SEJAUH ini, inilah pertama kali seorang guru dijatuhi hukuman karena ringan tangan terhadap murid. Ibu Guru Siti Zahra hanya bisa tertunduk lesu ketika Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palembang Rabu dua pekan lalu memvonisnya 7 bulan dengan masa percobaan satu tahun. Itu berarti selama setahun pengajar bahasa Inggris di SMP II, Kebun Duku, Palembang, itu tak boleh melanggar hukum bila tak ingin masuk tahanan. Ini semua bermula dari persoalan yang sebenarnya sepele. Ketika itu, Juli lalu, Zahra menanyakan hasil rapor Sri Rahmah Triana, salah seorang siswanya. Dan Sri, 15 tahun, mcnjawab dengan lantang, konon bersikap melawan gurunya. Bu guru berusia 32 tahun ini emosi. Lalu tangannya melayang ke pipi Sri, dua kali. Sorenya, anak kedelapan dari sembilan bersaudara itu mengeluh tak enak badan. Akhirnya Sri dibawa ke dokter. Belakangan malah harus dirawat karena diduga gegar otak. Aziz Abdullah, ayah Sri, segera menghubungi Karim, kepala sekolah SMP Kebun Duku, untuk meminta pertanggungjawaban. Setidak-tidaknya ikut memikul biaya perawatan. Pihak sekolah tentu tidak bisa menyediakan uang dalam tempo singkat, yang menurut Karim jumlahnya sampai Rp 600.000. Karim berjanji akan membicarakan masalah itu lebih serius. Namun, ketika menjenguk Sri di rumah sakit dan bertemu dengan Aziz, persoalan rupanya berkembang. Aziz menolak jalan damai. Singkat kata, orangtua Sri akan mengadukan perkaranya ke polisi. Sebenarnya, pihak sekolah tak keberatan membantu. Tapi karena perkara sudah sampai ke pengadilan, untuk sementara ditangguhkan sampai ada keputusan pasti. Sebab, menurut Karim, musibah yang menimpa muridnya itu juga musibah sekolah. Apalagi Karim meragukan bahwa Sri sampai mengalaml gegar otak. Juga Zahra meragukan kondisi Sri sampai separah itu. Apalagi, menurut visum dokter, disebut-sebut bahwa gegar otak Sri karena kena benda tumpul. "Saya tahu letak otak kecil di bagian belakang kepala. Mana mungkin menampar pipi kiri-kanan bisa disebutkan kena benda tumpul bagian bela~ang kepala?" kata ibu satu anak itu. Sebulan lebih Sri diopname. Sialnya, begitu sembuh, ia tak bisa kembali ke sekolahnya. Bahkan SMP negeri yang lain pun tak bersedia menerima. Entah apa alasannya. Ini yang membuat gundah orangtuanya. Perihal vonis tujuh bulan itu, Aziz cukup puas. "Tidak ada untung maupun rasa bangga," ujarnya. Akan halnya Zahra, ia berniat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Bila benar demikian, pihak Aziz akan mengajukan tuntutan ganti rugi. "Tapi pintu kami tetap terbuka untuk mengadakan perdamaian," ujar Aziz. Cerita guru ringan tangan terhadap murid sebenarnya bukan cerita baru. Tapi yang sampai ke pengadilan dan sudah divonis sejauh ini baru kasus Zahra ini. Akhir September lalu, Pengadilan Negeri Probolinggo, Jawa Timur, misalnya, menyidangkan gugatan terhadap SMP Katolik Mater Dei. Tapi sidang itu dibatalkan, lantaran surat dakwaan yang diajukan kejaksaan dianggap kurang cermat. Kasusnya sendiri terjadi Maret lalu. Ketika itu, walaupun agak meriang, Ronny Agus Jaya berangkat juga ke sekolah. Selama jam pelajaran berlangsung, slswa kelas satu itu tampak lesu. Maklum, lagi sakit. Bahkan sewaktu pelajaran bahasa Inggris, Ronny sempat merebahkan kepalanya di bangku. Saat itulah Pak Guru Sucipto mendekat. Tahu-tahu ia dibentak. Belum hilang kagetnya, sebuah tamparan melayang. Dengan berani Ronny menepis. Buntutnya, Ronny dipanggil kepala sekolah, Suster Paulina. Di situ ia sudah ditunggu oleh seorang guru lain. Bukannya persoalan jadi jernih, justru makin runyam. Ia tak diberi kesempatan untuk menjelaskan duduk persoalan yang sesungguhnya. Yang dia ingat beberapa hantaman mendadak menghajar kepala dan dadanya. Ronny langsung pingsan. Keruan saja, kondisi Ronny makin buruk. Selain sulit bernapas, makanan yang masuk ke perut selalu dimuntahkan. Oleh Nyonya Bambang, ibunya, anak malang itu dilarikan ke RSU Probolinggo. Tak juga membaik. Seminggu kemudian dibawa ke RSU Dr. Sutomo Surabaya. Ternyata, Ronny mengalami gegar otak ringan (TEMPO 13 Juni 1987). Tak kurang dari dua juta rupiah biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan. Keluarga Nyonya Bambang menolak uluran damai yang ditawarkan para guru, dan memilih melaporkan ke polisi. Rupanya, itu tadi, surat dakwaan yang disusun oleh Nyoman Sudana, selaku jaksa penuntut umum, dinyatakan batal, tak memenuhi syarat hukum. Namun, menurut majelis hakim yang menyidangkan perkara itu, kesempatan untuk banding masih terbuka. "Yang kami anggap kurang cermat hanya surat dakwaannya itu. Perkaranya masih belum diperiksa," kata Erhansyah, Ketua Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini. Kenyataannya memang demikian. Pengadilan Tinggi Jawa Timur pertengahan November lalu memerintahkan PN Probolinggo untuk memeriksa kembali pokok perkara yang menyangkut Ronny. Tapi hingga kini persidangan belum dibuka kembali. Sementara itu, pihak keluarga Ronny berharap cepat tuntas. "Kami telah menghabiskan biaya untuk kasus ini lebih dari Rp 3 juta," kata Bambang Sunaryo, ayah Ronny. Yang disesalkan, Suster Paulina ternyata tidak diajukan ke pengadilan. Padahal, menurut Ronny, yang memerintahkan penganiayaan itu adalah kepala sekolah. Yusroni Henridewanto, Syaiful Ateh (Palembang), dan Wahyu Muryadi (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini