Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Syahril di Simpang DPR dan BI

DPR menganggap BI yang berhak menentukan perlu-tidaknya Syahril dinonaktifkan. Tapi BI berpendapat bahwa itu wewenang DPR.

18 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASALAH Gubernur Bank Indonesia (BI) Syahril Sabirin ternyata semakin kontroversial. Pada rapat kerja Komisi IX DPR dan BI, Senin pekan lalu, kedua lembaga itu menyimpulkan bahwa Syahril tak perlu menanggalkan jabatannya selaku Gubernur BI akibat proses perkaranya sebagai tersangka kasus Bank Bali. Sebab, tiga keadaan yang memungkinkan Syahril diberhentikan, sebagaimana diatur pada Pasal 48 Undang-Undang BI—yakni mengundurkan diri, meninggal, dan terbukti melakukan tindak pidana—belum terpenuhi. Kalau tak bisa diberhentikan secara tetap, memang bisa saja Syahril diberhentikan sementara atau dinonaktifkan. Namun, untuk keputusan menonaktifkan itu, DPR menyerahkannya kepada Dewan Gubernur BI. Alasannya, menurut Ketua Komisi IX, Sukowaluyo Mintorahardjo, Dewan Gubernur BI yang mengetahui persis apakah proses perkara Syahril telah mengganggu pelaksanaan tugasnya selaku Gubernur BI. Sukowaluyo merujuk alasan itu berdasarkan ketentuan Pasal 37 Undang-Undang BI. Dalam pasal itu, Gubernur BI dianggap berhalangan bila menjalani cuti, sakit, ke luar negeri, atau diperiksa karena tindak pidana. Bila salah satu dari empat keadaan itu dianggap telah terjadi oleh Dewan Gubernur BI, Syahril bisa dinonaktifkan dan tugas Gubernur BI dijalankan oleh deputi senior. Meski sama-sama menganggap pemberhentian sementara Syahril merupakan wewenang otonom BI—sebagai manifestasi dari prinsip independensi BI—toh anggota Komisi IX DPR, Paskah Suzetta, mendasarkan alasannya pada Pasal 43 Undang-Undang BI. Sesuai dengan ketentuan pasal itu, rapat Dewan Gubernur BI menjadi forum tertinggi yang berwenang memutuskan hal strategis, termasuk masalah Syahril. "Baik presiden maupun DPR tak bisa memberhentikan sementara (menonaktifkan) Gubernur BI," kata Paskah. Pada rapat Dewan Gubernur BI, Selasa dan Rabu pekan lalu, kesimpulan rapat kerja bersama DPR tadi dikukuhkan lagi. Menurut dewan gubernur, Syahril memang tak perlu mengundurkan diri. Sebab, statusnya selaku tersangka kasus Bank Bali dianggap tak sampai mengganggu tugasnya. Dengan demikian, "Saya tak perlu mundur," ujar Syahril. Namun, untuk menonaktifkan Syahril, ternyata pada rapat dewan gubernur, Jumat pekan lalu, dewan gubernur berbeda pendapat dengan DPR. Menurut Deputi Gubernur Senior BI, Anwar Nasution, bukan Dewan Gubernur BI dan juga bukan presiden yang berwenang memberhentikan sementara Gubernur BI. Wewenang itu, kata Anwar, ada pada DPR sebagai lembaga yang memilih dan mengangkat Gubernur BI. "Kalau kami dipaksakan untuk memberhentikan sementara Gubernur BI, itu namanya kudeta," ujar Anwar. Sembari menyalahkan sikap DPR yang menyerahkan masalah Syahril kepada Dewan Gubernur BI, Anwar juga menyatakan bahwa penerapan Pasal 43 Undang-Undang BI untuk masalah tersebut tidak tepat. Pasal 43, katanya, sebenarnya lebih dimaksudkan bagi rapat dewan gubernur untuk menetapkan kebijakan moneter. Karena itu, dewan gubernur akan mengembalikan masalah Syahril kepada DPR, Senin pekan ini. Anwar tak lupa menambahkan, Dewan Gubernur BI tak berwenang pula menentukan perlu-tidaknya Syahril mengundurkan diri. "Pak Syahril sendiri yang berhak mengajukan pengunduran diri kalau merasa tugasnya terganggu karena terus-menerus diperiksa sebagai tersangka," kata Anwar. Menghadapi perubahan pendapat BI itu, tentu saja Paskah Suzetta mengaku merasa kecewa. "Saya jadi meragukan kredibilitas Dewan Gubernur BI untuk menegakkan independensi. Rekomendasi DPR untuk menyerahkan masalah Syahril kepada Dewan Gubernur BI itu kan dibuat bersama-sama dengan Dewan Gubernur BI," kata Paskah. Akankah DPR bersikukuh dengan sikapnya pada persidangan Senin ini? Yang jelas, ada pendapat yang menyatakan bahwa karena Syahril diangkat sebagai Gubernur BI melalui keputusan presiden (keppres), pemberhentian sementaranya juga harus melalui keppres. Lagi pula, lazimnya, pegawai negeri ataupun pejabat negara yang tersangkut tindak pidana dikenai pemberhentian sementara. Aturan untuk menjamin kelancaran proses hukum itu di antaranya tercantum dalam Undang-Undang Kepegawaian. Happy Sulistyadi, Ardi Bramantyo, dan Setiyardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus