Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Perjalanan tiga jam, 8 september...

Kronologis saat-saat terakhir dice budimuljono sebelum ditemukan mati terbunuh. semua keterangan tentang siradjudin sebagai tersangka pembunuh, sebagian besar masih dari pihak kepolisian. (krim)

13 Desember 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMA, Dice Budiasih. Lahir, 2 Desember 1950, di Jakarta. Ayah, pegawai keuangan kota praja Jakarta, yang menikah dengan ibu Dice, janda dengan satu anak. Dice, anak kedua dari ayah, anak ketiga dari ibu. Suami, Budimuljono. Dari pernikahan 1970 itu Dice memperoleh dua anak. Alamat rumah, Jalan Guru Alip, Duren Tiga, Jakarta Selatan. Pekerjaan, pernah menjadi foto model, peragawati. Memiliki salon kecantikan Puri Citra Ayu di kompleks perumahan Kalibata Indah. Inilah perjalanan Dice di hari terakhirnya, 8 September, menurut jumlah sumber. Pagi hari Seperti biasa, setelah melayani suami, ia mengantarkan kedua anaknya ke sekolah. Kembali ke rumah, ia menjalankan tugas seorang ibu rumah tangga. Siang hari Diantar oleh sopirnya, Bang Rum, Dice menuju ke salonnya, Puri Citra Ayu di Kalibata Indah. Tak begitu jauh, cuma sekitar 2 km dari Jalan Guru Alip. Menurut sebuah sumber, di salon Dice berbicara dengan adiknya, yang memang bekerja di situ, tentang rencana penjualan salon. Salon yang makan biaya Rp 800 ribu per bulan dianggap memberatkan, karena langganan tak begitu banyak. Dari salon, dengan Bang Rum pula, Dice ke Tebet, rumah Ibu Fatma. Kepada ibu tersebut ia menyerahkan cek seharga Rp 675.000, cek keluaran Bank Bumi Daya cabang Kartika Chandra. Uang itu untuk membayar beberapa barang yang diambilnya dari Ibu Fatma, antara lain, sebuah tempat lilin kristal, vas kembang, dan asbak -- barang-barang itu sudah dibawanya beberapa sebelumnya. Memang ia membayar harga barang yang seluruhnya Rp 1,880 juta dengan cicilan beberapa kali. Tak ada kesan bahwa waktu itu Dice kesulitan uang. Dalam perjalanan pulang ia masih sempat mampir di sebuah salon di Jalan Semarang, Jakarta Pusat, untuk mencuci muka. Saat itulah, di salon milik temannya itu, berdering telepon untuk Dice. Ia menjawab, "Bapak 'kan tahu, saya sedang mencuci muka." Malam, pukul 19.00 Dari pukul inilah perjalanan misteri Dice dimulai. Sehabis makan malam, telepon berdering untuk Dice. Tak jelas dari siapa. (Siradjudin, tersangka itu, menurut sumber TEMPO, hari itu tak menelepon Dice). Hanya dengan gaun batik warna biru dengan dasar putih, bersandal hitam, ia keluar rumah dengan Honda Accord putih, B 1911 ZW. Kepada Budimuljono, ia bilang "mau ke salon". Kepada pembantunya, Dice mengatakan hendak menagih utang. Dalam buku harian, menurut sebuah sumber, memang ada catatan angka Rp 10 juta. Lalu ada perhitungan-perhitungan tak jelas, kemudian di bawah perhitungan tercantum angka 20 juta. Sebelum nama Siradjudin muncul sebagai tersangka, peranan Dice dari rumah tak jelas arahnya -- sampai ia ditemukan mati ditembak di Jalan Dupa sekitar pukul 22.00. Bila memang benar, ia pergi ke Pasar Rebo, Jakarta Timur, dan tiba di rumah Siradjudin sekitar pukul 20.00, memang masuk akal. Dari Duren III ke Pasar Rebo, pada pukul 19.00, biasanya jalan memang agak macet. Hingga jarak yang sekitar 10 km, tidak begitu aneh ditempuh dalam waktu sekitar satu jam. Bila kemudian mereka ke Toko Buku Gunung Agung (mau beli buku, kata Siradjudin), di dekat Pusat Perdagangan Senen, yang berjarak sekitar 18 km, kira-kira Honda Accord itu sampai toko buku pukul 20.30. Tentu saja, sudah tutup. Toko itu biasa tutup pada pukul 19.30. Dice mungkin memperhatikan jam buka dan tutup toko. Bila mereka terus menuju Masjid Istiqlal, itu tak jauh, sekitar 2 km ke barat sedikit, lalu berbelok ke kanan, ke utara. Taruhlah mereka berputar-putar sekitar 10 menit. Maka perjalanan ke Kalibata, lewat Salemba terus Jatinegara dan Jalan Dewi Sartika -- dengan jarak sekitar 12 km -- kira-kira Dice dan Siradjudin tiba di perempatan Jalan Raya Kalibata dan jalan menuju Jalan Dupa, pada pukul 21.10 (20.30 ditambah 10 menit, ditambah perjalanan sekitar setengah jam). Tampaknya, rute Honda Accord putih itu masuk akal. Apalagi bila Dice, yang pegang kemudi, agak melambatkan perjalanan, boleh jadi mereka masuk ke Jalan Dupa sekitar pukul 21.30. Pada jam-jam itulah 5 tembakan itu dilakukan pelaku. Pukul 22.00 di Jalan Dupa Muntako, koordinator PT Dupa, pabrik obat di Jalan Dupa itu, keluar dari pabrik selesai bertugas. Ia tak melihat mobil di Jalan Dupa sewaktu ia berjalan pulang lewat tersebut. Dengan demikian, Dice dan tersangka itu tentulah baru tiba setelah Muntako berbelok dari Jalan Dupa -- jalan yang cuma sepanjang kurang dari 500 meter. Jalan Dupa 22.05 Zaenal, karyawan pabrik sepatu Bata yang pulang lembur di mulut Jalan Dupa berpapasan dengan lelaki, yang katanya: berjaket hitam dan berbaju putih. Mungkinkah ini Siradjudin yang konon malam itu berkemeja lengan panjang dan berpeci? Mungkin Zaenal tak persis mengingat sosok orang itu? Yang jelas, di pinggir PT Dupa, sebuah mobil putih dilihat terparkir rapi menghadap ke arah dia datang, lampu sein kirinya berkedip-kedip. Mula-mula ia tak curiga, karena memang jalan sepi itu sering di manfaatkan mereka yang berpacaran. Tapi setelah tampaknya mobil kosong, dan setelah didekatinya memang benar kosong, ia mencari Muntako, yang rumahnya memang dekat-dekat di situ. Akhirnya, Muntako muncul, melihat korban terkulai dengan leher berdarah, polisi pun dikontak. Kemudian, Jakarta diramaikan berita kematian bekas peragawati itu. Soalnya, lalu tercium kemungkinan adanya kisah cinta di balik kematian Dice. Diketahui, korban punya hubungan intim dengan seorang bekas pejabat tinggi. Bahkan, dengan nama samaran Bapak dan Ibu Handoyo, mereka mengontrak rumah di Jalan Tumaritis, di bilangan Jakarta Selatan yang hanya sesekali mereka kunjungi di waktu siang. Kemudian, beberapa orang dicurigai, tapi sejauh itu tak ada yang ditahan, sampai terjadi kasus pembunuhan Nyonya Endang (lihat: Romo atau Pakde dan Tuduhan di Pundaknya), kemudian Siradjudin ditahan. Ada memang hal-hal yang belum sama sekali jelas. Umpamanya, siapa yang menelepon Dice di lepas magrib itu? Untuk membeli buku apa Dice dan Siradjudin ke Toko Buku Gunung Agung? Mengapa pula rencana ke salon di Kalibata Indah tiba-tiba dibatalkan padahal jarak tinggal sekitar 1 km? Mengapa pula di Jalan Dupa mereka berputar balik, padahal jalan lurus lebih dekat, dan sampainya ke Jalan Raya Kalibata juga. Dan bila memang hubungan Pakde dengan Dice (dan juga Nyonya Endang) begitu akrab, perlukah ia membunuh untuk sejumlah uang yang mungkin bisa dirundingkan? Siradjudin memang belum dihadapkan ke pengadilan, dan semua keterangan tentang dia sebagian besar masih dari pihak kepolisian. Yakni pengakuan yang diperoleh, kata Kapolda Metro Jaya, dari tersangka dengan pertanyaan yang cerdik, bukan dengan kekerasan -- hal yang pantas disyukuri. Dan, memang, itu semua belum final. Jalan pengadilan, tampaknya, masih cukup panjang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus