Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Inkar Sunnah Atau Apa

Nazwar Syamsu, ulama dari Sumatera Utara, dianggap mengingkari sunnah, tidak mengakui hadis sebagai sumber ajaran. kaset-kasetnya dilarang. profil naz war syamsu. (ag)

24 Maret 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PULUHAN atau ratusan hadis Nabi menuturkan adanya azab kubur. Tapi Nazwar Syamsu tak mengakuinya. Juga tak mengakui pertanyaan malaikat kepada (arwah) si mayat, begtu Jenazah dimasukkan ke liang. Nazwar, lewat kaset Hal Mati dan Siksa Kubur, meniadakan keyakinan tentang azab dan anugerah alam kubur itu berdasarkan ayat seperti 40:11, yang mengajarkan bahwa manusia dimatikan Tuhan dua kali yakni sebelum lahir dan sesudah hidup, dan dihidupkan dua kali, di dunia dan sesudah bangkit dari kubur. Kesimpulan: kalau ada azab dan nikmat kubur, jadinya hidup tiga kali, dong. Lebih lagi, ayat-ayat, seperti 46:35,10:45, 79:46,17:52 yang dinukilkannya, menyatakan bahwa, ketika orang-orang dibangkitkan dari kubur, mereka menganggap bahwa kehidupan dunia itu terasa "baru kemarin", atau bahkan hanya "sesaat siang". Karena itu, Nazwar mengatakan, begitu kita mati, hari kiamat akan terjadi "besok" Tapi bagaimana dengan sekian banyak hadis, yang mengabarkan Ihwal azab dan anugerah kubur? Jawabnya: Islam datang dengan "didahului ajaran hidup yang umumnya tidak berdasarkan wahyu Allah". Mereka yang masuk Islam, yang berasal dari agama-agama lain, masih mengingat ajaran lama. Dan ajaran-ajaran lama itulah yang kemudian sampai kepada kita dalam wujud hadis. Agak sembrono, memang. Faktor "ajaran lama" itu bukan tidak disadari para peneliti hadis, alias tidak bisa dikenakan secara umum. Sedangkan kesimpulan Nazwar itu bukan pula berdasarkan penelitian hadis sendiri. Sebab hadis-hadis itu begitu kuatnya. Setidak-tidaknya, Nabi sendiri diriwayatkan mengucapkan doa perlindungan dari azab kubur, dalam salatnya - dan itulah yang diwarisi banyak umat. Toh, bisa juga dianggap hadis-hadis tentang itu tidak mutlak. Tidak termasuk rukun iman, paling tidak. Dan bila suatu hadis memang diyakini bertentangan dengan ayat Quran, orang yang meyakininya memang harus meninggalkan hadis mengingat bahwa hadis, betapapun secara historis tidak sekuat Quran. Jaksa Agung, dalam keputusan pelarangannya, menyebut bahwa kaset-kaset Ghalia itu mengandung ajaran Inkarussunnah, yang sebelumnya sudah pernah dilarang. Sedangkan MU DKI Jakarta, dalam surat protesnya, menyebut ajaran dalam kaset itu mengingkari hadis sebagai sumber ajaran. Protes yang sama dikemukakan oleh organisasi bernama Koordinator Pemberantasan Ajaran Sesat Inkarussunnah. Tapi apakah Inkarussunnah? Pertengahan 1983, di Jakarta diketahui terdapat beberapa kelompok pengajian yang menyatakan diri hanya berpegang kepada Quran. Alasannya unik. Allah itu gaib, kata mereka, sedangkan Rasul sudah meninggal. Yang ada hanya Quran, dan itulah "kata-kata Allah dan Rasul". Yang disebut hadis hanyalah "dongeng dari mulut ke mulut". Ajaran yang konon bermula dari sebuah kampung di Klaten, Jawa Tengah, itu tampak dianut orang-orang yang tidak punya (banyak) ilmu. Benarkah Nazwar Syamsu, yang juga berilmu, termasuk mereka itu? "Kami tak mau disebut Inkarussunnah. Kalau disebut Inkarul Hadis, kami terima." Jawaban ini, dari Lukmanulhakim, memang menunjukkan adanya perbedaan pengertian. Hadis, betapapun, berarti maten ajaran. Hadis adalah semua ucapan, perbuatan, atau sikap Nabi, yang kemudian dituliskan dan praktis mempunyai daya ikat. Sedangkan pengertian sunnah, "tradisi", tentu saja lebih abstrak. Ia bisa lebih merupakan sesuatu yang tidak selalu harus diikuti secara pas betul. Yang diambil terutama semangatnya - setidak-tidaknya di luar soal peribadatan. Itu bisa menjadi jelas bila misalnya Iqbal filsuf Pakistan itu, mengkritik gerakan pemurnian Islam Rasyid Ridha di Mesir sebagai, "tidak urung hanya berpegang pada hadis-hadis." Iqbal membandingkan paham mereka itu dengan paham Hanafi, yang lebih memilih istihsan (pengambilan kesimpulan yang dianggap baik, hal yang diharapkan sesuai dengan semangat Sunah) daripada selalu berpegang secara harfiah kepada bunyi hadis. Pada Nazwar Syamsu, betapapun, dengan tidak mempergunakan hadis, yang keluar bukan hanya pernyataan tentang alam kubur. Tapi paparannya tentang Adam, Isa, dan surga-neraka, misalnya, sepenuhnya hanya berdasarkan Quran (dengan bahasa Arab yang, menurut Harun Al-Ma'any, sebetulnya "agak lemah", sementara ia tak mau memakai terjemah orang lain) plus akal pikiran sendiri. Sama sekali tak menengok hadis. Hasilnya, di samping di satu pihak terasa kurang jujur, atau setidak-tidaknya kelewat fantastis, di pihak lain terasa miskin alias tunggal nada. Ia menetapkan, misalnya, orang yang masuk neraka akan sama abadinya dengan yang masuk surga - sementara dari berbagai hadis orang bisa mendapat kesimpulan bahwa neraka, "pada akhirnya", akan kosong, bahkan dari orang paling kafir sekalipun, menurut setengah riwayat. Bukankah berpegang kepada Sunah justru - mestinya - menelusuri berbagai hadis, dan "mengambil semangat"-nya? DATUK Palimo Kayo, Ketua Majelis Ulama Sumatera Barat yang lanjut usia itu, menyatakan tak keberatan bila buku-buku Nazwar dilarang - "kalau memang sudah keterlaluan." Tapi Buya Harun Al-Ma'any, yang - seperti halnya Datuk menyatakan belum membaca karya Nazwar seluruhnya, menyatakan bahwa Nazwar, sepengetahuannya, belum sampai keluar dari akidah alias keimanan. Dan terhadap pelarangan "Buku-buku itu'kan pikirannya sendiri? Kalau mau membantah, bikin saja buku tandingan." Betapapun, yang dilarang Jaksa Agung akhirnya hanya kaset-kasetnya - agaknya karena, seperti dikatakan seorang pejabat Departemen Agama, kalau bukunya harus dilarang, "akan terlalu banyak sekali yang harus dilarang." Hanya satu yang disayangkan Buya Harun, katanya. Waktu Nazwar mendekati ajal, terbaring berbulan-bulan, ia menolak dibawa ke dokter. Malahan minta diobati sinse. Katanya, "Penyakit saya ini misterius, tak bisa diobati dokter". Rupanya, itu bagi Buya termasuk aneh. "Barangkali ada masalah kejiwaan," komentar Buya. "Barangkali ia menyesali buku-bukunya yang belum matang, dan telanjur beredar." Dan Buya pun merasa kehilangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus