Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah hampir sebulan pro dan kontra seputar Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan Reproduksi terus bergaung. Berbagai kalangan, dari pemimpin organisasi keagamaan sampai pemimpin lembaga negara, terus mempersoalkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 itu.
Pemicunya tak lain pasal-pasal dalam aturan yang mulai berlaku sejak 21 Juli lalu itu yang memberi celah terjadinya praktek pengguguran kandungan alias aborsi. Maklum, hukum positif kita selama ini menyatakan aborsi merupakan suatu kejahatan.
Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi juga sudah menegaskan bahwa aborsi masih dilarang di Indonesia. Peraturan pemerintah terbaru, kata dia, hanya memberi pengecualian untuk kasus kedaruratan medis dan korban pemerkosaan. Semangat peraturan itu, menurut dia, untuk melindungi kesehatan reproduksi, yang merupakan hak dasar perempuan. "Itu bagian dari hak asasi manusia," ujar Nafsiah, Selasa pekan lalu.
Toh, penjelasan Bu Menteri itu tetap saja tak segera meredakan pro dan kontra. Kalangan yang pro terhadap peraturan itu percaya pada perlunya kebebasan memilih bagi seorang ibu, termasuk atas nasib janin di rahimnya. Kelompok pro-choice ini diwakili Kementerian Kesehatan dan sejumlah aktivis perempuan.
Sebaliknya, pihak yang kontra menegaskan bahwa kehidupan manusia harus dihargai, bahkan sejak manusia itu masih berupa janin. Berdiri pada barisan pro-life ini, antara lain, Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan Gereja Indonesia, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
Selama berpuluh-puluh tahun, hukum positif di Indonesia melarang praktek aborsi. Kitab Hukum Undang-Undang Pidana-warisan pemerintah kolonial Belanda yang kini sudah berumur sekitar 100 tahun-menggolongkan aborsi sebagai kejahatan menghilangkan nyawa. Dalam KUHP, larangan aborsi menyebar dalam Pasal 229, 346, 347, 348, 349, dan 535. Ancaman hukumannya terhitung berat, yakni dari 4 tahun hingga 15 tahun penjara.
Celah untuk melakukan aborsi sedikit muncul pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pasal 15 undang-undang itu mengatakan, dalam keadaan darurat, untuk menyelamatkan jiwa ibu atau janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu. Namun undang-undang ini tidak menjelaskan bagaimana "keadaan darurat" dan apa yang dimaksud "tindakan medis tertentu".
Pasal itu membingungkan karena memuat frasa untuk menyelamatkan "janin yang dikandungnya". Padahal aborsi justru dilakukan untuk menggugurkan janin. Lebih jauh lagi, penjelasan atas pasal 15 menyatakan tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apa pun dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan.
Ketidakjelasan itulah yang mendorong beberapa kelompok yang peduli hak reproduksi perempuan meminta Dewan Perwakilan Rakyat merevisi Undang-Undang Kesehatan tersebut. Yang paling getol mendesak DPR merevisi, antara lain, para aktivis yang tergabung dalam Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP).
Yayasan meminta Dewan memperjelas aturan perlindungan kesehatan reproduksi, termasuk bagi perempuan yang menjadi korban pemerkosaan. Menurut Ketua YKP Zumrotin K. Susilo, setelah korban pemerkosaan mengalami trauma, beban psikologis mereka makin bertambah ketika mengandung anak yang tidak dikehendaki. "Kami khawatir akan nasib anak yang kelahirannya tak diinginkan," ucap Zumrotin.
Ketika membahas rancangan undang-undang itu di Komisi Kesehatan DPR, para aktivis YKP tak lupa memaparkan tingginya angka kematian ibu (AKI) melahirkan di Indonesia. Pada 2008, "nilai" AKI Indonesia mencapai 228 per 100 ribu kelahiran. Ini 37 kali lebih tinggi dari AKI di Singapura dan 5 kali lebih tinggi dari Malaysia.
Zumrotin dan kawan-kawan percaya tingginya angka kematian ibu melahirkan sebagian besar disumbang oleh praktek aborsi yang dilakukan secara ilegal. Yayasan juga mengutip data Survei Demografi Kesehatan Indonesia yang dilakukan Badan Pusat Statistik pada 2004. Survei itu memperkirakan angka aborsi di Tanah Air berjumlah 2-2,6 juta setiap tahun.
Yayasan Kesehatan Perempuan juga pernah menggelar survei di sembilan kota, yakni Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Bali, Medan, Batam, dan Ujungpandang. Menurut survei, 87 persen kasus aborsi dilakukan pasangan suami-istri yang tak menginginkan bayinya.
Dalam mengawal isu kesehatan reproduksi di DPR, Zumrotin bercerita, mereka terbantu oleh kesaksian dan kajian dari beragam pihak. Salah satunya kesaksian seorang dosen asal Yogyakarta yang pernah mendampingi seorang mahasiswanya. Alkisah, mahasiswa itu berpacaran dengan seorang polisi sampai melakukan hubungan seksual di luar nikah. Ketika mahasiswa itu hamil, si polisi meminta janinnya digugurkan. Ketika si mahasiswa tetap menuntut tanggung jawab, polisi itu malah melaporkan pacarnya tersebut dengan tuduhan melakukan pembunuhan.
Setelah mendengar beragam pemaparan itu, Dewan akhirnya mengesahkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Undang-undang ini memuat klausul bahwa larangan aborsi bisa dikecualikan dalam kasus darurat medis dan kasus pemerkosaan. Undang-undang ini juga menyebutkan peraturan pelaksanaan harus terbit satu tahun setelah undang-undang itu disahkan.
Setelah satu tahun Undang-Undang Kesehatan berlaku, peraturan pemerintah itu tak kunjung terbit. Aktivis YKP pun mulai mendesak pemerintah. Pada 2010, Yayasan mengusulkan draf peraturan pemerintah ke Kementerian Kesehatan. Saat itu Menteri Kesehatan adalah Endang Rahayu. "Pembahasan putus di tengah jalan karena Ibu Endang sakit," kata Zumrotin. Menteri Endang meninggal pada 2 Mei 2012.
Pembahasan dilanjutkan ketika Nafsiah Mboi ditunjuk Presiden menggantikan Endang. Namun pembahasan draf tersendat-sendat karena kementerian mengejar target menuntaskan aturan dan pelaksanaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. "Pembahasan baru intens kembali pada Januari 2014," ujar Zumrotin.
Pengkajian draf peraturan pemerintah itu dilakukan di bawah koordinasi Biro Hukum Kementerian Kesehatan. Untuk pengkajian ini, Biro Hukum juga mengundang kementerian lain, seperti Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Pendidikan, serta Kementerian Agama.
Menurut Zumrotin, peraturan pemerintah yang disahkan akhir Juli lalu itu merupakan hasil kompromi dari beragam pandangan. Misalnya aturan aborsi kasus pemerkosaan dengan jangka waktu maksimal 40 hari. Dalam diskusi awal, muncul usul rentang waktu aborsi yang diperbolehkan sekitar tiga bulan. Itu sesuai dengan pandangan dokter kandungan dalam memeriksa kecacatan medis janin. Namun draf terakhir mengakomodasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2005. Fatwa tersebut menyebutkan aborsi dengan alasan medis diperbolehkan sebelum janin berumur 40 hari, yakni kala janin diyakini mulai memiliki roh.
Kenyataannya, sejumlah pihak mengaku tak pernah diajak bicara dalam membahas soal ini. Ketua Biro Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) H.A. Nazar, misalnya, mengatakan pihaknya tak dilibatkan dalam penggodokan peraturan pemerintah itu.
Menurut Nazar, IDI pun menolak aborsi karena para dokter terikat sumpah dan kode etik kedokteran untuk menghargai kehidupan sejak proses pembuahan."Posisi kami bukan menentang peraturan pemerintah. Kami hanya berusaha menyampaikan nilai yang diusung dalam dunia kedokteran," ucap Nazar.
Dia menambahkan, kalau mau diizinkan, aborsi pada ibu hamil akibat pemerkosaan harus diatur dengan ketat. Misalnya harus ada keterangan dari penegak hukum yang menyatakan ada pemerkosaan. "Bukti tersebut harus sesuai dengan undang-undang," kata Nazar. Syarat lain, dokter yang menangani aborsi harus berkompeten sesuai dengan standar yang ditetapkan dunia kedokteran.
Ketua Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia Komisariat Mojokerto, M. Nuruddin Akbar, mengatakan praktek aborsi dengan alasan pemerkosaan memang rawan diselewengkan. Perempuan yang hamil di luar nikah bisa saja mengaku jadi korban pemerkosaan. Untuk menutupi aib, perempuan itu tinggal meminta surat keterangan dari kepolisian dengan cara menyuap. Berbekal surat keterangan itu, si perempuan bisa dengan mudah meminta aborsi dengan bantuan dokter atau tenaga ahli yang diberi wewenang.
Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda juga menyatakan pihaknya tak diajak membahas rancangan peraturan pemerintah itu. Menurut dia, KPAI memegang prinsip penghargaan atas hak hidup, termasuk hak janin yang ada dalam kandungan. "Sejak dalam kandungan, hak-hak anak tidak boleh dilanggar," ujar Erlinda. "Anak dari hasil perbuatan apa pun memiliki hak untuk hidup."
Menanggapi keberatan berbagai kalangan, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan pemerintah tak akan merevisi klausul aborsi karena pemerkosaan. Alasannya, korban pemerkosaan bisa menanggung beban psikologis dan material seumur hidup bila sampai mengandung dan melahirkan anaknya.
Toh, bukan berarti pemerintah mengabaikan suara para pemrotes itu. Menurut Nafsiah, Kementerian Kesehatan kini tengah menyiapkan tiga peraturan Menteri Kesehatan yang akan menjadi penjelas dan landasan operasional peraturan pemerintah itu. Yang akan diatur lebih lanjut antara lain pelatihan dokter yang melakukan aborsi dan standar fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi. "Sanksi bagi pihak yang melanggar peraturan aborsi pun akan kami siapkan," kata Nafsiah.
Yuliawati, Devy Ernis, Ishomuddin
Celah untuk Aborsi
UNDANG-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada dasarnya melarang praktek aborsi. Kini terbit Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi Seksual yang menegaskan bagaimana aborsi bisa dilaksanakan.
Pasal 31
1. Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis; atau
b. kehamilan akibat perkosaan.
2. Tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan pada usia kehamilan paling lama 40 (empat puluh) hari, dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
Pasal 32
1. Indikasi kedaruratan medis meliputi:
a. kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu;
b. kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita penyakit genetik berat atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.
2. Penanganan indikasi kedaruratan medis dilaksanakan sesuai dengan standar.
Pasal 34
1. Kehamilan akibat perkosaan merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Kehamilan akibat perkosaan dibuktikan dengan:
a. usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan
b. keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.
Pasal 35
1. Aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu, dan bertanggung jawab.
2. Praktek aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab meliputi:
a. dilakukan oleh dokter sesuai dengan standar;
b. dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh menteri;
c. atas permintaan atau persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan;
e. tidak diskriminatif; dan
f. tidak mengutamakan imbalan materi.
3. Dalam hal perempuan hamil tidak dapat memberikan persetujuan, persetujuan aborsi dapat diberikan oleh keluarga yang bersangkutan.
4. Dalam hal suami tidak dapat dihubungi, izin diberikan oleh keluarga yang bersangkutan.
Meningkat dan Meningkat
KARENA pelaku aborsi umumnya tak melapor, jumlah pasti kasus aborsi di Indonesia sulit didapatkan. Yang jelas, sejumlah penelitian memperkirakan angka aborsi yang terus meningkat.
1993
Penelitian oleh Hul, Sarwono, dan Widiyantoro memperkirakan angka aborsi dari 750 ribu sampai 1 juta per tahun.
2000
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis angka aborsi sebagai berikut:
2001
Studi yang dilakukan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia memperkirakan angka kejadian aborsi di Indonesia 2 juta per tahun.
2004
Survei Demografi Kesehatan Indonesia oleh Badan Pusat Statistik menyebutkan:
Kasus yang Terungkap
19 Desember 2012
Kepolisian Resor Bima menahan AA, mahasiswi Akademi Gizi Kementerian Kesehatan Mataram, Nusa Tenggara Barat. Karena menggugurkan kandungan, perempuan 20 tahun itu dijerat dengan Pasal 346 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pembunuhan terhadap janin.
4 Juli 2013
Polres Serang menangkap dokter pelaku aborsi, DR, di Desa Sawah Luhur, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Banten. Dokter itu melakukan aborsi ilegal di Klinik Mulya Medika dan menguburkan janinnya di Tempat Pemakaman Umum Pelawad, Ciruas, Serang.
19 September 2013
Polisi menangkap bidan TM, 50 tahun. Bidan yang memiliki klinik di Jalan Desa Cipadung, Kelurahan Cipadung, Kecamatan Cibiru, Kota Bandung, itu diduga melayani permintaan aborsi ilegal selama bertahun-tahun.
26 Desember 2013
Polisi menangkap dukun bayi M, 50 tahun, di rumahnya di Desa Sruni, Kecamatan Jenggawah, Kabupaten Jember. Polisi juga menangkap ibu yang menggugurkan bayi dan dua calo.
1 Mei 2014
Empat pemuda ditangkap polisi karena membantu proses aborsi seorang siswi sekolah menengah pertama di Kota Bengkulu. Siswi itu melakukan aborsi kandungannya yang berusia empat bulan.
Yuliawati, Driyan, PDAT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo