GELAR profesor adalah sebuah kontradiksi. Sementara guru besar menjadi tulang punggung mutu akademis sebuah perguruan tinggi - karena dialah yang berhak membimbing disertasi doktor - kritena pengangkatan profesor bergantung pada hal-hal yang birokratis. Itu sebabnya bila Pri~una Sidharta, dokter ahli saraf, baru Sabtu dua pekan lalu diangkat sebagai guru besar dalam usia 63 tahun lebih sehari, di Universitas Katolik Atmajaya,Jakarta. Ini sekaligus pengangkatan guru besar pertama kali sepanjang sejarah fakultas kedokteran swasta. Namun, syukurlah, seolah tak mau kalah dengan deregulasi di dunia perdagangan, belum lama ini turun kebijaksanaan baru menyangkut gelar guru besar. Diakui bahwa selama ini pengangkatan profesor semata berdasarkan jalur kepegawaian. Sebelum seorang dosen berpangkat IV D atau lektor kepala, betapapun jagoannya dia dan dibutuhkan oleh fakultasnya, tak mungkin ia diusulkan sebagai profesor. Dengan kebijaksanaan baru, dibuka dua jalur pengangkatan profesor. Lewat kepegawaian tadi dan lewat jalur prestasi akademis, kata Oetomo Djajanegara, Sekretaris Ditjen Pendidikan Tinggi. Bisa disebutkan, kebijaksanaan tersebut juga merupakan upaya meningkatkan mutu perguruan tinggi. Kata Menteri P & K kepada TEMPO beberapa waktu lalu "Banyak profesor belum menjalankan peran sebagai pengajar utama." Dibukanya jalur akademis dengan demikian diharapkan meningkatkan persaingan dalam prestasi ilmiah. Lebih jauh lagi adalah kata Dirjen Pendidikan Tinggi Sukadji Ranuwi'nar~jo sewaktu keb~jaksanaan baru ini baru diolah: "Nantinya gelar profesor benarbenar merupakan penghargaan prestasi akademis.~ Selama ini bukan saja prestasi akademis lalu terkesampingkan dalam pengangkatan guru besar. Yang lebih terasa, menurut kalangan perguruan tmgg~ yang dlwawancarai TEMPO, aspek birokrasinya itulah terutama yang dipertimbangkan. Mungkin ini soalnya bila Priguna Sidharta, misalnya, ketika sudah berpangkat rektor kepala di Fakultas Kedokteran UI, dua puluh tahun lalu, tak juga menjadi guru besar. Ada yang mengatakan, sebenarnya waktu itu ia memang sudah diusulkan. Sementara itu, Dekan FK UI kala itu, Prof. Dr. Asri Rasaad, di harian Kompas membantah ihwal pengusulan tersebut. Menurut Prof. dr. Sujudi, Rektor UI sekarang, "karena waktu itu Pak Sidharta keburu ke Malaysia," maka usulan tak sempat dibicarakan. Pada 1971 Sidharta memang memenuhi undangan menjadi dosen di Universitas Malaysia, Kuala Lumpur. Salah satu hambatan yang banyak disebut dalam hal pen~angkatan guru besar adalah, itu tadi, soal ~pangkat yang harus IV D. Sementara itu, kenaikan pangkat sendiri pun tak luput dari birokrasi. Contohnya, yang dialami oleh Dokter Padmosantjojo, ahli bedah saraf yang namanya melambung karena sukses mem~be~dah si kembar siam Yuliana-Yuliani. Bahkan~ prestasinya sekarang ini belum~ mampu mendongkrak pangkatnya dari III D yang disandangnya sejak 10 tahun lalu (kenaikan pangkat normal sekali dalam 4 tahun). Adalah Fuad Hassan, Menteri P & K, sendiri yang lalu mengusulkan gelar profesor buat Padmo, kini 50 tahun. Di luar, soal ini membuat orang menduga jangan-jangan dr. Padmo sengaja tak mengurus kenaikan pangkatnya karena malas berurusan dengan birokrasi. "Saya bukannya tak mau mengurus kenaikan pangkat. Itu tak mungkin," kata Padmo, ahli bedah saraf lulusan Ryks Universiteit Groningen, Belanda. Lalu? "Masa, saya harus mengusulkan kenaikan pangkat saya sendiri." Padmo tak mau bercerita tentang kenapa pangkatnya mandek, takut ada orang yang tersinggung. Juga sejumlah dosen yang dihubungi TEMPO enggan berbicara banyak tentang pangkat dan gelar profesor. Seorang dokter di Unair, Surabaya, menceritakan lamanya usulan dari universitas diproses di Departemen P & K. Dokter ini diusulkan mendapat gelar guru besar pada Januari 1986. Depertemen menjawab, Desember 1986, bahwa perlu dilengkapi persyaratan karya ilmiah asli. Februari karya yang diminta dikirimkan. Sampai tutup tahun belum ada lagi jawaban. Adalah Drs. Kosmaya Anggawisastra, 47 tahun, dosen bahasa Indonesia di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Bandung. Ia memang tak mengurus kenaikan pangkatnya karena kecewa. Ade, begitu pak dosen ini dipanggil, sudah menyandang pangkat III A pada 1971. Ketika pada 1978 ia diberi jabatan khusus membantu Pembantu Dekan III, yang dibantu kaget, karena pangkat Ade tetap III A. Setelah diusut, ternyata panggilan kenaikan pangkatnya sudah empat kali menumpuk di meja Kepala Tata Usaha. "Entah kenapa tak disampaikan kepada saya," kata Ade. Setelah diurus, dua minggu kemudian ia naik menjadi III B. Tapi sejak itu ia tetap III B sampai saat ini. Kenapa? "Saya konflik dengan salah seorang tim penilai,'' katanya. Padahal, menurut Ade, ~redit point-nya cukup untuk kenaikan pangkat. Ia pernah menjabat Ketua Jurusan Bahasa Indonesia selama 6 tahun ~1979-1985), akti't mengikuti seminar dan lokakarya. Ade adalah pencetus Gelanggang Senisastra, Teater, dan Film (GSTF) di Unpad. "Seharusnya saya sudah IV B seperti temanteman saya," katanya dengan pasrah. Lain lagi cerita Sapardi Djoko Damono, dosen di Fakultas Sastra UI. Dosen berpangkat IV B ini mengaku sebentar lagi ia akan mengurus kenaikan pangkatnya menjadl IV C. "Bukan birokrasinya yang salah, tapi memang ada dosen yang malas mengurus kenaikan pangkat," katanya. Walhasil, tampaknya persoalannya memang, tidak seragam. Ada yang merasa kenaikan pangkatnya atau usulan pengangkatan sebagai profesor nyangkut di dekan. Ada yang menduga pihak universitaslah yang tak mengirimkan ke Departemen. Ada pula kasus sekadar "kesalahan teknis", yakni surat panggilan tertimbun kertas-kertas di me)a petugas. Anehnya, ada juga yang mengeluh dengan nada lain. Yakni Dr. Ir. Anang Zaini, 48 tahur., pengajar di Fakultas Teknik Industri ITB. Anang mengaku, jenjang kenaikan pangkatnya terlalu cepat, sehmgga, "saya banyak mengerem diri supaya tak menimbulkan persoalan dengan rekan seprofesi saya. Doktor lulusan Universitas Padova', Italia, tahun 1972 ini sudah merangkul golongan IV C, sementara ia tahu persis banyak koleganya yang tersendat pangkatnya. Kenapa ia beruntung? Anang menduga karena ia sermg memberi ceramah ilmiah di luar negeri. Prestasi Anang di bidang matematika, misalnya, memang sempat mengagetkan pertemuan ilmiah Operation Research Society of America and the Institute of Management Sciences di St. Louis, Amerika Serikat, Oktober yang lalu. "Bisa jadi karena pimpinan ITB dan pemerintah menilai saya memiliki prestasi ilmiah yang bukan saja diakui para ilmuwan d~ Indonesia tetapl iuga di luar negeri," kata dosen yang bet~stri wanita Italia ini. Yang jelas, dalam peraturan, seperti sudah disebutkan, setiap empat tahun sekali seorang dosen berhak mengajukan kenaikan pangkatnya. Maka, salahnya sendiri bila ia malas mengurusnya. Tapi mengapa ia malas mengurus, tentunya para dosen punya alasan sendiri. Siapa, sih, tak mau naik pangkat, dan setelah IV D lalu menjadi profesor? Putu Setia & Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini