Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Subarjo Mundur, Syahril Tidak |
Drama Bank Indonesia (BI) belum berakhir. Sementara Gubernur BI Syahril Sabirin tak mau mundur, Deputi Gubernur BI Subarjo Joyosumarto malah melengserkan dirinya sendiri. Tentu saja dua kasus ini tak ada kaitannya. Subarjo mundur setelah lamarannya menjadi Direktur Eksekutif The Southeast Asian Central Banks (Seacen) Center diterima. Subarjo, yang baru habis masa jabatannya pada 2002 mendatang, akan mundur per 1 Juli 2000.
Subarjo lengser setelah Syahril mengungkapkan ketidaksenangan Presiden Abdurrahman terhadap doktor moneter dan ekonomi internasional lulusan Universitas Colorado (AS) ini. Dalam rapat kerja di DPR Senin lalu, Syahril mengemukakan, Presiden marah ketika BI menutup Bank Ficorinvest, Maret 1999. Gus Dur, yang baru membeli Ficorinvest sebulan sebelumnya, marah kepada Subarjo, yang mestinya bertanggung jawab atas program penyehatan bank. "Mungkin bukan Gus Dur saja yang tak suka sama saya. Banyak juga yang lain," kata Subarjo. Maklumlah, di zaman Subarjo, BI membredel 47 bank, bukan cuma Ficorinvest.
Chandra Asri tanpa Proteksi |
Kabar baik bagi konsumen ini boleh jadi merupakan kabar paling buruk bagi Chandra Asri: pemerintah menurunkan lagi bea masuk olefin (bijih plastik). Sejak pekan lalu, bea masuk proplina turun jadi 5 persen, sedangkan etilena kini malah bebas bea masuk alias free.
Dengan penurunan bea masuk ini, konsumen bebas memilih: mau produk lokal atau impor. Sementara itu, Chandra Asri, megaproyek kontroversial yang memproduksi kedua bahan baku plastik ini, harus bersaing ketat dengan produk impor. Selama ini, produk Chandra Asri dilindungi bea masuk 10 persen, bahkan 25 persen di zaman Soeharto. Tentu saja pencabutan proteksi ini akan menyulitkan nasib perusahaan yang semula dimiliki Prajogo Pangestu, Bambang Trihatmodjo, dan Henry Pribadi inipara pengusaha yang dekat dengan kekuasaan saat itu. Dengan proteksi saja, Chandra Asri tak pernah untung. Sejak beroperasi pada 1996, kerugian Chandra Asri sudah mencapai US$ 717 juta.
Selain memukul operasional Chandra Asri, penghapusan bea masuk olefin itu bakal menghantam posisi tawar perusahaan petrokimia itu. Dalam rangka restrukturisasi utang, Chandra Asri tengah ditawar sejumlah raksasa petrokimia asing, termasuk BP Amoco. Tapi, setelah proteksinya dicabut, apakah para pelamar ini akan tetap berminat?
Katanya Kaya, kok, Obral Harta? |
Duit boleh banyak, tapi jualan harta jalan terus. Begitulah Astra International. Kendati telah menyatakan tak akan mengurangi penyertaan modal (divestasi), Astra tetap saja menjual sejumlah asetnya. Pekan lalu, perusahaan otomotif terbesar Indonesia itu mengumumkan penjualan saham dua anak perusahaannya. Yang pertama, Astra melepas 42,5 persen sahamnya di pabrik pembuat sepeda motor Honda, PT Federal Motor, kepada Honda Motor Co., Jepang. Dengan penjualan ini, Astra tinggal memiliki 50 persen saham perusahaan yang banyak menyumbang pendapatan Astra itu. Hingga akhir pekan lalu, belum diketahui berapa hasil divestasi Astra dari Federal ini.
Selain itu, Astra juga melepas 22,5 persen sahamnya di perusahaan telekomunikasi PT Astratel Nusantara kepada CDC Capital Partners. Pengalihan saham terjadi setelah CDC menyuntikkan modal US$ 30 juta. Dengan dana tambahan itu, Astratel akan mengembangkan proyek telepon seluler GSM 1800 dan meneruskan pembangunan 1,1 juta satuan sambungan telepon di Sumatra. Untuk menggarap proyek kerja sama operasi dengan PT Telkom itu, Astratel menggandeng France Telecom mendirikan PT Pramindo Ikat Nusantara.
Sebelum ini, Astra juga menjual sebagian sahamnya di PT Astra Daihatsu Motor (25 persen senilai Rp 450 miliar), PT Astra Microtronics Technology (US$ 90 juta), dan PT Karabha Unggul (17,5 persen senilai US$ 7 juta). Menurut rencana semula, Astra akan melepas sejumlah penyertaan di anak-anak perusahaan untuk menjala dana sekitar Rp 3 triliun sampai tahun 2002. Dana ini diperlukan untuk membantu Astra mengurangi beban tekanan utang, yang US$ 1 miliar dan Rp 1 triliun di antaranya sudah dijadwal ulang. Tapi, setelah melihat kinerja penjualan mobil enam bulan terakhir, manajemen Astra bertekad untuk tidak melakukan divestasi, setidaknya dalam tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo