BILA tak ada aral melintang, pekan ini Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akan mendatangi Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta Timur. Sesuai dengan janji mereka, pertengahan Maret lalu, saat bertemu dengan sejumlah narapidana politik di Cipinang: bila dalam waktu dua minggu surat pengaduan para terhukum belum diterima, Komnas sendiri yang akan menjemput surat itu ke Cipinang. Surat dimaksud diusulkan sendiri oleh tim Komnas HAM karena waktu pertemuan mereka yang terbatas. "Bila masih ada yang ingin disampaikan, disarankan secara tertulis," kata Wakil Ketua Komnas Marzuki Darusman, pada waktu itu. Nur Hidayat dan Abdul Fatah Qosim, narapidana yang dihukum belasan tahun akibat peristiwa Lampung, saat itu juga menyodorkan surat. Isinya, meminta Komnas membantu mengurus permohonan peninjauan kembali perkara mereka ke pengadilan. Mereka juga minta Komnas menyelesaikan perkara mereka dengan semangat rekonsiliasi nasional. Maksudnya, agar mereka dilepaskan Pemerintah dari penjara. Para terhukum lainnya rupanya belum siap dengan surat seperti Nur Hidayat. Mereka umumnya terpidana seumur hidup yang sudah berusia lanjut, karena terlibat G30S-PKI pada akhir 1965. Mereka yang diminta menyusulkan suratnya ke Komnas. Sudah bisa diduga, surat yang akan mereka kirimkan itu akan minta bantuan agar mereka memperoleh remisi alias pengurangan masa hukuman, yang selama ini tak mereka peroleh. Beberapa waktu yang lalu, sejumlah terpidana peristiwa Tanjungpriok dan peledakan BCA, semacam Abdul Qadir Djaelani, A.M. Fatwa dan kawan-kawannya, dilepaskan dari penjara karena remisi dan diizinkan menjalani hukuman di luar penjara. Para tokoh Komnas tampaknya prihatin juga pada nasib para terpidana yang sudah pada gaek itu. "Dilihat dari segi hak asasi manusia, nasib mereka perlu dipikirkan Pemerintah," kata Marzuki Darusman. Dari puluhan terhukum dalam kasus politik yang masuk Cipinang sejak tahun 1966, sebagian besar telah meninggalkan penjara itu. Ada yang keluar karena mendapat keringanan hukuman, ada yang "keluar" karena menjalani eksekusi mati. Tak sedikit yang "keluar" lantaran meninggal dunia, diserang penyakit. Pada tahun 1980--1983, tercatat tujuh terhukum yang meninggal karena penyakit. Kini, di LP Cipinang masih ada sembilan terhukum berusia lanjut yang menjalani hukuman seumur hidup. Tak seorang pun di antara mereka yang tampak masih gagah. Dengan umur rata-rata di atas 70 tahun, tubuh mereka telah terbalut berbagai penyakit uzur. Misalnya rematik seperti yang diderita Asep Soeryaman, eks tokoh PKI. Yang lain mengidap penyakit kelas berat: darah tinggi, gangguan kelenjar prostat, hernia, wasir berat, dan kelumpuhan. Ruslan Widjajasastra, salah seorang tokoh pusat PKI dan terlibat dalam pemberontakan di Blitar Selatan pada tahun 1967, kini pikun total. Haji Ismail Pranoto, bekas tokoh Darul Islam, mengalami nasib yang sama. Kedua kakek itu mirip tanaman: hidup namun tak bisa berbuat apa-apa. Mulai makan sampai buang air, mereka harus dibantu terhukum yang lain. Ada yang masih bisa bergerak, seperti eks Sersan Bungkus yang memimpin regu pembunuh pahlawan revolusi Mayor Jenderal Anumerta M.T. Haryono, saat peristiwa G30S-PKI. Tapi tiap kali hendak kencing, ia menjerit-jerit menahan sakit lantaran saluran kemihnya tersumbat. Perawatan medis bukannya tak diberikan oleh LP Cipinang. Eks Kolonel Latief, bekas komandan brigade infanteri Jakarta Raya, yang menjadi orang penting dalam G30S itu, sebagai contoh. Dalam waktu dekat, ia akan menjalani operasi hernia yang kesepuluh kalinya, atas tanggungan LP Cipinang. Namun, penjara tetap bukan tempat yang nyaman bagi penderita penyakit, apalagi mereka sudah uzur pula. Lihat saja eks Brigjen Sutarto, bekas Wakil Kepala Biro Pusat Intelijen (BPI) itu. Bekas tangan kanan Subandrio di BPI itu layaknya berada di rumah sakit jiwa. Pikiran Sutarto mulai terganggu setelah eks Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Anwas Tanuamidjaja -- salah seorang anggota Dewan Revolusi pimpinan eks Letnan Kolonel Untung -- dibebaskan sekitar lima tahun silam. Kuat dugaan, begitu Anwas yang masih terhitung saudaranya itu keluar penjara meninggalkannya, Sutarto dirundung rindu rumah yang akut. Suatu hari ia mengemas kopor lalu melenggang begitu saja menuju pintu penjara. Ia bilang pada penjaga penjara bahwa ia sudah boleh pulang. Tentu saja Sutarto digiring kembali ke selnya. Sejak saat itu, Sutarto seperti tak kenal siapa-siapa. Tiap hari kerjanya cuma marah-marah sendiri. Ia tak pernah mandi dan mengganti pakaian, sehingga seluruh tubuhnya berkurap. Sehari- hari Sutarto tampak "mangkal" di depan rumah sakit penjara. Perhatian pada persoalan semacam ini agaknya akan menjadi agenda Komnas HAM dalam membahas surat para terhukum itu. Tapi surat itu sendiri rupanya harus menempuh jalur formal: harus disampaikan para terpidana ke Komnas melalui Kepala LP Cipinang. "Surat itu harus saya terima dari Kepala LP, bukan Komnas," ujar Baharuddin Lopa, Dirjen Pemasyarakatan. Lopa juga menjabat Sekretaris Jenderal Komnas HAM. Soal urusan formal itu bisa saja menjadi aral dalam urusan ini.Nunik Iswardhani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini