DOR! Mat Juri terkapar. Tukang ojek berusia 21 tahun itu tewas di depan bioskop Purnama, Bangkalan, Madura. Pelor membolongi kepalanya. Kejadian berlangsung cepat, hingga kawan- kawannya cuma melihat si penembak yang bersepeda motor, kekar dengan rambut potong pendek alias cepak. Keesokan harinya muncul berita di koran, Mat Juri, residivis, dilumpuhkan oleh orang tak dikenal. Orang menduga, itulah penanggulangan kejahatan secara shock therapy. Sudah diketahui bahwa salah satu perangsang munculnya kebrutalan massa adalah ketidakpuasan masyarakat terhadap sikap para aparat keamanan dan pengadilan. Kadang kala, atau sering, hukuman terhadap pelaku kejahatan dipandang kurang adil. Ini mendorong massa melakukan main hakim sendiri. Nah, tampaknya, jalan mengurangi ketidakpuasan masyarakat dengan cara "dor" itu. Itulah yang mungkin dilakukan di Sumatera Bagian Selatan dalam setahun belakangan. Ada yang mendata, sekitar 30 bandit ditembak polisi di kawasan itu. Tapi, "seingat saya yang mati lebih dari sepuluh," kata Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Bagian Selatan, Mayor Jenderal Yusnan Usman. Berapa pun jumlah korban, yang jelas, tindakan ini, menurut Yusnan, semata-mata buat mengimbangi kekerasan para penjahat itu sendiri, sebelum mereka mencemaskan masyarakat. Dan di Jakarta, menurut catatan polisi, seperti diberitakan Media Indonesia, awal Maret lampau, di wilayah hukum Kepolisian Sektor Tambora, Jakarta Barat, dari 50 bandit yang disergap, 40 orang didor. Menurut Kapolda Metro Jaya Mayor Jenderal Hindarto, mereka ditembak sebagai kontra-aksi terhadap kejahatan yang mereka lakukan menjelang Lebaran. Tapi, yang jadi soal ialah, selain adanya juru tembak beridentitas jelas, menyelip pula penembak yang salah sasaran, seperti yang mengenai Sunyoto di Surabaya. Sunyoto sedang membonceng sepeda motor ketika mendadak betisnya didor, dan sampai kini urusannya masih serba gelap. Dan begitu pula agaknya dengan kasus Mat Juri. Menurut juru bicara LBH Surabaya, Indro, bagi orang Madura suatu kasus belum selesai jika belum lewat sidang pengadilan. Meski, misalnya, masyarakat sudah tahu bahwa yang didor adalah residivis yang suka bikin ulah. Dan memang, kesadaran hukum tentu bukan monopoli orang Madura saja. Tak heran jika dalam kasus "dor" minus proses pengadilan ini mengundang komentar riuh dari masyarakat. Kasus ini mengingatkan orang pada kejadian sekitar 10 tahun silam, terkenal dengan apa yang disebut sebagai penembakan misterius -- disingkat petrus -- yang juga meriah dengan pro dan kontra. Orang jalanan di Jakarta, misalnya, mulai pejalan kaki, pemakai mobil pribadi apalagi penumpang angkutan kota, diam- diam banyak yang setuju dengan cara dor itu. Mereka sudah lama melenguh -- suatu tingkat paling letih dari mengeluh -- ihwal tidak amannya jembatan penyeberangan atau simpangan jalan dari penodong atau perampok. Atau bus kota yang tak pernah sepi dari pencopet dan penjambret, hingga terkesan negeri ini tak punya petugas keamanan. Para mukimin di kawasan satelit Jakarta pun boleh jadi setuju banget dengan tindakan polisi melibas para bandit tadi, meski persetujuan itu hanya diucapkan dalam hati. Tapi itu, seperti sudah disinggung, bukannya tanpa persoalan. Ini terutama bagi mereka yang berada di lembaga macam lembaga hak asasi manusia, juga DPR. B.N. Marbun, misalnya, menilai langkah main dor ini memberikan kesan bahwa Pemerintah panik dalam memberantas kejahatan, lalu mencari jalan pintas. Menurut Wakil Ketua Komisi I DPR RI dan anggota Komisi Hak Asasi Manusia itu, tidak tepat polisi langsung menembak, apa pun alasannya. "Kalau penjahat harus dihukum berat, misalnya hukuman mati, boleh saja asal melalui prosedur hukum," kata Marbun. Singkatnya, cara main tembak ini dianggap melanggar hak asasi manusia. "Kalau mau memperjuangkan hak asasi manusia, mari kita perjuangkan hak asasi manusia yang baik-baik, bukannya hak asasi maling atau perampok," sambut Panglima Daerah Militer Jakarta Raya, Mayor Jenderal A.M. Hendropriyono. Walhasil, para petugas keamanan hampir bagai menghadapi buah simalakama. Tak bertindak salah, bertindak pun salah. Seorang pakar kriminologi mengatakan, cara-cara polisi melakukan shock therapy itu, di sisi yang lain, justru mempengaruhi masyarakat untuk bertindak sendiri. Dengan kata lain, maksudnya mencegah agar masyarakat tak lalu main hakim sendiri, tapi secara tak langsung, cara aparat keamanan menanganinya memberi contoh tindakan kekerasan di luar hukum. Ini, kata Ketua Jurusan Kriminologi UI, Johannes Sutoyo, kepada kantor berita Antara, seperti memberi contoh agar masyarakat memilih kekerasan daripada dialog atau pengadilan untuk menyelesaikan masalah. Repot, memang. Sebuah pendapat mengatakan, sejauh bukan hanya "jalan dor" yang dilakukan sebagai solusi mencegah terjadinya dendam atau ketidakpuasan kolektif di masyarakat, dan itu hanya dilakukan seperlunya, tak berlarut-larut, itu tak mengapa. Bila kemudian dilangsungkan pengadilan yang bersih, diadakan sensor yang ketat terhadap film-film keras, diadakan tindakan yang membuat masyarakat merasa aman, tampaknya "dor" bisa ada hasilnya. Bila tidak, yang dicemaskan Sutoyo, cepat terlihat atau tidak, agaknya bakal terjadi.Ivan Haris dan Rihad Wiranto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini