut. Di antaranya pencantuman berbagai jenis kejahatan hak asasi manusia yang tertuang pada beberapa konvensi internasional, tapi tak tercakup dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Juga ada delik omisi yang dimaksudkan bagi perwira TNI ataupun polisi yang mengetahui kejahatan hak asasi oleh bawahannya, tapi membiarkan saja.

Selain itu, ada penyimpangan khusus terhadap prinsip undang-undang tak boleh berlaku surut. Dengan demikian, kasus hak asasi yang terjadi sebelum Undang-Undang Pengadilan HAM berlaku, misalnya kasus Timor Timur, Aceh, Papua, dan Tanjungpriok, bisa diadili di pengadilan HAM ad hoc (sementara). Di dunia internasional, prinsip berlaku surut juga telah diterapkan pada kasus Perang Dunia II, Bosnia, Rwanda, dan Khmer Merah.

Meskipun demikian, Munir dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mengkhawatirkan adanya lubang pada RUU yang bisa menjadi pintu bagi intervensi pemerintah. Lubang dimaksud adalah pembentukan pengadilan HAM ad hoc melalui keputusan presiden (keppres) atas usul DPR. ''Bagaimana bisa proses hukum yang menjadi wewenang yudikatif `dititipkan' kepada Presiden?" kata Munir.

Seharusnya, penentuan perlu-tidaknya suatu pengadilan HAM ad hoc jangan diserahkan kepada eksekutif, melainkan ditetapkan oleh hakim peradilan umum. Atau, bisa juga ditentukan oleh Mahkamah Agung (MA). Seperti pada Undang-Undang Kehakiman terbaru, MA-lah yang menentukan suatu kasus koneksitas di pengadilan sipil atau militer. Pada Undang-Undang MA, lembaga peradilan tertinggi itu juga berwenang memutuskan sengketa mengadili.

Lubang lain pada RUU tersebut yang membuka peluang bagi kompromi politik, menurut Munir, juga bisa terjadi akibat tak ada pembedaan tegas antara jenis kejahatan hak asasi berat dan jenis kejahatan hak asasi yang dianggap cukup diadili dengan KUHP. Bisa-bisa, ''Kejahatan HAM `dipelesetkan' menjadi sekadar kasus pembunuhan yang dilakukan oknum aparat kemanan. Lantas, kasusnya diproses dengan pengadilan koneksitas," kata Munir. Contohnya, kasus pembunuhan Tengku Bantaqiah di Aceh, peristiwa 27 Juli 1996 di Markas PDI, dan kasus di Papua.

Kerisauan senada diutarakan pula oleh juru bicara Fraksi Golkar di DPR, Anwar Arifin. Selain menduga akan terjadi tumpang tindih jenis kejahatan hak asasi dengan KUHP, Anwar juga menyoroti dua hal dalam RUU itu yang bisa menjadi kendala serius. Pertama, masih berlakunya Undang-Undang Peradilan Militer yang dapat menyulitkan proses peradilan seorang militer di pengadilan HAM. Kedua, tak adanya batas waktu berlaku surut. Hal itu bisa menimbulkan penafsiran bahwa semua kasus hak asasi yang terjadi sebelum undang-undang itu, entah kasus Westerling, jugun ianfu, ataupun Tanjungpriok, boleh diajukan ke pengadilan HAM ad hoc.

Tapi, Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan, Romli Atmasasmita, membantah anggapan bahwa RUU itu mengandung lubang bagi dominasi pemerintah. ''Presiden hanya sebatas menerbitkan keppres pembentukan pengadilan HAM ad hoc. DPR yang menentukan perlu-tidaknya pengadilan HAM ad hoc untuk kasus hak asasi tertentu," kata Romli.

Memang, dalam masalah batas waktu berlaku surutnya undang-undang, Romli mengaku bahwa pemerintah sulit menentukannya, meski draf RUU sudah diperbaiki sampai sepuluh kali. Sebab, berbagai kasus hak asasi pada masa lalu berkaitan dengan masalah politik, rasa keadilan masyarakat, dan sejarah. Karena itu, masalah itu diserahkan kepada DPR untuk menentukan kasus per kasus.

Adapun soal hambatan akibat masih berlakunya Undang-Undang Peradilan Militer, menurut Romli, sebenarnya sudah diantisipasi dengan ketentuan pasal 19 RUU itu. Pada pasal itu, kewenangan atasan yang berhak menghukum dan perwira penyerah perkara sebagaimana diatur pada Pasal 74 dan Pasal 123 Undang-Undang Peradilian Militer dinyatakaan tidak berlaku. Jadi, ''Tersangka militer yang terlibat perkara hak asasi tetap diproses di pengadilan HAM," ujarnya.

Happy S., Dewi Rina Cahyani, dan Iwan Setiawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus