Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Polisi Memberikan Perlakuan Khusus atas Kejahatan Anak di Palembang

Polisi menerapkan aturan khusus terhadap empat anak yang diduga terlibat pembunuhan dan pencabulan di Palembang.

10 September 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi hukum pidana pada anak di bawah umur. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Proses hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum wajib menggunakan UU SPPA.

  • Prosedur yang diterapkan terhadap anak berbeda dengan aturan yang digunakan untuk orang dewasa.

  • Anak yang melakukan tindak pidana tetap harus menjalani proses hukum sesuai dengan aturan.

KEPOLISIAN Resor Kota Besar Palembang menerapkan perlakuan khusus terhadap empat anak yang berhadapan dengan hukum. Mereka diduga terlibat pembunuhan dan pencabulan terhadap remaja putri berinisial AA, 13 tahun, di Kecamatan Sukarami, Kota Palembang, Sumatera Selatan, pada 31 Agustus 2024.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepala Kepolisian Resor Kota Palembang Komisaris Besar Harryo Sugihhartono mengatakan, dari empat anak tersebut, hanya satu yang ditempatkan di ruang tahanan. Sedangkan tiga anak lainnya diserahkan kepada dinas sosial. “Kami bekerja sama dengan balai rehabilitasi milik dinas sosial,” kata Harryo, Kamis, 4 September 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Harryo, penahanan hanya dilakukan terhadap remaja berinisial IS, 16 tahun. Dia diduga menjadi penggagas yang mengajak tiga temannya melakukan kejahatan tersebut. Adapun tiga teman IS itu adalah MZ, 13 tahun; NS (12); dan AS (12).

Penerapan hukum terhadap mereka, kata Harryo, tidak bisa disamakan dengan orang dewasa. Sebab, untuk anak yang berhadapan dengan hukum, harus diterapkan prosedur khusus sesuai dengan undang-undang peradilan anak.

Pembimbing Kemasyarakatan Badan Pemasyarakatan Kelas I Palembang, Candra, mengatakan, berdasarkan aturan, penindakan penahanan bisa dilakukan untuk anak berusia 14 tahun ke atas. “Kalau di bawah 14 tahun tidak bisa ditahan,” katanya saat ditemui di Unit Pelaksana Teknis Dinas Panti Sosial Rehabilitasi Anak Berhadapan dengan Hukum Sumatera Selatan, Senin, 9 September 2024.

Ketentuan itu didasarkan pada Pasal 32 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Syarat lain penahanan adalah anak melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara atau lebih.

Ketua Pusat Studi Kebijakan Kriminal Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Nella Sumika Putri mengatakan UU SPPA memang wajib dijadikan landasan untuk menyelesaikan perkara kejahatan anak. Aturan itu harus diterapkan dari tahap penyelidikan sampai tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Undang-undang ini mengutamakan pendekatan keadilan restoratif dan diversi atau penyelesaian perkara anak di luar peradilan pidana. “Upaya penegakan hukumnya demi kepentingan anak,” ucap Nella.


Undang-Undang SPPA mengatur secara khusus penyelesaian perkara untuk anak yang berhadapan dengan hukum. Di antaranya adalah penyelesaian perkara harus cepat, sekitar 30 hari, yang dihitung dari penyelidikan awal di kepolisian hingga pembacaan putusan di pengadilan.

Adapun hakim tunggal yang memimpin persidangan wajib memeriksa perkara ini secara tertutup. Pengecualian bisa diberikan ketika sidang pembacaan putusan. Vonis yang diberikan kepada anak juga tidak boleh hukuman penjara maksimal sesuai dengan ancaman pidana.

Menurut Nella, ketentuan itu diatur dalam Pasal 81 UU SPPA. Bunyi pasal itu adalah pidana penjara dapat dijatuhkan paling lama separuh dari ancaman hukuman maksimal bagi orang dewasa. Jika perbuatan pidana yang dilakukan diancam dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup, anak hanya dapat dijatuhi paling lama 10 tahun penjara.

Rumusan aturan itu didasari anggapan bahwa anak belum mengerti sepenuhnya tentang perbuatan yang dilakukan. “Kemampuan bertanggung jawabnya memang belum sesempurna orang dewasa,” ucap Nella.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Dian Sasmita, sependapat dengan Nella. “Perilaku pelanggaran hukum oleh anak perlu dilihat dari banyak aspek, terutama yang berpengaruh besar terhadap kehidupan anak,” kata Dian.

Aspek-aspek itu antara lain lingkungan sosial, keluarga, dan pendidikan yang berpengaruh besar terhadap kehidupan anak. Penanganan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana perlu ditelusuri berbagai penyebabnya. Karena itu, perlu peran aktif Badan Pemasyarakatan dan Pekerja Sosial sebagai aparatur negara yang mengawasi. “Supaya aparat penegak hukum mendapat gambaran menyeluruh perihal situasi anak yang berhadapan dengan hukum,” tuturnya.

Ketua Dewan Pengurus Bidang Sosialisasi, Edukasi, dan Promosi Hak Anak Komisi Nasional Perlindungan Anak Lia Latifah mengatakan, berdasarkan aturan, setiap anak yang berhadapan dengan hukum harus mendapat pendampingan psikologis dari Badan Pemasyarakatan ataupun Lembaga Pembinaan Khusus Anak.

Namun sejauh ini, kata Lia, aturan itu belum dijalankan secara utuh. Umumnya, pendampingan hanya diberikan sekitar tiga bulan hingga satu tahun. “Seharusnya ada evaluasi atau asesmen lebih dulu untuk memastikan anak tersebut sudah bisa mengelola psikologisnya,” ujarnya. Evaluasi ini penting untuk memastikan anak yang berhadapan dengan hukum tidak mengulangi perbuatannya di masa depan.

Lia berharap kasus pembunuhan dan pemerkosaan di Palembang menjadi pembelajaran bagi semua pihak. Mereka yang terlibat dalam kasus ini adalah anak-anak dan mereka tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatan masing-masing. “Anak-anak itu harus belajar bertanggung jawab dengan apa yang sudah mereka lakukan, tapi dengan hak pendidikan dan kesehatan harus tetap diberikan,” katanya.

Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel berharap masyarakat bisa memahami perlakuan istimewa terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Suka atau tidak suka, peraturan itu memberikan ruang bagi anak untuk lebih leluasa bergerak atas pertimbangan masa depan mereka.

Dengan pemahaman itu, kata Reza, masyarakat, terutama keluarga korban, tidak mendasari penyelesaian kasus atas dasar dendam. “Undang-Undang SPPA mengharamkan kita punya mindset dendam, bahkan harus terus memandang para pelaku sebagai insan cilik yang punya masa depan,” ujarnya.

Di sisi lain, Reza tidak setuju bila anak yang terlibat kejahatan tak menjalani proses hukum sebagaimana mestinya. Apalagi kejahatan yang dilakukan dikategorikan tidak manusiawi. Ia menilai penerapan UU SPPA terhadap anak yang berhadapan dengan hukum sudah tepat. “Karena semangat UU SPPA berbeda dengan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) atau ketentuan-ketentuan pidana lain yang diberlakukan untuk orang dewasa,” ucapnya. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Yuni Rohmawati dari Palembang berkontribusi dalam penulisan artikel ini

 

M. Faiz Zaki

M. Faiz Zaki

Menjadi wartawan di Tempo sejak 2022. Lulus dari Program Studi Antropologi Universitas Airlangga Surabaya. Biasa meliput isu hukum dan kriminal.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus