JAM tangan -- tetapi terbuat dari kayu. Replika? Terang bukan. Lihat, ukurannya sangat terlalu besar, hingga layaknya dibelitkan di pinggang bukan di pergelangan tangan. Barangkali sebuah gurau tentang jam tangan, sebuah citra karikatural, sebuah patung yang lucu. Tetapi jam ini memang senyata-nyatanya jam, bahkan punya jarum yang bergerak menunjukkan waktu. Benda yang bermain dengan pengertian dan gagasan tentang barang ini, oleh Jurusan Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta (IKJ), digolongkan ke dalam karya "kria". Hardiman, pembuatnya, juga memajang mesin ketik, pesawat telepon, risluiting, dan tali sepatu -- semua dari kayu -- di antara karya mahasiswa lainnya dalam. Pameran Delapan Studio Seni Rupa IKJ, 3-8 Desember, di Ruang Pameran Utama Taman Ismail Marzuki. Kendati umurnya 16 tahun dan kampusnya dalam lingkungan TIM, lembaga pendidikan seni rupa itu baru kali ini memperagakan diri untuk khalayak TIM. Perkenalan yang tidak gegap gempita, memang, seperti kata ketuanya, mengantar katalog. Malah agak bisu. Tidak satu pun panel memberi keterangan tentang Jurusan Seni Rupa ini. Tidak satu pun foto memberi gambaran kesibukan di studionya. Tidak ada informasi terpajang tentang garis-garis besar haluan dan proses pendidikannya. Padahal, "Dengan pameran yang menyertakan panji suatu lembaga pendidikan," kata Penjabat Rektor IKJ, Wiyoso Yudoseputro, dalam sambutannya, "pertanggungjawaban seakan dilimpahkan kepada sejumlah perangkat dari lembaga itu," dan pameran "pada dasarnya bermakna evaluatif secara institusional." Keterangan yang menyertai barang-barang yang dipajang pun kurang dari yang lazim. Kadang kadang hanya berisi nama pembuatnya. Tetapi semua itu boleh jadi suatu cara untuk "menampilkan Jurusan Seni Rupa IKJ secara jujur" -- tujuan pameran yang dikemukakan oleh Hildawati, Ketua Jurusan, dalam Pengantar katalog. Tampaknya, lembaga pendidikan itu mengutamakan keterampilan praktis, keterampilan tangan. Pengetahuan teoretis, ketempilan verbal dan intelektual, mendapat porsi sedikit dalam pendidikan di lembaga itu. Di dalam studio, mahasiswa harus "kerja kasar", mengalami sendiri proses pembuatan suatu barang, menghayati bahan, alat, dan teknik. Di tengah ruangan pameran dipajang barang-barang kayu (dulang, mangkuk, baki, kotak, palu, lampu, kursi), barang-barang keramik. Di satu sudut, tekstil dan busana. Hampir memborong seluruh bagian kiri ruangan, bermacam rancangan komunikasi grafis (poster, logo, kemasan, sampul kaset), dan sebuah studi pengembangan kursi antik. Pekerjaan kria dan desain ini menguasai ruang pameran. Lukisan menyisi ke pinggir. Jika kita ingat akan utamanya seni lukis dan seni patung pada awal perjalanan lembaga pendidikan seni rupa di IKJ ini, dengan deretan ketuanya, pelukis Popo Iskandar, pelukis G. Sidharta (juga pematung), Srihadi, Wiyoso Yudoseputro (juga pematung), kita mencatat di sini pergeseran yang menarik. Dalam lembaga pendidikan seni rupa ini, titik berat telah bergeser dari seni rupa murni ke desain dan kria. Bersama pergeseran adalah kesenjangan. Misalnya kesenjangan antara lembaga pendidikan seni rupa dan kalangan seni rupa di luarnya. Di kalangan ini, "seni rupa" berarti seni lukis, seni patung, dan sebangsanya yang disebut "murni". Penggagasan, pemikiran, apresiasi dan penilaian, pameran, diskusi, sarasehan, penghargaan, dan sebagainya sesuai dengan kenyataan itu. Bahkan pada Pameran Delapan Studio Seni Rupa IKJ ini, masih dapat kita sidik bayang-bayang kebiasaan pameran seni lukis. Minimnya informasi verbal, misalnya, adalah kebiasaan pameran lukisan, patung, dan grafis murni. Juga, norma "jangan pegang" Bagaimana kita dapat "menikmati" sebuah palu tanpa merasakan di tangan: bobotnya dan kesesuaian antara gagang dan genggaman? Ajakan untuk mencoba kursi-kursi yang dipamerkan akan sangat simpatik seandainya ditulis lebih besar, lebih mudah terlihat dan terbaca, lebih "terus terang". Kesenjangan antara desain dan kria di satu pihak dan seni murni di lain pihak di dalam lembaga pendidikan sendiri perlu dicatat dan mulai diperhatikan. Pendidikan dalam studio-studio seni murni bisa semakin kecil dan lesu, sehingga perlu berjaga-jaga dan awal untuk penyemangatan kembali, untuk revitalisasi. Tentang patung-patungnya ada yang penting dicatat. Toni membuat "patung" yang terdiri dari layar, benda-benda trimatra bola, kubus, dan piramida, garis-garis di lantai, dan proyeksi warna dan bentuk-bentuk geometris -- semacam program slides selama satu jam. Penonton diajak memasuki dunia fantasi geometri yang aneh, seandainya ada penjaga pameran yang bisa menjalankannya. Lalu ada karya Erwin, yang bermain dengan barang kongkret dan citra, bahkan ilusi (sinar yang bergerak) dan khayal (deret bentuk yang mengecil). Jurusan Seni Rupa IKJ telah menentukan arahnya: jalur pendidikan profesi, nirgelar. Sayangnya, para mahasiswa yang lebih menyukai kerja kejuruan itu, bila mereka memerlukan pengakuan pemerintah, mereka digiring kepada ujian kesarjanaan, ujian gelar. Sedangkan orang sebentar-sebentar mengecam orang Indonesia sebagai lebih senang gelar daripada kerja untuk prestasi. Ironis jadinya. Lembaga pendidikan seni rupa itu tampaknya juga sedang memilih warnanya. Ia menawarkan konsep kria yang berbeda dari konsep yang dipegang oleh Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia di Yogyakarta. Di Yogya, "kriya" (ejaan Yogya) berurusan dengan "perabotan dan hiasan". Hasil-hasil kria IKJ tanpa hiasan: barang, dilihat secara padu. Berbeda juga, tentunya, dari konsep kita di Universitas Sebelas Maret, Solo. Di sana kria mencakup desain dan seni murni. Kerancuan ini adalah salah satu hasil penataan pendidikan tinggi seni rupa yang lalu. Ironi yang lain lagi. Sanento Yuliman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini