Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Megasidang Tanah Rakyat

Di Sumatra Utara, ribuan petani menuntut tanah mereka yang dikuasai perusahaan perkebunan. Di Jawa Tengah, 519 warga digugat karena menyerobot lahan perkebunan.

18 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GELOMBANG euforia reformasi ternyata semakin melanda berbagai kasus tanah. Sebagian masyarakat yang menganggap tanahnya dulu diambil secara paksa oleh pejabat pemerintah dan pengusaha kini ramai-ramai menuntut balik tanah mereka. Di Sumatra Utara, misalnya, ribuan warga dua pekan lalu berhari-hari melakukan unjuk rasa di DPRD Sumatra Utara. Petani dari beberapa kabupaten itu menuntut pengembalian tanah mereka dari PT Perkebunan (PTP) Nusantara II, III, IV, dan beberapa perusahaan perkebunan swasta. Lahan perkebunan yang dituntut warga tak tanggung-tanggung. Dari PTP Nusantara II saja, seluas 20 ribu hektare tanah diminta kembali. Rupanya, rentetan aksi tersebut berbarengan dengan akan habisnya masa hak guna usaha (HGU) perusahaan-perusahaan perkebunan tadi pada 9 Juni 2000. Ternyata, tuntutan itu membuahkan hasil. Pada 7 Juni lalu, dicapai kesepakatan antara pengusaha dan rakyat penuntut. Dalam kesepakatan yang ditengahi DPRD dan disaksikan para pejabat terkait itu, tanah yang dituntut rakyat akan dikeluarkan dari HGU. Untuk itu, akan dilakukan pengukuran batas-batas tanahnya. Namun, belum lagi kesepakatan itu berlanjut dengan aksi konkret di lapangan, giliran para karyawan PTP Nusantara II berdemonstrasi ke DPRD. Mereka menentang tuntutan warga yang dianggap belum tentu berhak atas tanah tersebut. Sementara itu, di lokasi perkebunan, terjadi berbagai konflik fisik antara warga dan pihak perkebunan. Berbeda dengan petani di Sumatra Utara, 519 warga di Kendal, Jawa Tengah, justru bernasib sebaliknya. Mereka malah digugat oleh PTP Nusantara IX karena dituduh telah menyerobot tanah seluas 274 hektare milik perusahaan itu. Gugatan itu disidangkan di Pengadilan Negeri Kendal, Rabu pekan lalu. Sebagaimana kasus tanah yang terjadi di banyak daerah setelah pemerintahan Orde Baru diganti pada Mei 1998, warga di tiga desa di Kendal pun ramai-ramai menduduki dan menggarap sebagian lahan di PTP Nusantara IX. Mereka berpendapat bahwa lahan itu merupakan tanah hutan yang dulu dibuka oleh orang tua mereka. Namun, sejak 1957, dengan bantuan aparat desa setempat, lahan itu diambil alih secara paksa oleh PTP Nusantara IX. Beberapa kali warga mencoba merebut kembali tanah itu, tapi selalu gagal karena pihak perusahaan menggunakan aparat keamanan untuk menghalau tuntutan warga. Usaha warga untuk menuntut keadilan ke beberapa instansi di pusat juga tak membuahkan hasil. Mereka telah mengadukan nasibnya ke Menteri Agraria, DPR, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan bahkan ke Abdurrahman Wahid sewaktu masih menjadi Ketua PB Nahdlatul Ulama. Pada November 1999, sebenarnya tercapai kesepakatan di DPRD Kendal. Waktu itu, pihak PTP dan warga sepakat melakukan pengukuran. Dengan demikian, batas-batas bagian lahan perkebunan yang diklaim warga akan menjadi jelas. Toh, kesepakatan itu putus di tengah jalan. Pihak PTP enggan melaksanakannya. Sebab, "Luas tanah yang dianggap milik warga tak disebutkan secara tegas. Semula warga mengklaim tanahnya seluas 80 hektare, tapi belakangan menjadi 274 hektare," kata kuasa hukum PTP Nusantara IX, Muh. Sardjan. Sardjan juga menandaskan bahwa lahan itu sudah diperoleh pihak PTP sesuai dengan prosedur. "Tidak benar kalau PTP IX Nusantara dituduh memperoleh tanah itu dulu dengan mengintimidasi rakyat," ujarnya. Karena itu, Sardjan menganggap HGU milik kliennya yang akan habis masa berlakunya pada tahun 2005 sudah berdasarkan hukum. Namun, warga tiga desa itu bersikukuh pada pendiriannya. Mereka tetap menuntut sebagian lahan PTP IX Nusantara sebagai miliknya. Dalam persidangan pertama di Pengadilan Negeri Kendal, mereka malah menghujat pihak PTP. "PTP perampok tanah kami," demikian bunyi spanduk warga. Tak cuma itu ulah mereka. Sembari berteriak-teriak, mereka juga memukuli meja dan kursi pengadilan. Mereka meminta agar semua warga yang digugat bisa duduk di dalam ruang sidang yang cuma mampu menampung 50 orang. "Kalau perlu, perkara ini disidangkan di alun-alun Kabupaten Kendal secara terbuka," kata M. Rois, salah seorang sesepuh warga. Suasana pun semakin memanas. Akhirnya, majelis hakim, yang diketuai Nasli Kamu, hanya dapat membuka sidang selama 10 menit, untuk kemudian menundanya sampai batas waktu tak tertentu. Mungkin persidangan massal yang biayanya—Rp 179 juta—sudah ditanggung PTP Nusantara IX tapi baru dipanjar sebesar Rp 25 juta itu akan dipindahkan ke Gelanggang Olahraga Bahurekso, Kendal. Hp.S., Bambang Soedjiartono (Medan), Bandelan Amarudin (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus