Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Sebermula adalah meteor

Kaset-kaset kuliah agama karya nazwar syamsu (sumatera barat), tentang penafsiran qur'an pengupasan semua ajaran islam yang berhubungan dengan dunia gaib, di larang kejaksaan agung. (ag)

24 Maret 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NABI Adam itu terbuat dari meteor. Ia sendiri meteor. Diciptakan Allah di sebuah planet yang bernama Muntaha, lalu bersama istrinya dikirimkan ke bumi "dengan berkah yang menyelamatkannya dari friksi dengan molekul udara atau yang mengepung udara, untuk pernapasannya sewaktu melayang di angkasa luas. Pernyataan di atas itu dituliskan dalam buku Tauhid dan Logika karya Nawar Syamsu, yang juga bisa didengar lewat kaset yang diproduksikan oleh penerbit bukunya, Ghalia Indonesia, Jakarta. Dan kaset-kaset itulah yang belakangan ini dipersoalkan. Jaksa Agung, sehari setelah mengeluarkan pelarangan mengenai Children of God, menjatuhkan giliran pada kaset-kaset itu. Bernomor 059, persis setelah nomor pelarangan COG, keputusan Selasa pekan lalu itu melarang memperjualbelikan, mengedarkan, menyimpan, dan memiliki kaset-kaset yang berisi pembacaan oleh H. Lukmanulhakim, direktur Ghalia sendiri. Kaset-kaset itu dijual per paket, terdiri dari 20 buah, dengan harga Rp 30.000. Tidak dipajang untuk umum, tapi dibawa ke orang-orang tertentu yang diperkirakan berminat. "Cara penjualannya cukup memikat," kata Ny. Nurjannah Said, yang bersama Ny. Soedjono (kedua-duanya juru dakwah terkenal di Jakarta) mengadukan hal itu kepada Menteri Agama, waktu yang terakhir itu - sebagai ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia - memimpin sidang pleno pertama MUI dua pekan lalu. Protes pertama datang dari Majelis Ulama DKI Jakarta, kepada Menteri Agama. Dewan Pimpinan Harian MUI kemudian membahasnya, dengan mendengarkan dua kaset. Menteri Agama lalu minta kepada Jaksa Agung untuk menindak kaset-kaset itu. Sampai-sampai masalah itu terucapkan pula dalam pidato Menko Polkam pada Rakernas MUI itu. Siapa yang mendengarkan kaset-kaset ini, tak boleh tidak, memang akan menghadapi salah satu jenis pengupasan agama secara baru sama sekali. Nazwar Syamsu, orang Sumatera Barat yang pernah belajar ilmu falak alias astronomi itu (lihat: box), memang pertama kali berpijak pada (kegemaran akan) pengetahuan ruang angkasa, sebelum membahas Quran. Boleh dikatakan, semua ajaran Islam yang berhubungan dengan dunia gaib "diruangangkasakan". Dalam Isa di Venus (yang sudah dilarang Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara), misalnya, dituturkan bahwa Nabi Isa terbang ke planet itu setelah terjadinya apa yang dipercayai sebagai penyaliban, dan di Venus pula Isa beranak-pinak. Dalam kaset Ka'bah dan Magnet Bumi, dari buku Tauhid dan Logika, disinggung perubahan kutub di bumi akibat pergeseran planet-planet dalam tata surya kita, mengikuti pergeseran matahari, dan itu disebabkan oleh serangan komet ke tata surya. Bumi pun terpaksa "mengubah gerak rotasi dari sumbunya, hingga kutub-kutubnya berpindah tempat sejauh kurang lebih 68"." Nah kutub utara itu dulunya adalah Ka'bah, alias Mekah, sementara kutub selatannya Pulau Tua Moto (?) di Lautan Pasifik. Tapi yang langsung menyinggung pokok ajaran adalah pernyataan bahwa yang disebut neraka tak lain matahari. Sedangkan surga adalah semua planet yang mengelilinginya, yang bertingkat-tingkat (begitulah menurut Quran) sesuai dengan derajat tinggi dan rendahnya, alias jauh dan dekatnya dari matahari, menurut Nazwar. Untuk semua pendapat itu, alasan yang dibawa Nazwar memang berangkat dari Quran sndiri. Untuk bab Adam, misalnya, Nazwar mengmukakan banyak ayat. Tapi yang paling hampir hanyalah 51:33, 34. Di situ dituturkan kisah para malaikat yang mejadi tamu Ibrahim, yang menyatakan akan menghujani para kaum pendosa dengan "batu-batuan dari thin". Sambil diingat bahwa di ayat 72:9 dituturkan adanya para setan yang dihujani dengan meteor (persisnya: panah api) dari langit, memang agak layak juga mengartikan "batuan thin" para malaikat itu sebagai meteor. Hanya saja, kata asli untuk meteor dalam 72:9 itu justru bukan thin, tapi syihab. Mengenai Isa, Nazwar hanya berpegangan pada ayat 3:59, yang menyatakan permisalan Isa tak lain seperti permisalan Adam. Kalau Adam nenek moyang manusia bumi, maka Isa pun nenek moyang manusia bumi yang lain, yaitu Venus. Kalau Adam dilahirkan tanpa bapak, Isa pun begitu. Yaitu, menurut Nazwar, lewat proses parthenogenesis, pembiakan tanpa sperma, meski hal ini - sepanjang diketahui - hanya berlangsung di kalangan binatang dari spesies rendah. Andai pun itu bisa terjadi pada manusia, sebagai salah satu kuasa Tuhan, pada Isa memang tak menimbulkan masalah, alias tak mengubah kepercayaan. Tapi bagaimana pada Adam? Siapa ibunya, lalu? Ibunya, tak lain, adalah istrinya. Jadi, manusia pertama sebenarnya adalah istri Adam itu, yang namanya tak disebut dalam Quran. Dan dengan cara tertentu, Nazwar memakai ayat 4:1 untuk memperkuat pendapatnya. Bahwa Nazwar mengartikan neraka sebagai matahari juga termasuk unik. Ayat yang bisa dicocokkan dengan itu ternyata 77:32, 33. Di sini dilukiskan, neraka itu "melemparkan percikan bagai istana, seolah iring-iringan unta yang kuning." Dan yang cocok untuk mengeluarkan percikan sebesar itu, di antara segala planet, tentulah matahari. Buya H. Harun Al-Ma'ani, 78, yang pernah menjadi dosennya di Universitas Muhammadiyah, mengatakan kepada TEMPO "Nazwar mempelajari ilmunya dulu (baca berpendapat lebih dulu), baru mencari ayatnya." Katanya, di situlah awal kekeliruannya. Barangkali Nazwar hanya salah satu contoh - meski yang sangat menyolok - dari "demam" kosmologi, bila tdak "demam" ilmu kealaman seluruhnya, dalam memahami Kitab Quran. Dan orang sering mencurigai adanya semangat pembelaan agama, terhadap "serangan" ilmu, dalam upaya jenis itu - hal yang untuk Islam kadang-kadang dikatakan tak perlu, mengingat kontroversi antara ilmu dan agama di sini tak pernah berada benar-benar di pusat ajaran. Almarhum Prof. Hazairin, misalnya, berusaha membuktikan kebenaran Quran dengan sebuah risalah kecil yang memuat pikirannya tentang jagat raya. Dalam buku berjudul Ayyamul Quran, terbitan Tintamas, bekas guru besar Hukum Islam FH UI itu antara lain mengukur jarak antara bumi dan arasy,.yang disebutnya "pusat pentadbiran semesta" dan tempat Nabi bermikraj. Jarak itu, katanya, 1/50 dari jarak antara arasy dan pinggir terjauh semesta. Itu berdasarkan dua ayat, yang sebuah menyatakan jangka tempuh malaikat ke arasy yang seribu tahun (32:5), dan yang lain menyatakannya 50.000 tahun (70:4). Maka, yang pertama dipakainya untuk jarak bumi-arasy, sedang yang kedua untuk Bumi-pinggir semesta. Lalu, bila Quran mengatakan bahwa malaikat hakikatnya (terbuat dari) cahaya, hitungan tahun dalam kedua jangka tempuh itu bolehlah dipahami sebagai - setidak-tidaknya - tahun cahaya. Kemudian, silakan hitung sendiri. Bedanya, dengan Nazwar, Hazairin cermat, dan sama sekali tidak memutlakkan "penemuan"-nya sebagai kebenaran. Kalaupun orang tak bisa menerima, toh orang tak mungkin menyalahkan - berdasar dalil Quran sendiri - pemikiran yang "berdasar matematik dan mistik" itu, seperti diakuinya sendiri. Yang terasa lebih lemah dari Nazwar ada juga. Misalnya Zaenal Abidin, bekas santri Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, yang menyusun sebuah almanak dan sebuah tulisan - dengan argumen yang sulit, tetapi kabur - berjudul Tata Surya Menurut Sistem Ilahiyah. Di situ ia bukan saja menyalahkan berbagai kesimpulan para ahli tentang tata surya kita, tetapi juga menganggap bahwa jumlah hari seharusnya enam sesuai dengan jumlah planet kita, katanya dan bukan tujuh. Tuhan juga menciptakan alam, menurut Quran, dalam "enam hari" dan tak disebut hari ketujuh, bukan? Sabtu menurut dia, hanyalah pengaruh Yahudi. Sehingga, katanya, sudah berapa ribu kali kita kehilangan salat Jumat, karena kita menciptakan hari Sabtu? Bukunya itu, seperti dituturkannya kepada TEMPO, sudah dibawanya ke beberapa penerbit, tapi rupanya belum ada yang bersedia mencetaknya. Agaknya bukan karena takut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus