Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Saling Tuding Main Kemplang

PT Adiputera menuduh Bank Universal sewenang-wenang memblokir dananya senilai Rp 14,5 miliar. Tapi pihak bank balik menuding debitorlah yang curang.

18 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KRISIS moneter memang telah mengakibatkan banyak debitor (perusahaan- yang berutang) sekarat. Nasib pahit juga dialami PT Adiputera Dewasajaya, salah satu kontraktor PT Tambang Batu Bara Bukit Asam, yang berutang Rp 27,5 miliar kepada Bank Universal. Sudah beban utang sangat berat, ternyata Bank Universal (kreditor) juga memblokir dana Adiputera senilai Rp 14,5 miliar secara sepihak.

Tindakan kreditor itu seperti "merampok perusahaan kami pada siang bolong," ujar Direktur Utama PT Adiputera, Eddy Hartono, geram. Akibatnya, Adiputera tak bisa membayar gaji seribu orang karyawannya. Perusahaan itu juga tak bisa beroperasi di proyek PT Tambang di Tanjungenim, Sumatra Selatan, sehingga ia kehilangan pendapatan sekitar Rp 200 juta sehari. Itu sebabnya, Adiputera kini menggugat Bank Universal di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Gugatan Adiputera bermula dari pembelian peralatan berat senilai US$ 9,8 juta dari PT United Tractors. Untuk itu, Adiputera meminjam dana dari Bank Universal sebesar Rp 27,5 miliar, pada 25 Juni 1997. Ternyata, krisis moneter berkepanjangan. Kewajiban Adiputera untuk membayar cicilan pokok dan bunga kredit pun menjadi seret.

Belakangan, kreditor merestrukturisasi utang Adiputera. Pinjaman yang semula berjangka waktu 36 bulan itu diperpanjang menjadi 52 bulan. Pembayaran cicilan pokok juga ditunda sampai Juni 1999.

Namun, penangguhan utang itu kemudian menjadi masalah. Soalnya, menurut Eddy Hartono, Bank Universal memaksa debitor untuk melunasi kredit dalam waktu tujuh hari. Padahal, kredit itu baru jatuh tempo pada Februari 2002. Tapi dalih Eddy dibantah keras oleh kuasa hukum Bank Universal, Panji Prasetyo. Kata Panji, kredit tersebut sebenarnya terdiri dari tiga jenis, yakni pinjaman jangka panjang sebesar Rp 21,5 miliar, pinjaman reguler Rp 5 miliar, dan pinjaman rekening koran Rp 1 miliar. Pinjaman reguler dan rekening koran, kata Panji, sudah jatuh tempo sejak Juli 1999. Tinggal sisa pinjaman jangka panjang sekitar Rp 20 miliar yang jatuh tempo pada Februari 2002.

Toh, Adiputera tak bisa menerima penjelasan itu. Ia juga tak hendak mengakui perhitungan Bank Universal yang menentukan cicilan pokok menjadi Rp 835 juta sebulan. Sebab, kata Eddy, berdasarkan perhitungan konsultan Adiputera, cicilan itu mestinya hanya Rp 700 juta per bulan.

Dan yang paling membuat Adiputera berang adalah pengambilalihan pembayaran proyeknya sebesar Rp 14,5 miliar dari PT Tambang. Uang yang dikirim ke rekening Adiputera di Bank Universal itu langsung digunakan bank itu untuk menutupi utang Adiputera. Padahal, menurut Eddy, justru pihaknya yang punya kelebihan uang sebesar Rp 11,4 miliar dari pembayaran cicilan pokok dan bunga sebelumnya.

Giliran Panji yang kembali menepis tuduhan bahwa kliennya sewenang-wenang memblokir uang Adiputera dari PT Tambang. Pengambilalihan dana itu, kata Panji, berdasarkan perjanjian cessie (pengalihan hak piutang) yang melengkapi perjanjian kredit antara Adiputera dan Bank Universal.

Argumentasi Panji dibenarkan oleh Pradjoto, konsultan hukum PT Tambang. Semula, kata Pradjoto, PT Tambang enggan mengalihkan uang itu kepada Bank Universal. Soalnya, perjanjian cessie tadi tak pernah diberitahukan Adiputera kepada PT Tambang. Tapi, karena perjanjian itu kemudian dikukuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 15 Februari 2000, mau tak mau PT Tambang melaksanakannya.

Berdasarkan itu, "Adiputera tak berhak lagi menagih uangnya kepada PT Tambang. Sebab, hak itu telah beralih ke Bank Universal," ujar Pradjoto, yang dikenal sebagai pengamat hukum perbankan.

Kalau persoalannya lebih menyangkut perhitungan sisa kredit dan beban berat yang ditanggung Adiputera, kenapa debitor dan kreditor itu mesti repot-repot beperkara ke pengadilan? Mestinya masalah teknis begitu bisa diselesaikan di luar pengadilan secara win-win solution.

Atau, memang ada persoalan lain yang lebih serius di balik perkara tersebut? Soalnya, Bank Universal mengaku pernah beberapa kali menawarkan restrukturisasi utang Adiputera. Bank itu juga mengusulkan kredit baru untuk penambahan modal. Tapi Adiputera menolaknya. Malah, perusahaan itu menuduh Bank Universal mau melakukan hostile take-over (pengambilalihan perusahaan secara tidak wajar). "Tuduhan itu merupakan kebohongan besar," tutur Panji.

Happy S., Hendriko L. Wiremmer

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus