MASJID dan lokalisasi WTS di Desa Blanakan, camatan Ciasem, Tuban, Jawa Barat, hanya dipisah oleh tempat pelelangan ikan. Yang terakhir ini kadang digunakan orang untuk arena dongbret (tarian erotis semacam tayuban di Jawa Tengah, atau gandrung di daerah Banyuwangi, Jawa Timur). Potret sebuah komunitas yang kontras, memang. Dan dalam masyarakat seperti itulah, 20 peneliti dari Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama menyatu dengan keluarga nelayan dan petani, selama 18 hari. Mereka ingin tahu kenyataan pendidikan agama di daerah dengan nilai-nilai yang kontras itu. Hasil penelitian, kemudian, selama tiga hari, dari Jumat pekan lalu hingga Senin pekan ini, diseminarkan di IAIN Syarief Hidayatullah, Jakarta. Hampir semua peneliti mencatat, keberadaan lokalisasi WTS dan pertunjukan dongbret (keduanya dianggap sebagai daya pemikat agar pelelangan ikan ramai dikunjungi orang luar) diterima sebagai satu realita. Itu, "Berkaitan dengan penghasilan desa," ujar Muslim Aboerrachman, salah seorang pembimbing penelitian. Maka, seorang pemuda Desa Blanakan dinilai baik oleh masyarakat, "Pemuda yang malam hari tak mendatangi tempat pelelangan". Di Blanakan, ajaran agama, agaknya, lebih merupakan kegiatan sosial daripada penghayatan oleh pribadi. Itu sebabnya, dampak sosial seremoni keagamaan lebih menonjol. Misalnya, "Seorang yang tak menyumbang atau tak datang pada perayaan Maulid justru lebih punya kemungkinan menanggung konskuensi sosial dibanding bila tak salat Jumat," ujar Muslim. Sebab itu, tak heran bila masjid hanya terisi sekitar seratus orang bila Jumat siang, tapi ribuan orang datang memenuhi perayaan kelahiran Nabi Muhammad. Dengan latar belakang keagamaan seperti itu, dan proses perubahan besar dalam segala yang sedang merambat diam-diam, menarik mengintip pendidikan agama bagi anak-anak dan remaja rumah-rumah tangga Desa Blanakan. Responden, selain dibagi dalam golongan besar -- petani dan nelayan -- masih dibagi menurut tingkat sosial-ekonominya: kaya, menengah, dan miskin. Ternyata, "Pendidikan sangat bergantung kepada keadaan sosial-ekonomi penduduk," ujar Parsudi, staf pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI, mengutip kesimpulan penelitian itu. Jenis profesi juga menentukan sikap terhadap pendidikan anak-anak. Seperti dikatakan Parsudi, nelayan merupakan pekerjaan yang tak menghasilkan pendapatan tetap, serta pekerjaan itu ditunjang seluruh keluarga. Sedang petani berpenghasilan lebih tetap dan lebih bisa direncanakan. Tetapi, secara akumulatif, penghasilan nelayan lebih besar daripada petani. Dan bila petani lebih pelit, kehidupan nelayan lebih diwarnai gaya konsumtif -- dalam ukuran Blanakan, tentu. Satu perbedaan lagi, para petani lebih banyak punya waktu luang, sementara nelayan lebih sedikit. Dari keadaan seperti itu, ternyata, keluarga nelayan lebih mencerminkan sebuah keluarga dengan anak-anak yang lebih cepat ingin berdiri sendiri. Suami-istri Sukardi, keluarga nelayan yang boleh dibilang kecukupan, dengan tiga anaknya adalah sebuah contoh. Syamsuddin, 14, anak pertama mereka tamat SD, disuruh bapak itu meneruskan ke SMTP. Tapi Syamsuddin lebih memilih hal yang, katakanlah, praktis. Ia lebih suka memilih belajar menjahit dengan perhitungan tak perlu lagi membebani orangtua. Sebaliknya, ia malah bisa membantu perekonomian keluarga. Untuk ini, Sukardi dengan lega mengongkosi kursus menjahit anaknya hampir Rp 200.000 termasuk untuk membeli mesin jahit. Di luar pengetahuan Sukardi, Darno Irianto, 12, anak kedua, mendaftarkan diri di madrasah tsanawiyah, sekolah agama setingkat SMP. Anak ini berusaha sendiri, baru mengatakan kepada orangtuanya setelah diterima. Entah karena itu, dalam hal pendidikan agama pun ada kebebasan. Meski Sukardi dan Istri selalu meminta anak-anaknya sembahyang, ketiga anaknya baru melakukan salat bila ingat. Padahal, anak-anak itu ikut pula pengajian hampir tiap malam. Tapi mungkin karena mereka melihat kedua orangtuanya juga "seenak"-nya dalam beragama, mereka ikut-ikutan. Lagi, sebuah kasus adalah dalam keluarga Ucim, petani dengan tiga anak. Istri Ucim Kasturi, datang dari keluarga santri, karena itu salat. Ucim, abangan, hanya sesekali melakukan salat. Tapi sebagai bendahara masjid, ia selalu salat Jumat. Dan di rumah, kepada dua anaknya (satu sudah menikah) selalu dianjurkan melakukan sembahyang. Bahkan salah satu ruang rumahnya dijadikannya musala. Dan untuk sumbangan masjid, Ucim tergolong sangat dermawan. Dalam keluarga petani ini pendidikan agama, dalam arti menjalankan syariat, berjalan dengan baik. Ada perhatian orangtua yang nyata, dan contoh dari ibu terutama. Dari 20 peneliti, Parsudi Suparlan, 48, doktor dengan disertasi tentang orang-orang Jawa di Suriname, menarik kesimpulan, "Pendidikan agama secara formal justru tak efektif." Pendidikan agama di sekolah, "operasionalnya sangat tergantung suasana dalam keluarga itu sendiri." Justru, katanya, penelitian Blanakan ini membuktikan betapa efektifnya pendidikan agama yang diberikan di rumah. Dan dengan pendidikan agama, dimaksud pula "orangtua memberikan contoh kepada anak-anaknya." Sejauh ini, belum diperoleh penjelasan adakah kesimpulan penelitian akan mendasari kebijaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah. Yang jelas, jerih payah para peneliti ini akan diserahkan kepada Menteri Agama, Munawir Sjadzali. A. Luqman & BB, Laporan Musthafa Helmy (Biro Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini