SEBUAH mobil penerangan berteriak keliling kampung. Rakyat
diajak berbondong-bondong menghadiri suatu acara yang akan
mempertunjuk kan: siapa yang bandel, enggan melunasi tunggakan
kredit bimas, akan diajukan ke pengadilan dan dihukum.
Dan pada hari yang ditentukan, terakhir 19 November lalu, sejak
pagi orang sudah berkumpul di Balai Kecamatan Citeureup di
Kabupaten Bogor (Jawa Barat). Acara yang disuguhkan memang
menarik. Persidangan di pelosok tak begitu jauh dari Jakarta
tersebut mendudukkan Enoch Taryadi, penduduk Desa Kadumangu,
sebagai terdakwa perkara. . . korupsi.
Dituduh melakukan tindak pidana berat seperti itu, yang diancam
hukuman seumur hidup atau 20 tahun penjara dan/atau denda Rp 20
juta, Enoch menghadap hakim tanpa didampingi pembela. Meski
akhirnya putusan Hakim Leo Hutagalung sangat jauh di bawah
ancaman yang selangit itu: Enoch, 28 tahun, cuma kena 6 bulan
penjarl-itu pun terhukum tak perlu masuk penjara bila selama
setahun ia tidak mengulangi kesalahannya.
Kabar tentang peradilan Enoch simpang-siur. Terkesan seolah-olah
"pengadilan hanya main-main" --menggertak para penunggak dan
beberapa orang yang dianggap mempermainkan kredit bimas.
Misalnya, dikatakan bahwa pengadilan membekukan perkara Enoch
bila orang itu melunasi tunggakannya dalam waktu sebulan.
Perlakuan yang sama juga diterima beberapa terdakwa terdahulu
yang diajukan ke pengadilan bulan sebelumnya (TEMP0, Desa, 5
Desember).
Ketua Pengadilan Negeri Bogor, Subijakto, geleng kepala.
Pengadilannya, katanya, tak memberlakukan "hukum baru" dalam
menggarap perkara-perkara tunggakan kredit bimas. Terhadap Enoch
atau enam terdakwa sebelumnya, menurut Subijakto, berlaku hukum
yang biasa: mereka dijatuhi hukuman penjara bersyarat atau
dengan masa percobaan. Hanya, lanjutnya, hakim memang ada
mengadakan "perjanjian istimewa". Yaitu, si terhukum diwajibkan
melunasi utangnya kepada BRI (bank pemerintah yang menyalurkan
kredit bimas), paling lama sebulan setelah vonis jatuh.
Keputusan tersebut, menurut Subijakto, "Sesuai dengan peraturan
yang ada (pasal 14c KUHP)". Menurut Hakim Leo Hutagalung, meski
Enoch melunasi utangnya sesuai dengan perjanjian istimewa, si
terhukum tersebut tak lepas begitu saja dari hukuman pokok--ia
harus menjalani hukumannya bila selama masa percobaan mengulangi
perbuatannya. Hal yang sama akan berlaku pula katanya bila dalam
tempo sebulan Enoch tak juga melunasi utangnya kepada BRI.
Enoch bingung. Ia tak punya duit, "rumah saya belum laku
dijual," kata Enoch kepada TEMPO . Kewajibannya kepada BRI --
hampir Rp 2,5 juta-berupa tunggakan kredit bimas dan bunga
selama 14 bulan. Bukan utangnya benar rupanya yang jadi
persoalan yang membawanya ke sidang pengadilan keliling di
Kecamatan Citeureup. Ia dituduh korupsi, memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu badan, dengan merugikan keuangan
negara.
Caranya, menurut tuduhan jaksa Enoch membubuhkan tandatangan
pada formulir pengajuan kredit bimas, seolah-olah ada 133
nasabah bimas yang mengajukan kredit ke BRI. Pinjaman yang
diperoleh ternyata digunakan untuk kepentingan Enoch pribadi.
Di pengadilan, terdesak tuduhan jaksa dan kesaksian para petani,
Enoch tak bisa berkutik. Ia mengaku melakukan topengan atau
tulis tonggong, yaitu mengatasnamakan para petani menerima
kredit bimas, terhadap petani dari Desa Kadumangu, Citaringgul
dan Babakan Medang. Ia pun tak menolak apa yang sudah diputuskan
hakim.
Namun, belakangan ia bercerita lain. Sebenarnya yang digarapnya
cuma. 43 petani. Ia tak berani membantah tuduhan jaksa, katanya,
"saya buta hukum-tak tahu apa-apa." Keadaannya, katanya pula,
sejak semula memang sudah terjepit.
Perkara Enoch muncul, begitu cerita Enoch sendiri, ketika Tim
Gertak (Gerakan Serentak Inpres 10/1981 yang berusaha menarik
tunggakan kredit bimas) menggertak para petani yang dianggap
seret mengembalikan kredit. Para petani, yang merasa tak pernah
menerima sepeser pun dari BRI, menunjuk Enoch yang sebenarnya
mengambil kredit dengan mengatasnamakan petani.
Enoch diperiksa--sempat pula ditahan dua hari dua malam. Ia tak
membantah: Ia memang bukan petani dan sengaja menyuruh para
petani meneken surat permohonan kredit. Bukan apa-apa, katanya,
puluhan petani telah banyak berutang padanya. Sedangkan sebagai
pedagang, lanjutnya, ia butuh modal. Maka ia melakukan topengan
dengan menekan dan memberi imbalan agar para petani menuruti
kehendaknya.
Semula Enoch ditawari jalan damai oleh tim: ia tak akan diadili
bila sanggup mengembalikan pinjamannya. Enoch sudah berusaha. Ia
menjual mobil dan sebagian uangnya disetorkan ke BRI. Tapi,
begitu ceritanya, ternyata uang yang diserahkan melalui tangan
oknum pegawai BRI tak dibukukan. Betapa pun Enoch mencoba
meyakinkan Tim Gertak bahwa ia sudah mengangsur tunggakannya,
tak ada hasilnya, karena Enoch tak dapat menunjukkan sesuatu
sebagai bukti tertulis angsurannya.
Pengadilanlah kemudian yang memutuskan perkaranya. Hanya saja,
ketika itu ia tak sempat bercerita bahwa ia dapat menarik kredit
bimas atas nama para petani, berkat kerjasamanya dengan pejabat
dan pegawai BRI. Ia, katanya, hanya menerima sebagian saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini