Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Menjenguk swiss, sedikit

Sejarah perfilman swiss bermula dari london. perkembangannya agak lamban, karena masyarakat di swiss lebih suka film amerika. produksi film rupanya masih tergantung subsidi pemerintah.

12 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ROMEO dan Juliet berganti nama Sali dan Vreneli. Mereka hidup di Swiss dan berpacaran di ladang. Lantas bermalam pertama di sebuah perahu yang penuh jerami, yang mereka lepaskan dari tambatan. Mereka mengucapkan selamat tinggal kepada dunia, karena kedua pihak orang tua mereka tak akur. Itulah film pertama yang diputar dalam Pekan Film Swiss, diselenggarakan oleh Kine Klub Dewan Kesenian Jakarta 30 November sampai 6 Desember. Acara ini merupakan perkenalan pertama kita dengan film dari negeri jam dan arloji. Kapan sejarah perfilman negeri ini dimulai, persisnya tak jelas. Yang pasti perfilman Swiss modern merupakan usaha yang belum lama--sebagaimana dikatakan Dubes Swiss untuk Indonesia, J. Bourgeois, dalam kata pengantar katalogus acara. Jaminan aman dan makmurnya masyarakat Swiss tak menjamin perfilmannya berkembang baik. Mudahnya film impor masuk justru membentuk selera publik Swiss cenderung pada film luar negeri, terutama Amerika Serikat. Dan ternyata, membelokkan minat umum terhadap film sendiri tak gampang. Suatu masalah yang juga dihadapi di Indonesia. Sejarah mutakhir perfilman Swiss tak dimulai dari negeri sendiri, tapi dari London. Dua orang sutradara muda, Tanner dan Claude Goretta, pergi ke sana ketika dunia perfilman negerinya di pertengahan 1950-an benar-benar hampa. Di London mereka bekerja di sebuah usahaan film. Tahun 1961 Tanner k ali ke Swiss, dan "mulai berjuang". Maka pada 1969 lahirlah Cbarles Mort Ou Vif, karya Tanner yang dianggap mengembalikan kepercayaan orang Swiss terhadap film sendiri. Dibanding Romeo dan Juliet yang dibuat 1941 itu, Charles dari segi sinematografi memang jauh lebih unggul. Tapi agaknya masyarakat Swiss memuji film itu terutama karena temanya. Film Tanner benar-benar menyuguhkan persoalan yang ada dalam masyarakat sendiri, begitu kata para pengamat di sana. Charles, seorang usahawan yang sukses, ternyata merasa hampa hidupnya. Ia kemudian menghilang diam-diam, hidup dengan seorang pelukis poster yang dikenalnya di sebuah warung. Di desa yang sunyi, rumah si pelukis, terpaksa memasak sendiri, bahkan harus pula membantu pelukis itu bekerja. Tapi justru di situ ia bisa tertawa lepas, wajahnya cerah, dan hidup menjadi berarti. Hmm. Undangan kepada kebebasan. Tanner dan Goretta memang dianggap sebagai pembuka zaman baru. Meski kesuksesan film Charles agaknya berkat turun tangannya pemerintah Swiss pula. 1963 turun undang-undang perfilman -- dan subsidi. Tapi baru 1969 bantuan itu dirasakan benar-benar mendorong--setelah persyaratan dilonggarkan. Menyusul sukses Tanner adalah L'Invitation karya Goretta, 1972. Iilm ini mendapat penghargaan pada festival film internasional di Cannes, 1973. Diputar di Teater Tertutup TIM di malam kelima, ia memotret watak manusia dengan cermat. Goretta dengan bagus menggambarkan: bagaimana bila sejumlah pegawai sebuah kantor berkumpul bersama dengan direktur mereka dalam sebuah acara tak resmi. Maka formalitas run tanggal. Hal-hal yang selama ini disimpan di hati saja, muncul. Si gadis yang rupanya menyimpan dendam terhadap wakil direktur dalam pesta itu tiba-tiba menelanjangi dirinya di depan beliau -- untuk menghinanya. Sedang sang direktur: diam-diam ternyata berminat terhadap salah seorang pegawainya--dan dapat sambutan. Pesta itu ditutup dengan insiden tuan rumah pingsan, terpukul jatuh ketika hendak melerai dua koleganya yang berkelahi. Dari suasana ria, kemudian panas, film ini menurun menjadi bernada rendah. Dan setelah semua tamu pulang, setelah ada dialog tuan rumah dan jongosnya, dengan cepat Goretta menutup filmnya dengan adegan kesibukan rutin di kantor kembali. Suasana terbuka, masing-masing dengan keasliannya, lewat. Kemhali semua memakai topeng. Tapi tentu saja, kemudian, mencoba mencari ciri film Swiss memang agak susah--paling tidak dari enam film yang diputar ini. Masalah yang dikemukakan -- sekalipun dalam Charles maupun L'Invitation adalah universal. Bahasa dalam film pun kalau tak Prancis (yang banyak), ya Jerman. Martin Schaub, pongamat film itu, memang optimistis. "Kini film Swiss punya masa depan," tulisnya. Meski penulis buku tentang perkembangan film Swiss 1963-1974 ini masih sangsi apdkah film Swiss untuk selanjutnya bisa berkembang baik--bila misalnya subsidi ditiadakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus