RABU malam, 11 Mei lalu, rumah Wayan Tegal di dekat Banjar
Teguan, kabupaten Badung Utara, Bali, mendadak goncang. Genting
dan semua kaca jendela pecah berantakan. Penghuninya, yang haru
saja masuk tidur pada jam 9 malam itu, serentak terbangun. Wayan
Tegal sendiri yang sempat berteriak keras: "Bangun .... ada
gempa, selamatkan anak-anak!" Tapi kemudian setelah Wayan sadar
betul, barulah ia tahu apa sesungguhnya yang telah terjadi.
Rupanya, "segerombolan perampok, jumlahnya mungkin sekitar 50
orang", kata Wayan, telah menghantam rumahnya dengan lemparan
batu dan kayu. Gerombolan liar itu muncul dengan muka bertopeng.
Ada juga yang menyamarkan mukanya dengan coreng-mareng.
Tamu liar ini lalu menggiring keluarga Wayan, dengan paksa,
untuk berkumpul di dapur. Agar korban tak dapat mengenali
tampang mereka, gerombolan perampok ini menyorotkan lampu senter
ke setiap mata Wayan dan keluarganya. Lalu ada perintah,
kelihatannya dari kepala perampok: "Serbu . . . ambil semua
barang-barang!" Seluruh isi rumah, mulai dari baju? perhiasan,
uang kontan sampai babi dan itik, disikat gerombolan ini dalam
waktu sejam.
Belakangan Wayan menghitung hartanya yang lenyap: 40 stel
pakaian, uang kontan Rp 12.500, arloji 2 buah, sebuah mesin
jahit, seuntai kalung emas. Dapur juga diserbu dan yang amblas:
sebuah kompor, lampu petromak. Lusinan piring & gelas sampai 15
kg beras dan 15 ember. Dari dapur para perampok menjarah kebun
belakang. Di sana mereka menyikat 4 ekor babi, 12 ekor itik dan
ayam sekandangnya. Cuma seekor babi, karena terlalu gemuk dan
susah diangkat, mereka sisakan dengan moncong terbabat golok.
Yang tak dapat mereka angkut, seperti lemari, meja dan kursi,
tak satupun yang ditinggalkan utuh. Semuanya dihancur-luluhkan.
Rupanya perintah kepala rombongan mereka, seluruh harta keluarga
Wayan Tegal harus dihabiskan.
Tetangga Diam
Sebelum angkat kaki, kepala perampok itu meninggalkan ancaman:
Wayan atau siapa saja tak diperkenankan melapor kepada siapapun.
Jiwa Wayan sendiri yang menjadi jaminan. Itulah sebabnya malam
itu seluruh kampung tetap tenang dan sepi, seperti tak pernah
terjadi sesuatu peristiwa yang gawat. Tak ada kentongan tanda
bahaya ditabuh. Walaupun, menurut Wayan, kegaduhan di rumahnya
itu sebenarnya dapat ditangkap oleh telinga tetangga sampai
jarak ratusan meter. Namun tetap aja tak ada pertolongan yang
datang. Wayan menyesali para tetangganya juga.
Esok paginya, setelah pinjam baju tetangga, Wayan melapor ke
kantor kepala-desa. Menurut adat turun-temurun di Bali, jika
pada saat kejadian kejahatan warga tak sempat memukul kentongan
keesokan harinya tanda ada warga yang kehilangan barang, masih
boleh ditabuh. Tapi, menurut Wayan Tegal, kepala-desa
melarangnya melakukan kebiasaan adat itu. Wayan menganggap sikap
kepala-desa itu aneh juga.
Baiknya kepala-desa segera melaporkan keadaan warganya itu ke
kantor polisi. Polisi disertai seorang anggota DPRD Badung, Ida
Bagus Bhaskara dan seorang pengurus pusat KNPI dari Jakarta
(yang kebetulan bertugas di Bali), mememeriksa rumah Wayan.
Sementara polisi, paling-paling, berkesimpulan: musibah keluarga
Wayan Tegal itu hanyalah perampokan biasa. Namun banyak orang
yang tidak menyangka begitu. Sebab Wayan Tegal, sebagai petani
kecil, tidak kaya, dan tidak memiliki sawah sendiri, pasti bukan
sasaran para perampok harta benda. Di sekitar rumah Wayan masih
ada sasaran yang terhitung lebih empuk.
Parpol
Lalu apa yang terjadi? Karena masin belum begitu jauh dari
suasana pemilu. Jadi banyak orang yang menghubunghubmgkan
kejadian itu dengan politik Wayan, walaupun bukan aktivis yang
ikut berkampanye, tapi ia dikenal sebagai anggota sebuah partai
politik.
Anggota DPRD Ida Bgs Bhaskara memang tidak memastikan adanya
latar belakang politik di balik peristiwa perampokan rumah
Wayan. Cuma ia mempunyai dugaan tertentu: "Peristiwa ini tak
dapat dilepaskan dari peristiwa peranpokan yang terjadi
sebelumnya di daerah sini". Wakil rakyat ini lalu meningatkan
peristiwa perampokan atas warung Dewa ade Masta di Plaga dalam
masa kampanye lalu (TEMPO, Nasional 7 Mei). "Pelaku peristiwa
itu, hingga sekarang belum juga tertangkap", kata Bhaskara.
Dengan begitu, "gerombolan perampok ini, seolah-olah, mendapat
angin karena tak kelihatan ada tindakan tegas dari pemerintah.
Sehingga mereka tampak makin berani saja".
Walaupun seperti yang dialami Wayan sebenarnya tak begitu sulit
mencari petunjuk untuk menemukan para pengacau itu. "Karena
pelakunya bukan orang jauh", kata Wayan. Tapi buat tunjuk
hidung. orang seperti Wayan dan korban lainnya, agak ngeri juga.
Wayan masih ingat kejadian yang menimpa orang lain. Pada masa
kampanye lalu, ada seorang penduduk di Kesiman, melaporkan
seseorang yang telah melempari rumahnya dengan batu. Tapi,
sialnya, bukan si terlapor yang ditindak oleh polisi malah si
pelapor sendiri yang harus masuk tahanan selama 10 hari.
Tuduhannya paling gampang: memfitnah.
Kalau memang perampokan rumah Wayan -- dan yang lain-lain juga
cuma perkara kejahatan biasa, orang berharap agar polisi segera
dapat membekuk para pelakunya. Kata orang, kejahatan yang
dilakukan oleh segerombolan orang dan lagi banyak meninggalkan
jejak, sebenarnya tak begitu menyulitkan penyidikan yang serius.
Apalagi, seperti kata Narwan Hadisardjono dari KNPI Pusat,
"pekerjaan yang semalam itu bukan dilakukan menurut watak orang
Bali". Sesuatu yang aneh di lingkungan mereka, biasanya, mudah
tercium para petugas. Cuma, kata Naran lagi, "penegak hukum di
sini memang sedang diuji: apakah dapat berdiri menegakkan hukum
di atas semua golongan?" Mengapa tidak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini