Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Perang Antar-Cucu Ompu Saundur

Semarga tak menjamin kerukunan. di hutagurgur jae, sum-ut, hombang pasaribu, 55, menyerang peserta upacara kematian ompu sopar boru siagian, 70. ia merasa berhak bukan suami almarhumah, lekana pasaribu.

30 Juli 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UPACARA adat penguburan mayat bisa pula menimbulkan pertumpahan darah. Dua kelompok penduduk sesama marga Pasaribu, di Desa Hutagurgur Jae, Sumatera Utara, Selasa dua pekan lalu berkelahi karena sama-sama merasa berhak mengadakan upacara adat untuk penguburan seorang wanita tua, Ompu Sopar boru Siagian, yang meninggal dalam usia 70 tahun. Dalam perkelahian masal yang hanya berlangsung beberapa menit itu, dua penduduk tewas dan beberapa orang lainnya terluka. Sampai pekan lalu, penduduk kampung itu masih diliputi rasa curiga dan bersiaga kalau-kalau perkelahian masih berlanjut. Pada malam naas itu, jenazah Ompu Sopar terbaring di rumah panggungnya yang berdinding papan. Suaminya, Lekana Pasaribu, bersama kerabat dan para pelayat, diterangi empat buah lampu petromaks, tengah berembuk untuk menyelenggarakan upacara adat penguburan Almarhumah, yang disebut Marindahan Raja -- antara lain memotong seekor babi atau kerbau, dan dagingnya dibagi-bagikan pada kerabat almarhum. Tiba-tiba suasana menjadi kacau. Puluhan lelaki bersenjatakan parang dan tombak menyerbu ke dalam rumah. "Mainkan!" pekik beringas salah seorang penyerbu, seperti orang kesetanan. Tanpa menghormati Jenazah, mereka menjungkirbalikkan piring berisi makanan. Suasana menjadi kalut karena penyerbu menyiramkan bensin ke dinding rumah dan menyulutnya. Untung, pihak tuan rumah bisa segera memadamkan api itu, sehingga tak sampai menghanguskan rumah. Tapi perkelahian tak terelakkan. Tuan rumah, Lekana Pasaribu, 80 tahun, beserta anak-anaknya dan para pelayat menyambut penyerbu. Perang sesama warga Desa Hutagurgur bermarga Pasaribu pun berkobar. Darah berceceran di lantai. Tombak dan parang para penyerang melukai kepala Lekana Pasaribu beserta dua orang kerabatnya, Jinus Pasaribu dan Edison Pasaribu. Parang penyerbu juga melukai istri Jinus, Tionni boru Pangaribuan. Lengan kiri wanita itu nyaris putus kena parang, dan dada kirinya koyak kena tombak. Lebih tragis lagi nasib seorang pelayat, Samuel Pasaribu, 70 tahun. Begitu ia keluar rumah, penyerang langsung menyeretnya dan membantainya hingga tewas. Pihak tuan rumah memberikan pula perlawanan setimpal. Salah seorang penyerang, Forman Pasaribu, 35 tahun, terjerambab kena hantaman benda keras. Forman akhirnya meninggal dalam perjalanan ke puskesmas. Kedua kelompok yang berperang itu sebenarnya berasal dari satu keturunan dan hidup rukun. Semula, pada 1972, mereka sepakat menetapkan Ompu Saundur Pasaribu sebagai nenek moyangnya, karena beliaulah yang dianggap membuka desa itu dengan menanam bambu. Sebab itu, di kuburan Ompu Saundur, penduduk membangun tugu peringatan. "Bagi orang Batak, yang pertama menanam bambu di suatu tempat dianggap pemilik desa," cerita Jinus Pasaribu. Tapi kesepakatan itu cuma berumur setahun. Setelah itu, Hombang Pasaribu, 55 tahun, dan pengikutnya tak lagi mengakui Ompu Saundur sebagai nenek moyang. Sebagai gantinya, mereka tunjuk anak Ompu Saundur, Ompu Panaji. Sebaliknya, kelompok Lekana menolak pergantian itu. Sejak itu, kendati tak terjadi bentrok fisik, kedua kelompok ini tak akur dalam permusyawaratan adat. "Kalau kami mengadakan pesta adat, mereka tak kami undang. Begitu pula sebaliknya," ujar Jinus. Namun, kelompok Hombang Pasaribu, karena anggotanya lebih banyak, beberapa kali memancing kekeruhan. Hampir dua tahun lalu, pesta adat Marindahan Raja kelompok Lekana pcrnah pula dikacaukan lawannya. Ketika para pelayat lagi menikmati santapan dalam upacara penguburan Martin Napitupulu, kelompok Hombang datang dan menjungkirbalikkan piring-piring berisi makanan. Tahun lalu peristiwa serupa terjadi lagi pada upacara kematian Gogat Sianipar. Karena merasa kecil, kelompok Lekana mengalah dan menyerahkan tugas sebagai pelaksana upacara adat kepada kelompok Hombang. Begitu pula dalam kasus kematian istri Lekana sendiri. Pihak Hombang kembali menuntut bahwa mereka yang berhak mengadakan upacara. Kali ini pihak Lekana tak ingin surut. Akibatnya, pekelahian pun pecah. Dan korban pun berjatuhan. Sampai pekan lalu, Polres Tapanuli Utara menahan tujuh terdakwa dari kelompok Hombang dan dua orang dari kelompok Lekana. Sementara itu, Desa Hutagurgur kini menjadi lengang, seperti desa mati. Siang-malam pintu dan jendela penduduk tertutup. "Sesama penduduk kini saling mencurigai," kata sumber di Kecamatan Habinsaran. W.Y. dan Irwan E. Siregar (Biro Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus