Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Perintah kelihan, diturut atau tidak

I wayan sukun, 45, kelihan dinas banjar teguan di desa bongkasa (bali) dijatuhi hukuman penjara. dia memerintahkan warga banjaraya untuk merusak rumah wayan tegal & sena, gara gara tidak memilih golkar.(hk)

27 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BETULKAH menjadi rakyat kecil masih serba susah? "Mengikuti perintah begini salah, tidak ikut begitu juga salah." Begitu keluh warga Banjar Teguan di desa Bongkasa (Bali). Mereka, berjumlah 40 orang, beramai-ramai dihadapkan ke meja pengadilan. Mereka dituduh dan dituntut telah melakukan perampokan dan pengrusakan atas rumah warga sebanjar: Wayan Tegal dan Sena. Padahal perbuatan mereka itu seperti yang mereka akui di muka Hakim, hanya sekedar mengikuti perintah pemimpin banjar mereka: Kelihan Dinas Banjar Teguan yang bernama I Wayan Sukun (45). Akhirnya, awal bulan ini, Hakim Anak Agung Ayu Mirah SH memutuskan: Wayan Sukun sendiri, sang kelihan, dihukum 8 bulan penjara. Ia dinyatakan terbukti: telah memerintahkan warga banjarnya mtuk merusak dan merampok rumah Wayan Tegal dan Sena. Ia lepas dari tuntutan jaksa, yang meminta kepada hakim agar menghukumnya setahun penjara, untuk kejahatan melakukan tindakan kekerasan. Ia hanya terbukti untuk tuntutan yang kedua: mengerahkan orang lain untuk berbuat kekerasan -- dengan pengaruh kekuasaannya sebagai pemimpin banjar. Terdakwa lain, orang dekat kelihan yang ikut dalam pengerahan massa, dihukum 6 bulan penjara. Mereka itu: Ketut Jemet, Made Kadet dan Pan Runtung. Kecuali terdakwa Pan Untung, yang beruntung dibebaskan dari segala macam hukuman, terdakwa lainnya dihukum 3 bulan penjara dengan masa percobaan 6 bulan. Untuk menjelaskan arti hukuman dengan masa percobaan -- yang berarti mereka tak harus masuk bui jika tak berbuat jahat selama masa percobaan -hakim menggunakan bahasa daerah. Karena, begitu palu diketokkan, para terdakwa yang didampingi para isteri dan anak mereka semua menangis. Tapi, setelah hakim menjelaskan dengan bahasa Bali, semua hadirin langsung menerima keputusan hakim: "Setuju .... " teriak mereka gembira. Namun begitu, seusai sidang pengadilan, kini mereka terasa-mempunyai beban batin: Adakah mengikuti perintah pimpinan banjar - seperti kewajiban mentaati perintah kelihan seperti selama ini -- merupakan perbuatan yang dapat dihukum? Pertanyaan ini hanya milik orang Bali saja -- dan warga daerah lain yang masih polos. Ganti Rugi Warga Banjar Teguan, beberapa hari setelah pemilu, telah dikerahkan oleh Kelihan Wayan Sukun untuk merampok dan merusak rumah Wayan Tegal dan Sena. Peristiwa itu, pertengahan Mei lalu, merupakan hukuman banjar yang ditetapkan sendiri oleh sang kelihan. Karena, menurut Sukun, kedua warga banjar ini telah menyalahi kesepakatan: mereka dan keluarga tidak mencoblos tanda gambar Golkar dalam pemilu lalu. Padahal, menurut kelihan, semua warga banjar telah berikrar setia - malah dilakukan surpah setia di hadapan Bethari Durga yang bersemayam di Pura Dalem -- untuk memilih Golkar. Tapi, begitu kenyataannya, keluarga Tegal dan Sena (semuanya 6 suara) telah memberikan suaranya kepada partai PDI. Oleh rasa malu, kesal dan takut ditegur 'atasannya', Wayan Sukun lalu menghukum warga banjarnya dengan hukuman berat: rampok dan rusak. Warga banjar sendiri, kepada pengadilan, memang mengakui segala perbuatan mereka. Hakim tak sulit memperoleh pengakuan dari orang Bali. Kecuali Pan Untung, semua terdakwa mengacungkan jarinya ke atas, ketika hakim bertanya siapa-siapa saja yang terlibat peristiwa Bongkasa (TEMPO, 23 Juli). Wayan Sukun dan jaksa penuntutnya menerima keputusan hakim. Juga ke 38 warga banjar beramai-ramai menyetujui hukuman yang dijatuhkan. Tapi tibatiba korban peristiwa Bongkasa, Wayan Sena, mengangkat jari mohon perhatian ibu hakim. Ia meminta keadilan: bagaimana ganti rugi untuk rumahnya yang rusak? "Tanpa ganti rugi saya tak mungkin dapat memperbaiki rumah," kata Sena dengan bahasa daerah. Hakim agak terkejut. Lama ia memberikan penjelasan kepada Sena bahwa: tuntutan ganti ruginya harus diajukan dalam perkara perdata sendiri. Sebab tentu saja, perkara kriminil yang baru diputus oleh Mirah SH memang bukan alamat untuk minta ganti rugi segala. Hanya saja, jika Hakim Mirah -- di luar acara sidang dan tanpa menyalahi wewenangnya -- memberikan nasehat agar warga banjar bergotong royong membangun kembali rumah Tegal dan Sena, mungkin orang Bali akan menyetujui nasehatnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus