SEORANG tersangka telah ditahan. Sejumlah desas-desus barangkali, bisa dihentikan. Tiga bulan setelah peristiwa pembunuhan bekas peragawati Dice Budimuljono yang penuh teka-teki itu, tak kurang Kapolda Metro Jaya sendiri, Senin pekan ini, memberikan keterangan pers. Kasus yang semula dianggap pembunuhan biasa, tapi yang kemudian menarik banyak perhatian, karena dugaan-dugaan adanya latar belakang asmara di belakangnya. Apalagi, kemudian, ada nama bekas pejabat tinggi disebut-sebut pula. Akhirnya, kata pihak kepolisian, sebuah antiklimaks. "Saya berani mengambil kesimpulan dengan penuh keyakinan bahwa Siradjudin adalah pembunuh Dice, dengan latar belakang perdukunan," tutur Mayjen Pol Poedy Sjamsoedin, Kapolda itu, di Ruang PPKO, Polda Metro Jaya. Ia didampingi tim Kalibata, antara lain Letkol Pol Noegroho Djajoesman, Mayor Pol Adang Rismanto, Mayor Ronny Djokosuharso, dan Mayor Risman Hamid. Beberapa barang bukti disebutkan sebagai penguat keyakinannya, yakni senjata api kaliber 22, anak peluru, sidik jari pada mobil Honda Acord, pakaian, perhiasan, dan sepasang sandal milik korban. Sebuah konperensi yang ramai, terbuka, dan banyak pertanyaan. Bahkan para wartawan Ibu Kota diizinkan bertemu dan memotret tersangka, meski tak diperbolehkan mewawancarainya. Keterangan Kapolda Mayjen Poedy Sjamsoedin Kasus ini bisa terungkapkan karena tiga data awal: satu, Dice berangkat 8 September dengan tujuan "menagih utang" dua, buku harian di hari-hari terakhir penuh dengan hitungan pelipatgandaan uang dan tiga, sekitar awal Agustus, Dice meminjam uang yang diserahkan kepada seseorang. "Inilah yang dulu saya sebut titik terang." Dari data-data ini, polisi melacak jalannya uang itu. Pada 5 Desember, polisi mendapat informasi bahwa Siradjudin alias Pakde alias Romo diperiksa Polsek Pasar Rebo, Jakarta Timur, sehubungan dengan sebuah kasus pembunuhan. Ia bukan orang baru dalam kasus Dice. Dia termasuk yang pagi-pagi kita mintai keterangan. Waktu itu Pakde dipanggil ke kantor polisi dalam kategori dukun yang sering dihubungi Dice. Barangkali saja pada Pakde dukun ini, Dice berkeluh kesah macam-macam, ya, misalnya soal cinta. Tapi di Pasar Rebo tidak ada kasus. Ternyata, setelah kita selidiki, bukan di Pasar Rebo, melainkan di Cimanggis, Bogor. Sedang wanita bernama Endang mati terbunuh di Desa Harjamukti, Cimanggis, Bogor, pada 20 Oktober. Mulanya, yang diduga membunuh suaminya. Ternyata, banyak petunjuk yang membawa kemungkinan, Pakde pelaku kejahatan itu. Petunjuk itu adalah kapak, gesper, dan klise foto. Kapak dan gesper oleh beberapa saksi dikenali sebagai milik Pakde. Dan klise foto, setelah cetak, adalah gambar wajah Farid, anak kedua Pakde dari istri kedua Pakde. Di samping itu, beberapa hasil penyelidikan dari pihak Polres Bogor. Dari kasus Endang Cimanggis ini, polisi melihat adanya kesamaan dengan kasus pembunuhan Dice. Pertama, Endang ada persoalan uang Rp 5 juta. Dice menyebut-nyebut soal piutang Rp 10 juta. Kedua, Endang, dan Dice, sebelum kematiannya sama-sama orang kepepet: Endang mau menjual rumah, Dice mau menjual salon. Ketiga, kepergian Dice dan Endang sebelum dibunuh sama misteriusnya. Dua-duanya pergi secara diam-diam, tidak ada yang tahu tujuannya (Kapolda memperlihatkan slide analisa dua kasus ini). Keempat, keduanya ditemukan mati pada hari Senin malam Selasa. Jangan lupa kita bicara tentang seorang dukun yang biasanya percaya pada hari nahas dan hari baik. Kelima, baik Endang maupun Dice sama-sama menerima jimat dari Pakde, walaupun jenisnya beda. Keenam, kedua korban pernah menerima rencana pengembangan uang, sampai tanggal menagih uangnya kembali. Jadwal ini berupa ketikan, ketika dicocokkan huruf ketiknya sama. Terakhir, meskipun Pakde dekat dengan kedua korban, ia tak berani datang ke makam korban. Analisa ini yang meyakinkan kita bahwa paling tidak Pakde menyuruh orang atau malah dia sendiri yang membunuh dua wanita ini. Atas dasar ini, mulai Jumat malam, 5 Desember yang lalu, Pakde diinterogasi secara intensif. Malam itu, belum ada pengakuan. Ternyata, di malam Minggu, bedah juga. Artinya, yang bersangkutan mengaku. Pengakuan itu bukan karena kekerasan. Silakan lihat sendiri, muka pelaku tidak berubah sedikit pun. Semata-mata hanya keahlian teknik interogasi. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tidak langsung ke kasus Dice, melainkan dicecer ke pembunuhan Endang, baru dibelokkan ke Dice. Akhirnya, Pakde mengaku bahwa kematian dua wanita itu adalah perbuatannya. Pakde lalu mengaku bahwa ia meminjam uang Rp 10 juta dari Dice, dengan janji akan melipatgandakan uang itu dengan jampi-jampi. Dalam jadwal yang dibuat Pakde disebutkan, dua puluh lima hari setelah penyerahan uang itu, yakni pada 6 September, jumlahnya sudah akan mencapai ratusan juta. Maka, pada 8 September Dice datang ke rumah Pakde. Tujuannya, mengambil uang yang dijanjikan. Korban datang ke Kampung Susukan, Pasar Rebo, rumah Pakde, mengendarai mobilnya Honda Accord putih. Pakde lalu ikut Dice, dia duduk di sebelah Dice. Mobil menuju ke kawasan Senen, ke Toko Buku Gunung Agung. Ingat, Pakde, Dice mau membeli buku. Ah, ternyata toko tutup. Perjalanan diteruskan ke Masjid Istiqlal. Mobil berkali memutar di depan tempat ibadat itu. Dari situ menuju ke salon Dice di Kalibata. Rencananya korban dan tersangka akan berhenti di salon. Karena sudah larut malam, rencana batal. Mobil berputar dan sampai ke Jalan Dupa. Di jalan sepi itu tersangka berkata pada korban, "Kok, perasaan saya, ini mobil kempis ban kanannya." Dice lalu menghentikan mobilnya. Itu sebabnya mobil terparkir rapi. Persis ketika Dice menoleh ke luar, tersangka menembak bagian bawah telinga kanan, dan langsung korban terkulai ke kiri," katanya. Disusul tembakan beruntun di bahu, leher, ketiak, dan punggung. Pistol diambil dari belakang jok. Setelah menembak, tersangka keluar dengan enak saja, beringsut membuka pintu. Tersangka lalu naik bis kota PPD kembali ke rumah. Waktu itu, jam sudah menunjukkan pukul 23.30. Tentang senjata, setelah diselidiki, itu milik anggota satpam salah satu bank, yang juga sudah kita tangkap. Bisa dipinjam karena satpam itu murid Pakde. Menurut satpam bernama Abas itu, pistol dipinjamkannya, karena Pakde hendak menguji jimat besi kuning yang tahan peluru. Senjata dipinjam pada hari kematian Dice pukul 15.00 sampai tengah malam. Padahal, satpam itu sudah menunggu sejak pukul 21.00, sesuai dengan batas waktu yang dijanjikan. Imbalan untuk pistol ini Rp 150.000. Inilah ungkapan kasus Dice. Saya tahu, banyak yang kecewa karena perkaranya telanjur dianggap besar dan tinggi, ternyata kesimpulannya ini pembunuhan biasa, seperti yang diduga oleh Bapak Kapolri, dan saya duga dari awal. Tak ada orang lain lagi di belakang Pakde. Sebab, pertama, analisa kematian Endang dan Dice. Kedua, kasus itu motifnya uang Rp 10 juta yang sudah habis terpakai untuk membangun rumah Pakde. Ketiga, Pakde tidak ada kontak lain, kecuali dengan murid-muridnya. (Kapolda tak peduli dengan anggapan bahwa Pakde cuma sekadar kambing hitam. "Hari ini saya tidak mempersoalkan pendapat orang atas terungkapnya kasus ini. Saya hanya mengungkapkan fakta hasil penyelidikan Polisi dan jajarannya. Kesimpulan kita, ini. Titik.") Keterangan dari sumber TEMPO tentang tersangka Tersangka Siradjudin lahir di Sumenep, Madura 9 Februari 1927. Menamatkan HIS di kota kelahirannya pada 1939. Kemudian duduk di SMP di Probolinggo, Jawa Timur, yang dia tempuh dalam 5 tahun. Setahun kemudian, tepatnya pada 1945, ia masuk angkatan darat dan berdinas di Malang pada Depo Batalyon Divisi VII. Lalu pindah ke Surabaya, sampai berhenti dari dinas ketentaraan pada 1961. Tak lagi berseragam tentara, Siradjudin lalu berwiraswasta, jualbeli ban mobil bekas selama sebelas tahun. Bosan dengan bisnis roda kendaraan, Siradujudin membuka bengkel motor, masih di wilayah Jawa Timur, sembari beternak ayam bangkok, sebelum pindah ke Jakarta pada 1979. Di kota ini, riwayat pekerjaan beralih ke dunia gaib, penuh jimat dan doa. Pada Maret 1986 Dice datang padanya pertama kali, mengeluhkan penyakit suaminya. Dice diperkenalkan kepada Siradjudin oleh seorang rekan arisannya, Yayuk. Tapi yang diobati pertama-tama oleh Siradjudin bukan penyakit suami Dice, melainkan Dice sendiri. "Kenapa tidak salat?" tanya Siradjudin. Dari Siradjudin, Dice belajar salat lengkap. Usai pelajaran salat, Dice diberi "penjaga rumah" berupa sebilah keris pendek, katanya terbuat dari gading. Untuk itu Dice membayar Rp 100 ribu. Dice juga dibekali isim, yakni selembar kertas dibungkus sutera hijau untuk diikatkan di pinggang, "supaya selamat". Sembari mengobati Dice, sesekali Siradjudin, yang akhirnya dipanggil Pakde oleh Dice, membuat obat untuk Budimuljono. Cukup sederhana, Aqua dicampur doa-doa. Lama-kelamaan semakin banyak nasihat yang diminta oleh Dice. Misalnya bagaimana melariskan salon. Sampai akhirnya suatu kali, Agustus, Dice bertanya, "Pak, bagaimana usaha yang baik ? Jawab Siradjudin, "Saya bohongi dia. Saya bilang, serahkan uang Rp 10 juta, nanti saya jampi-jampi, uang akan berlipat ganda dalam jangka waktu 45 hari." Dan benar. Pada 1 Agustus, Dice menyerahkan uang sejumlah Rp 10 juta. Lalu, Pakde menyerahkan secarik kertas berhuruf ketikan, bunyinya: "25 X Rp 10 juta sama dengan Rp 250 juta." Lalu ada tulisan tangan Pakde di sebelahnya "datang tanggal 6 September". Lalu di bawahnya ada lagi angka Rp 300 juta. Pakde berpesan, 55% dari jumlah ini harus diserahkan kepada Pakde, untuk disumbangkan kepada fakir miskin. Hasilnya, jumlah yang dijanjikan Pakde dari uang Rp 10 juta setelah dilipatgandakan dan dipotong 55% itu, adalah lebih dari Rp 238 juta. Pesan Pakde lagi, uang harus langsung dibelikan logam mulia. Di kertas ini terjepit kertas lain, berisi coretan tulisan Dice, begini: "1. Setelah membeli barang..., apakah langsung bisa dijual kembali? 2. Apakah LM bisa dibawa pulang ke rumah? 3. Apakah boleh datang bersama sopir mengambilnya? 4. Apakah boleh dizakatkan bila diterima?" "Sebetulnya, saya sudah berniat membunuhnya ketika dia menyerahkan uang itu pada 13 Agustus," tutur Pakde. Maka, menurut Pakde, sebelum Dice datang untuk mengambil uang itu, "Saya sudah menyiapkan senjata yang diantarkan Abas pukul 17.00, dan saya selipkan di pinggang. Katanya, tiada jalan lain dia harus membunuh Dice, karena uangnya sudah terpakai sebagian, dan Pakde ingin menguasai sisanya juga. Dan Dice datang sesuai pesan di kertas pada 6 September, tapi dijawab Pakde, uang belum ada. Begitu pula pada 7 September. Baru pada 8 September, pukul 20.00 Pakde menerimanya. Kata Pakde, baju dia berdasar putih bermotif kembang. Sedangkan ia berpakaian celana abu-abu, kemeja hitam lengan panjang dan kopiah. Begitu datang, Dice menanyakan, "Mana uangnya, Pakde?" Dijawab, ada. Tapi Dice bilang, "Nanti saja, Pakde, saya mau membeli buku dulu." Pakde diminta mengantarkannya. Malam itu, rute perjalanan mereka seperti yang telah diuraikan Kapolda. Sampai di pertigaan arah Kalibata Indah dan Jalan Dupa, Dice membatalkan niatnya, dan bermaksud memutar mobil. Tapi kata Pakde, belok ke kiri saja. Mengapa? "Karena tempat itu gelap dan sepi. Tepat untuk melaksanakan niat saya," tutur Pakde. Dice mengiyakan, dan pergi ke tempat sepi itu. Lalu, memutar mobilnya untuk kembali. Persis di depan pabrik Dupa, lalu berhenti karena ban mobil yang dikendarai Dice terasa kempis. "Sewaktu kepala Dice menengok ban, saya mencabut senjata dari pinggang dan langsung saya tembak lima kali berturut-turut," katanya. (Sementara menurut Kapolda, seperti telah disebutkan, Siradjudin mengambil pistolnya dari belakang jok). Setelah ia yakin Dice sudah tidak bernyawa, ia keluar dari mobil dan menuju Jalan Raya Kalibata, sebelum naik angkutan kota Kopaja sampai Cililitan, disambung bis kota PPD sampai rumah. Keterangan sebuah sumber tentang uang Rp 10 juta Seorang bekas pejabat tinggi, yang sejak awal kasus Dice pun dimintai keterangan, akhir-akhir ini baru mengakui bahwa ia : memang meminjamkan Rp 10 juta kepada Dice. Persisnya, pinjaman itu ia berikan sebelum 6 Agustus, berupa cek yang dicairkan sehari kemudian oleh Dice. "Dice minta dipinjami uang dengan agak mendesak karena, katanya, ada temannya yang perlu sekali uang Rp 10 juta." Tanggapan Budimuljono dan Mira (suami dan anak Dice) Pihak keluarga tidak menduga bahwa tersangka pembunuh Dice adalah Pakde. "Orangnya baik, rajin salat dan sering menasihati kami," tutur Mira. Setahu anak sulung Dice itu, ibunya baru mengenal Pakde bulan Juni. Anak-anak Dice pernah juga mampir ke rumah Pakde. "Kami masuk ke rumah yang sederhana. Di dalamnya ada sebuah kamar berukuran kecil yang dihiasi kaligrafi huruf Arab, seperti di masjid," kata Mira. Sebaliknya, Pakde juga sudah pernah makan siang di rumah keluarga Dice. Budimuljono tidak begitu memperhatikan hubungan antara istrinya dan Pakde. "Hanya kadang-kadang Dice membawa air putih dari Siradjudin. Ya, saya minum saja," tutur Budi. Keterangan satpam di Bapindo, tentang rekannya yang dituduh Abas, orang yang tidak sombong. "Kalau punya rokok, dia suka bagi-bagi." Jumlah satpam di bank 30, dibagi dalam regu, satu regu ada yang terdiri dari 8 orang. "Setiap satpam, dalam regu yang sedang bertugas, dilengkapi pistol kaliber 22." Kalau regu diaplus, pistol diserahkan kepada regu berikutnya. Sampai Selasa pagi, belum jelas benar nasib Abas. Kami masih mencarinya ke Polda, dan tempat-tempat lain (rekan-rekan Abas keberatan memberikan alamat --temannya tersebut).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini