MEREKA yang doyan santai dan tak suka menggubris waktu sebaiknya tinggal saja d~ Indonesia. Kekhawatiran terlambat masuk kantor, menghadiri rapat, atau telat mengerjakan tugas bisa dibuang jauh-jauh. Tidak akan ada sanksi, dan karier tidak akan terancam. "Kita punya toleransi sangat besar pada keterlambatan," ujar Djamaludin Ancok, psikolog dari Universitas Gadjah Mada, dalam seminar "Kualitas Manusia dan Produktivitas Nasional", dua pekan lalu di kampusnya. Soal siapa yang salah Djamaludin langsung mengalamatkan pada masyarakat, khususnya para orangtua dan kaum birokrat. Kesalahan orangtua, menurut teorinya, karena mereka menanamkan pola asuh salah kaprah pada anak-anak mereka. "Mengatur sepatu saja harus ditolong pembantu, kapan bisa menumbuhkan rasa tanggung jawab?" ujarnya mengecam. Tak hanya itu. Anak-anak mereka juga tak pernah didongengi soal kerja keras demi masa depan. Maka setelah dewasa pun mereka tak mampu menghargai prestasi orang lain. Ketidakmampuan itu terutama sangat kentara di jajaran birokrasi, termasuk kampus universitas negeri yang masih jadi simbol kecerdasan bangsa. Sampai sekarang, misalnya, tak jelas kriteria apa yang dipakai untuk menilai prestasi seorang pegawai negeri. Bahkan soal bagaimana seorang pengajar bisa diangkat jadi dosen teladan pun masih tak jelas rumusannya. ladi, menurut ahli ilmu psikologi sosial itu, takmengherankan kalau pegawai negeri tak bernafsu memburu prestasi. "Soalnya, toh PGPS -- pintar goblok penghasilan sama," ucapnya lantang. Akibatnya terpikul pada mahasiswa. Apalagi penyakit PGPS itu kini justru makin banyak diidap oleh bapak-bapak dosen universitas negeri. "Maklum, yang mereka takutkan cuma PP 10 (peraturan pemerintah yang melarang pegawai negeri beristri dua) dan melakukan tindak pidana," ujar Djamaludin. Kadang-kadang kalau sedang malas, mahasiswanya yang disuruh datang ke rumah. Mau pergi ke luar negeri juga bisa langsung terbang, kendati ada mahasiswa yang skripsinya tercecer. Selain itu, yang juga tak kalah merunyamkan adalah tak adanya etlka keria yang bisa jadi panutan. Di sini para guru agama~punya peranan. Ini dikaitkan Djamaludin pada ajaran mereka yang terlalu menekankan pendldikan roham, sehingga ajaran dumawi kedodoran. Padahal, dalam setiap agama kalau dalam Islam bisa ditemui pada hadis Nabi - selalu ada ajaran soal etika dan etos kerja yang jelas bisa mendorong setiap orang bekerJa lebih keras untuk meralh prestas lebih baik. Kendati demikian, tak berarti kelambanan atau kemalasan orang Indonesia sudah jadi harga mati. Di lingkungan lebih baik, yang memiliki sistem jenjang karier dan penilaian prestasi lebih jelas, terbukti banyak orang Indonesia mampu bersaing dengan pegawal yang diimpor dari Eropa Barat atau Amerika. Tapi dalam soal siapa yang lamban, KuntowiJoyo punya rumusan berbeda. Dla tak setuju kalau sifat itu ditudingkan pada masyarakat Indonesia secara sama rata. Baginya, perbedaan suku bangsa dan kelas sosial juga harus diperhitungkan. Mereka yang lamban mungkm hanya dari suku dan kelas sosial tertentu. Orang Jawa, misalnya, dulu memang punya hambatan budaya untuk mengatrol produktivitasnya, yang belum tentu merongrong suku lain. Maka, doktor sejarah itu mengacu pada sebuah filsafat tradisional yang dulu banyak mencengkeram orang Jawa: ojo ngoyo, yang berarti Jangan kerja terlalu keras dan sak madyo, yang berarti hidup seadanya saja. Hanya saja, kini hidup mereka sudah makin konsumtif, sehingga pandangan filsafat itu pun tergeser. Mereka mau tak mau harus kerja lebih keras untuk memenuhi berbagai kebutuhan yang makin bertumpuk. Di kalangan intelektual pergeseran nilai semacam it~u juga terjadi, kendati belum meluas. Para pembaruny~ masih terbatas pada para dosen yang baru pulang membawa ilmu dari mancanegara. "Sikap dan cara berpikir mereka cenderung lebih terbuka, demikian pula penghargaan terhadap waktu," ujar Kuntowijoyo. Tapi dia jug~a mengakui kalau mereka ini juga menimbul kan persoalan baru, lantaran cenderung jad spesialis murni. Padahal, Indonesia sebenarnya lebih membutuhkan tenaga generalis karena masih terbatasnya tenaga berpendidikan tinggi. Memang, secara empirik dia akui bahw. kelambanan oran~ Indonesia menyebabkan tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi kalah bersaing menghadapi para pekerja dari Korea Selatan atau negaranegara ASEAN lainnya. Hanya, Kuntowijoyo agaknya perlu mengingat bahwa tenaga kerja Indonesia di sana kebanyakan buruh kasar. Sementara itu, para saingan, terutama Korea dan Filipina, kebanyakan terdiri dari tenaga terampil atau ahli. Lalu sampai berapa Jauh kelambanan di kalangan masyarakat Indonesia? "Di sini kita harus hati-hati benar," ujar Loekman Sutrisno, ahli sosiologi pedesaan yang banyak kontak dengan masalah produktivitas masyarakat. Betapa tidak. Menurut Loekman, banyak ahli menjatuhkan vonis begitu saja tanpa melihat konteks. Maka, dia menarik contoh dari pengalaman para guru sekolah. Dia sangat menolak kalau produktivitas seorang guru hanya diukur dari jam mengajarnya di sebuah sekolah atau seringnya mangkir Alasannya gaji guru pas-pasan dan sering disunat sehingga mereka harus mencari pekerjaan sampingan, entah jadi guru di sekolah lain atau bisnis kecil-kecilan. Jadi, kalau semua kegiatan mereka dihitung, menurut Loekman, belum tentu mereka lamban dan produktivitasnya rendah. Bahkan sosiolog ini yakin benar, umumnya masyarakat Indonesia justru memiliki produktivitas tinggi. Buktinya, pemerintah bisa melaksanakan swasembada beras, satu prestasi yang tentu ditunjang kerja kera~s kaum petani. "Padahal, kaum tani adalah mayoritas yang paling banyak dirugikan,' ujarnya. Ia menambahkan, "Membandingkan produktivitas orang Indonesia dengan orang negeri maju belum tentu tepat." Pr~aginanto (Jakarta), I Made Suarjana (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini