SANG Inspektur Jenderal batal meninjau daerah. Kepolisian
Yogyakarta melarangnya. Maka, 2 Desember malam yang lalu,
sejumlah orang Yogya cuma melongo melihat pintu Gedung Purna
Budaya Bulaksumur tetap terkunci. Di dalam gelap.
Kira-kira satu setengah bulan yang lalu, grup Teater Gajah Mada
Yogya merencanakan mementaskan drama Sang Inspektur Jenderal
(SIJ). Mereka mulai berlatih sebulan yang lalu. Surat izin
dibuat dua minggu sebelum pementasan. Tapi tiba-tiba surat
larangan berpentas turun--seperti sering terjadi: sehari sebelum
pementasan. Alasan pelarangan tak jelas. Pihak kepolisian yang
dihubungi TEMPO tak bersedia bicara.
Hanya dari satu sumber diperoleh keterangan, konon para pejabat
di Yogya yang sempat mengintip latihan grup tersebut was-was.
Katanya, drama ini "penuh sindiran kepada pejabat". Pihak
Laksusda awa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta pun
menilainya bisa "mengganggu stabilitas yang sudah mantap di
Yogyakarta".
Fred Wibowo, Wakil Ketua Dewan Kesenian Yogyakarta, juga heran
atas pelarangan itu. "Pementasan ini sebetulnya justru berpihak
pada pemerintah, membantu Opstib memberantas korupsi," katanya.
Juga Azwar A.N., pimpinan Teater Alam.
SIJ, yang hendak dibawakan, adalah karya pengarang Rusia Nikolai
Gogol ( 1809-1852) -- diterjemahkan Asrul ani sekitar 3 tahun
lalu. Ini sebuah komedi. Menceritakan seorang inspektur jenderal
yang berminat meninjau daerah. Maka para pejabat di daerah pun
sibuk -- khawatir borok mereka diketahui. Disiapkanlah kemudian
suap bagi Sang Irjen: uang, barang, sampai perempuan. Akhirnya
diketahui: pejabat dari Pusat itu palsu. Yang asli baru muncul
kemudian. Selesai.
Tentu saja pelarangan di Yogya itu agak tak masuk akal. Kecuali
kalau diingat bahwa Yogya memang relatif gampang melarang.
Terhadap pementasan Azwar A.N. beberapa tahun lalu, atas naskah
pengarang Spanyol Pirandello (yang oleh sementara pejabat dikira
pengarang Indonesia bernama Pirandiko), misalnya. Juga pameran
senirupa di Seni Sono.
Di luar Yogya, pementasan SIJ lancar saja. Sebelum ada
terjemahan Asrul, di tahun 50-an naskah ini pernah dimainkan
sekelompok orang Belanda di Gedung Kesenian, Pasar Baru,
Jakarta, dalam bahasa Belanda. Awal 1970 Teater Populer
mementaskan pula selama empat hari di Taman Ismail Marzuki.
Sukses, penonton selalu penuh. Yang dipakai adalah terjemahan
Walter Situmeang. Pementasan ini diulang sebulan berikutnya di
Hotel Indonesia, dengan pemegang peran Irjen Slamet Rahardjo.
Salah satu grup remaja di Jakarta pernah pula memanggungkan
terjemahan Asrul 1-2 tahun lalu. Bahkan sebuah film berjudul
Tamu Agung (1955), karya Usmar Ismail almarhum, merupakan
adaptasi SIJ. Dan film ini tidak dilarang.
Tapi memang bisa dipaham bila naskah ini bisa bikin marah orang.
Di Rusia sendiri, tahun 1840-an, di daerah Rostovon-Don, pernah
terjadi insiden. Seorang inspektur jenderal betulan, yang
menonton pementasan SIJ, rupanya panas telinganya. Di akhir
pertunjukan ia meloncat ke panggung. Berteriak: "Akan kukirim
kalian semua ke Siberia!" Juga gubernur kawasan itu--yang juga
nonton. Dialah yang memerintahkan menindak grup teater yang
main.
Nikolai Gogol sendiri, yang juga pengarang raras Bulba, tak
pernah mem-publikasikan naskahnya yang sebuah ini. Soalnya: ia
merasa pasti karyanya tak akan lolos sensur. api, ajaib:
temannya, seorang penulis drama pula, Vassili Zhukovski,
menemukan naskah tersebut dan membawanya ke hadapan Tsar. Nah:
Tsar ternyata berlapang dada. Ia begitu tertarik, lantas
memerintahkan dipentaskan. Pementasan pertama itu berlangsung di
Moskow, 1836.
Tsar mungkin senang, karena naskah ini hakikatnya mengritik
pejabat yang korup. Dan 'ABS'.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini