Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

<font face=arial size=1 color=brown><B>Rehabilitasi Korban Politik</B></font><BR />Rehabilitasi Sebelum Mati

Draf Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi segera ke Presiden. Keadilan tak bisa direkonsiliasi.

20 September 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMAUN Utomo mengaku lelah. Draf rekomendasi Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru yang ia susun tak kunjung membuahkan hasil.

”Sudah sembilan kali mengirim surat ke Presiden, tapi tiada hasil,” kata mantan Sekretaris Lembaga Sejarah Comite Central Partai Komunis Indonesia itu, bulan lalu. Belakangan, Semaun kian khawatir karena dia sudah sakit-sakitan. ”Kalau bisa, sebelum mati saya bisa mendapatkan rehabilitasi itu.”

Semaun dibuang sepuluh tahun ke Pulau Buru tanpa diadili. Rumahnya di Matraman, Jakarta Timur, dirampas. Anaknya bahkan tak bisa menjadi pegawai negeri. Kini, pada usianya yang sudah mencapai 87 tahun, ia masih berharap para pelaku pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu diadili. ”Salah-tidaknya seseorang harus dibuktikan di pengadilan,” katanya.

Draf Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi memang sudah melenggang dari kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. ”Sudah disampaikan ke Sekretariat Negara,” kata Kepala Humas dan Hubungan Luar Negeri Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Martua Batubara, Kamis pekan lalu.

Rancangan undang-undang itu diajukan setelah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, empat tahun silam. Pembatalan itu menjawab pengajuan uji materi oleh Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan yang menuntut pembatalan tiga poin yang ada di peraturan tersebut, yakni pasal 1 angka 9, pasal 27, dan pasal 44.

Pasal 1 angka 9 menyebut amnesti bagi pelaku pelanggaran hak asasi manusia. Pasal 27 menyatakan kompensasi dan rehabilitasi dapat diberikan bila permohonan amnesti dikabulkan. Pasal 44 menyebutkan peniadaan pengadilan dengan pengadilan hak asasi manusia ad hoc bila pelanggaran telah diungkapkan dan diselesaikan Komisi.

Setelah pembatalan itu, Mahkamah Konstitusi memberikan beberapa rekomendasi, pengajuan revisi atau pembuatan undang-undang baru, dan penyelesaian politik. Pemerintah pun membuat rancangan undang-undang baru. ”Seperti yang diinginkan teman-teman saat mengajukan uji materi,” kata Direktur Jenderal Perlindungan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Harkristuti Harkrisnowo.

Pasal mengenai amnesti dihilangkan. Juga soal pengaitan amnesti untuk pemberian kompensasi dan rehabilitasi. Demikian pula pasal tentang peniadaan pengadilan kalau masalahnya telah diselesaikan oleh Komisi. ”Tapi dalam RUU baru tidak disebut soal pengadilan, ” Harkristuti menegaskan.

Menurut dia, mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu bisa diselesaikan di pengadilan ad hoc atau Komisi. ”Yang kita bayangkan, kalau orang sudah berdamai, ya sudah,” katanya. ”Tapi, kalau ada pihak yang masih mau menuntut, kita tidak menutup kemungkinan.” Jumlah anggota Komisi pun tak lagi 21 orang, tapi hanya sembilan. ”Dan rekomendasi harus dilaksanakan paling lama tiga tahun dari saat keluarnya.”

Meski draf rancangan undang-undang sudah bergerak, perjuangan tetap dilakukan, yakni mendesak penyelesaian dengan mekanisme non-Komisi. ”Kan, salah satu rekomendasi Mahkamah Konstitusi adalah keputusan politik,” kata mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Usman Hamid.

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ifdhal Kasim berpendapat sama. Menurut dia, tanpa menunggu Komisi terbentuk, pemerintah bisa melakukan rekonsiliasi politik. ”Itu yang kami desak ke Presiden sekarang,” katanya. Tapi tuntutan proses pengadilan terhadap pelaku pelanggaran hak asasi manusia tetap dipertahankan. ”Keadilan tidak bisa direkonsiliasi tanpa memenuhi tuntutan keadilan korban,” kata Usman Hamid.

Purwani Diyah Prabandari, Rofiuddin (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus