HARI-hari belakangan ini kebrutalan massa terasa menjadi sarapan pagi. Anda membuka koran, atau nongkrong di depan pesawat televisi, satu atau dua berita tentang pengeroyokan massa, perkelahian antarkelompok, dan biasanya jatuh korban. Korban itu, dari warga biasa sampai seorang jenderal. Ada kesan kuat, orang lebih suka menyelesaikan persoalan dengan kekerasan. Dan itu bukan sekadar tinju. Kini batu, pentungan, botol, pisau, bahkan senjata api bicara. Berikut sejumlah contoh kasus. TEWASNYA BRIGJEN TAMPU Malam itu Brigadir Jenderal Toga Manahan Franky Tampubolon, di rumahnya, di Kompleks Dikum TNI di kawasan Cipinang Muara, Jakarta Timur, minta dibuatkan mi pada Mbok Darmi, pembantunya. Staf Ahli Pangab Bidang Ekonomi dan Keuangan itu di Jakarta memang hanya tinggal dengan pembantunya. Anak dan istrinya berdiam di Bandung, di kawasan elite Budi Asih. Senin malam itu jam menunjukkan sekitar pukul 22. Sembari menunggu mi masak, Tampu, demikian teman-temannya memanggilnya, duduk santai membaca buku shio, ramalan nasib model Cina. Tiba-tiba telepon genggamnya berdering. Setelah sejenak bicara di telepon, bekas wakil asisten intel Kasum ABRI yang pernah bertugas di Bais ini pun bergegas keluar rumah. Ia melupakan mi yang dipesannya. Segera terdengar deru mobil dinasnya, Mitsubishi Lancer GLX warna hijau tentara bernomor dinas 3341-00. Begitu mobilnya meninggalkan kompleks, ia melambaikan tangan pada beberapa anak muda anggota Karang Taruna yang sedang duduk-duduk. Di kompleks ini Tampu menjadi pelindung Karang Taruna. Tak jelas, berapa cepat lari mobil Tampu di jalan selebar lima meter yang sudah sepi itu. Yang kemudian menimbulkan perkara, sekitar 50 meter dari Cipinang Billiard, di Jalan Raya Griya Wartawan, Kebun Nanas, Jakarta Timur itu, mobil Tampu konon hampir menyerempet sekelompok pemuda yang tengah bergerombol di pinggir jalan. "Anjing, lu!" teriak salah seorang. Ada juga yang menggebrak bodi mobil. Bila benar demikian, bekas Komandan Grup Kopassus di Surakarta ini mestinya cukup lambat mengemudikan mobilnya. Tiba-tiba mobil berjalan ke arah sebaliknya. Tampu yang mengenakan baju merah itu turun, dan langsung mencengkeram baju salah seorang pemuda. "Mau apa kamu? Saya ABRI," demikian konon bekas Danrem Santiago Sulawesi Utara ini, yang lulus Akabri seangkatan Kasad Wismoyo, menghardik. Dan segera disahut jawaban yang tak kurang garangnya: "Kalau ABRI, mau apa kamu!" Suasana memanas. Tangan sudah mulai bicara, tapi seorang pemuda, belakangan diketahui bernama Lukman, 31 tahun, melerai mereka. Tiba-tiba salah seorang di antaranya mencabut golok, dan ditebaskan ke Tampu. Serangan ini ditangkis oleh anggota Kopassus ini dengan tangan hingga membuatnya terluka. Tapi, tebasan kedua tak terelakkan, tepat mengenai kepala. Ia terhuyung, lalu berlindung di balik kiri mobil. Di situ, Tampu disongsong pisau terhunus. Perutnya robek. Tusukan berikutnya mendarat di pinggang, dada, punggung, dan pangkal paha. Darah pun mengalir. Dalam keadaan sempoyongan Tampu berlindung di belakang mobil. Sebuah tusukan membuat lelaki tinggi besar berusia 55 tahun itu roboh. Sebelas tusukan dan bacokan bersarang di tubuhnya. Segera, keempat pengeroyok itu kabur. Saat itulah Ismail, bekas ketua RT setempat, mungkin mendengar ribut-ribut, muncul. "Saya tentara, saya ABRI," kata Tampu pada ismail. Dia meminta agar Ismail membawanya ke rumah sakit. Tapi Ismail mengaku tak bisa nyetir, walau sesungguhnya ia bisa membawa mobil kendati tak punya SIM. Lima mobil yang lewat yang distop Ismail tak ada yang berhenti. Mungkin mereka takut. Maklum, lokasi kejadian tergolong daerah rawan. Di situ sering terjadi penjambretan, bahkan penodongan. Dalam beberapa bulan ini saja, tercatat di situ terjadi tiga kali penusukan, di luar kasus Tampubolon. Di kuburan Cina dekat lokasi itu, mangkal pelacur rendahan yang berpraktek dengan menggelar tikar. Sementara itu, darah korban mengalir terus, membasahi kaki Ismail. Lima belas menit mereka menunggu pertolongan yang sia- sia. Akhirnya, Ismail menyarankan Tampu membawa sendiri mobilnya. Dengan dipapah, Tampu memasuki mobilnya. Jenderal ini pun menjalankan mobilnya dengan oleng sana-sini, menuju pos polisi Kebon Nanas sekitar 300 meter dari tempat kejadian. Tiba di pos polisi Kebon Nanas, Tampu ambruk di depan jendela pos polisi. Kepada Serda Eko Kurniawan, korban masih sempat mengaku dikeroyok empat orang pemuda, tak jauh dari kuburan Cina. Tampu segera diantar Koptu Surana ke Rumah Sakit UKI dengan taksi. "Dokter, tolong selamatkan nyawa saya, tanggungan saya masih banyak," kata bapak lima anak itu. Tapi nyawanya tak tertolong. Pukul 23.30 ia meninggal. "Kami sangat tertekan dengan meninggalnya korban. Dia satu- satunya harapan keluarga," kata Antony Tampubolon, kakak sepupu korban, kepada Ahmad Taufik dari TEMPO. Serda Eko dari pos polisi Kebon Nanas yang segera menuju lokasi kejadian tak menemukan siapa-siapa, kecuali ceceran darah. Baru dini harinya, semua unsur ABRI yang terkait bergerak mencari pelaku. Berdasarkan info yang diperoleh, diduga ada empat pemuda yang terlibat, dan rumah mereka hanya beberapa ratus meter dari tempat kejadian, di belakang kuburan Cina Cipinang Muara. Tapi rumah didatangi, yang dicari tak ada. Ini makin menguatkan dugaan. Di rumah orang yang bernama Hendrik, misalnya, polisi hanya bertemu dengan ayah Hendrik, Sutrisno. "Saya langsung ingin menangis. Rasanya tak percaya, dia dituduh membunuh jenderal," kata Sutrisno sedih, begitu diberi tahu polisi bahwa anaknya menusuk Brigjen Tampubolon. Ia segera mencari anaknya. Selasa pagi pukul 7.00 Hendrik yang jebolan kelas II SMP dan bertubuh tinggi kerempeng, dan selama ini suka membantu di bengkel orangtuanya itu, diserahkan ke pos polisi Kebon Nanas oleh ayahnya. Sejam sebelumnya, Rusdi telah menyerahkan diri untuk "ditukar" dengan kakaknya, Rusli, yang "disandera" polisi. Tersangka lain, Risdianto, jebolan kelas II SMA yang belum jelas kerjanya itu, diciduk. Ia mengaku menusuk korban dengan pisau lipat. Barang itu dibuangnya ke WC. WC pun disedot. Pisau lipat ditemukan. Sedangkan tersangka keempat, Lukman, satu- satunya tersangka yang sudah berkeluarga, ditangkap saat mengantarkan istrinya di Rumah Sakit Persahabatan. Anak ketiga tukang ojek ini, yang berumur tiga bulan, harus diopname. Inilah contoh bagaimana sekadar cekcok kecil diselesaikan dengan hilangnya nyawa. Memang, sebentar muncul kabar, dikaitkan dengan panggilan telepon genggam itu, bahwa korban sengaja dipancing keluar rumah. Tapi Pangab Feisal Tanjung sendiri membantahnya. "Itu peristiwa kriminal biasa. Ada anak- anak mabuk yang mengundang kenakalan. Mereka tidak tahu siapa Tampubolon," katanya kepada pers di Bina Graha. Bisa jadi, soal mabuk itu benar. Bila mereka tak mabuk, lazimnya, ketika Tampubolon mengatakan ia ABRI, anak-anak muda itu akan ngeper. Tapi kali itu tidak. Konon, malam itu Hendrik, yang menjadi tukang parkir di kuburan Cina, sedang punya uang. Kebetulan, beberapa hari ini bertepatan hari Ceng Beng hingga banyak peziarah di kuburan itu. Lalu ia dan teman-temannya minum-minum. "Ia omong tak keruan, dan berdirinya pun sempoyongan," kata seorang cewek di Cipinang Billiard. PERMUSUHAN DUA KELOMPOK Dua hari setelah kasus Tampubolon, di Kelurahan Galur, Johar Baru, Jakarta Pusat, terjadi perkelahian masal. Dua kelompok terdiri dari ratusan orang warga kelurahan tersebut berkelahi bersenjatakan batu, pisau, botol minuman, dan lain-lain. Beberapa rumah di dekat lokasi "perang" rusak, dilempari batu. Seorang polisi, Serka Yuliansyah, yang hendak melerai pun ditimpuk. Gawatnya lagi, ia dicelurit. Syukur ia bisa menghindar hingga hanya terluka telapak tangannya. Ketika itulah ia melepaskan tembakan peringatan. Baru para "prajurit" yang bertempur bubar. Tapi korban telanjur jatuh. Chairul Basuki, 30 tahun, ditemukan sudah menjadi mayat. Juru parkir itu tewas tertembak di pinggir jalan dekat lokasi perkelahian. Bisa jadi, ia terkena peluru nyasar dari pistol Yuliansyah. Soal ini sedang diusut. Yang jelas, menurut pihak Polda, aparat keamanan, yang segera melakukan penggeledahan malam itu juga, menemukan puluhan celurit. Inilah jenis kebrutalan massa karena masalah yang berlarut- larut. Kelurahan Galur, daerah sumpek dan padat itu, memang potensial meledakkan percekcokan. Dan permusuhan dua kelompok itu, menurut pihak Polda, sudah berjalan bertahun-tahun, tanpa sebab yang jelas. PENONTON VERSUS WASIT Emosi massa, dalam suasana tertentu, tampaknya memang mudah tersulut. Dan ketika itu akal sehat pun absen, kehendak mereka mesti dipenuhi, kalau tidak kekerasan pun meledak. Itulah, Kamis malam pekan lalu, dalam perebutan gelar tinju yunior OPBF antara Adibar Barahma dan Hee Yun-Kwon di Hall Basket Senayan, Jakarta, terjadi kerusuhan memalukan. Pada ronde ketujuh Adibar kena hook petinju dari Korea Selatan itu secara beruntun, lalu jatuh di kanvas. Wasit merangkap hakim juri Kang Song-Koo, juga dari Korea Selatan, menghitung Adibar hingga hitungan ke-10. Berbarengan dengan itu, Adibar, yang didukung penonton, bangkit. Tapi, Kang sudah keburu menyatakan KO. Penonton, pelatih Adibar, dan pengurus tinju di sini kecewa. Tiba-tiba wasit digebuk dari belakang. Ia kontan tumbang. Seputar arena ring pun jadi riuh. Botol minuman beterbangan. Kursi melayang ke arah Kang dan Hee. Kang segera dilarikan ke Rumah Sakit Angkatan Laut Mintohardjo, Bendungan Hilir. Tiba di rumah sakit, Kang siuman. Ia syok. Tak disangkanya penonton Jakarta sebrutal itu. "Sangat memalukan," kata Syamsul Anwar Harahap, bekas petinju. TIBA-TIBA DIGEBUK DI HARDROCK CAFE Suatu malam beberapa hari setelah lebaran, di Hardrock Cafe, di Gedung Sarinah, Jalan Tamrin, Jakarta Pusat. Masuk Dipo Latief, anak Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief. Ia rupanya sedang libur dari kuliahnya di San Francisco, AS. Tapi, belum lagi ia melangkah masuk ke tempat hiburan, beberapa orang menghadangnya dan langsung main gebuk. Dipo yang sendirian itu tak berdaya. Satpam di situ yang melihat peristiwa ini diam saja. Untung, sorang pengunjung yang cukup berani berhasil meleraikan mereka. "Muka saya bengap," kata Dipo. Ia pun dilarikan temannya ke Rumah Sakit MMC, di kawasan Kuningan. Seminggu ia opname di sana. Mengapa Dipo digebuki? "Saya tak bisa jelaskan dari mana mereka, siapa mereka, dan maunya apa," kata Dipo yang pekan lalu sudah terbang ke AS, setelah dua hari dirawat di rumah sakit di Singapura. Kabarnya, kasus ini sempat ditangani Kodam Jaya, dan diselesaikan secara kekeluargaan. Tapi, bisa jadi juga bergulir di meja hijau. Ini contoh bagaimana jalan keluar main gebuk benar-benar merupakan aksi sepihak, tanpa dipahami korban. Mungkin saja sejumlah orang merasa tersinggung, dan langsung bertindak, tapi sementara itu korban tak paham bahwa ulahnya menyinggung perasaan sejumlah orang lain. Tak ada dialog, tak ada diskusi. Bahasa, yang menurut para arif dan bijaksana menunjukkan bangsa, tak berfungsi di sini. Tak enaknya lagi, bila ternyata aksi itu salah sasaran. SESOSOK MAYAT DI PUL Seorang warga ditemukan tewas di pul Metromini, bus kota berwarna merah jingga angkutan Jakarta, di Jagakarsa, Jakarta Selatan, tiga pekan lalu. Ia tewas dengan retak di kepala, dan tulang leher patah. Segera berita tersebar, warga berkumpul, terbentuklah massa yang langsung beraksi, tanpa tanya ini dan itu. Lima Metromini dirusak, dan sebuah dibakar. Para awak Metromini lari menyelamatkan diri. Kerusuhan ini baru reda setelah 200 polisi dikerahkan. Sekitar 30 kepala keluarga terdiri warga Batak yang menghuni pul di situ diungsikan ke Polres Jakarta Selatan. Maksudnya agar kerusuhan tak berkembang. "Jangan sampai lantas merembet membakari rumah mereka," kata Mayor Basuki Haryono, Wakil Kepala Satuan Reserse Polres Jakarta Selatan. Dari wawancara yang dilakukan para wartawan TEMPO, kasus ini terjadi memang bukan hanya karena ditemukannya mayat. Itu hanya pemicunya. Ada dugaan bahwa hubungan sosial sehari-hari antara warga setempat dengan warga pul Metromini itu memang tak harmonis. Menurut sejumlah warga, mereka suka terganggu oleh deru Metromini yang dipanasi saat pagi buta. Mereka juga terganggu oleh para awak Metromini yang katanya suka mabuk- mabukan. Belum lagi jalan kawasan yang kadang tersita oleh angkutan Jakarta yang diparkir seenaknya itu. Dan tentu saja, peristiwa terceburnya Metromini di Kali Sunter, Jakarta Utara, beberapa hari sebelumnya, yang menyebabkan 33 penumpang tewas, ikut membantu meledakkan perusakan dan pembakaran itu. SOPIR ITU HAMPIR DIBAKAR Di kawasan Kartosuro, di sebelah barat Solo, bus antarkota Trisakti yang sedang melaju cepat menyambar motor Yamaha yang dikendarai pesilat nasional, Anik Indiyani dan Sri Lestari. Peristiwa awal April lalu itu menyebabkan Anik, atlet terbaik tahun 1992 versi IPSI itu, tewas di tempat. Sri luka parah. Pengemudi bus, yang tampaknya mencoba menghindari kecelakaan, membuat kendaraannya nyelonong menghajar warung mi ayam. Lima orang yang berada di situ ikut tersambar dan terluka parah. Tak ampun lagi, massa pun ngamuk. Bus Trisakti dibakar, dan polisi tak bisa mencegahnya. Syukur, polisi masih bisa mencegah keinginan massa untuk membakar sopirnya, yang sudah babak belur hingga tak mampu berjalan. Belakangan ketahuan Sugeng itu bukan sopir asli. Ia cuma kernet, dan tak punya SIM, tapi disuruh membawa bus ke tempat cuci kendaraan. Itu sebabnya bus kosong, tanpa penumpang. Tapi rupanya kernet itu ingin menunjukkan sesuatu kepada istrinya di Sragen, kota di sebelah timur Solo. "Saya akan memamerkan pada istri saya bahwa saya sudah bisa menyetir bus," kata Sugeng, yang masih terkulai di rumah sakit Panti Waluyo, Solo, kepada Kastoyo Ramelan dari TEMPO. BUKAN KORBAN TABRAK LARI Amukan massa yang main hakim sendiri, yang tersulut oleh peristiwa mendadak, tampaknya sering terjadi. Massa mengamuk, seperti di Kartosuro itu, mestinya bukan hanya karena peristiwa mendadak. Kecelakaan lalu lintas oleh berbagai kendaraan besar sering terdengar, dan sering tak jelas -- bagi umum -- hukuman apa yang ditimpakan pada pengemudinya. Mungkin karena itu, massa menyimpan semacam dendam, dan begitu ada kesempatan, meledaklah itu. Tapi hal demikian sudah rutin, hingga tak menarik lagi sebagai berita. Berikut contoh yang agak lain, bagaimana dendam massa terhadap hal yang merugikan meledak suatu ketika. Ini dendam pada pencopet. Suatu hari di akhir Maret lalu, Nyonya Rita, 33 tahun, warga Cipondoh, Tangerang, naik angkutan kota bersama sejumlah penumpang lain. Di tengah perjalanan, tiba-tiba lelaki yang duduk di sebelah Rita menodong dengan pisau. Kalung seberat 20 gram terpaksa pindah menjadi milik lelaki itu. Seisi kendaraan tahu, tapi diam, tak berkutik, takut penodong mata gelap dan menusukkan pisaunya ke korban. Sehabis merampas kalung, penjahat itu turun dengan santai -- tampaknya ini sudah rutin dilakukannya. Ketika itulah, entah terdorong oleh apa, keberanian Nyonya Rita muncul: ia berteriak minta tolong. Seketika itu juga orang-orang yang berada di sekitar itu memburu yang dituding Nyonya Rita. Lelaki itu terkepung, dan ditangkap. Ia menyerah. Bila Anda mengira kemudian lelaki itu diserahkan pada polisi, itu keliru. Lelaki yang kemudian diketahui bernama Mulkad berusia 30 tahun itu tiba-tiba terjengkang. Entah dari mana sebuah bogem mentah melayang dengan keras menimpa wajahnya. Dan kemudian, massa pun memukulinya dengan apa saja. Ketika muncul seorang polisi, pelan-pelan massa yang mengepung Mulkad bubar. Polisi itu bertanya, ada kejadian apa kok pada merubung sesuatu. Seseorang terdengar menjawab santai: "Korban tabrak lari, Pak." Dari tempat Mulkad tergeletak, memang jawaban itu masuk akal. Baru belakangan, setelah diamati dan dibawa ke rumah sakit, Mulkad yang tewas itu adalah korban massa yang main hakim sendiri. HUKUMAN MENGEPEL LANTAI Kebrutalan massa yang tak berkaitan dengan tindak kriminal bisa menakutkan juga. Enam ribu buruh sebuah pabrik di Cakung, Jakarta Timur, melakukan aksi perusakan kendaraan yang berada di sekitar pabrik. Mereka pun melempari kantor pabrik dengan batu, awal Februari lalu. Mereka berbuat begitu karena pengusaha tidak juga mau mematuhi upah minimum yang telah ditetapkan Pemeritah, yang mulai berlaku 1 Januari 1994. Mereka menuntut upah dari Rp 2.850 menjadi Rp 3.800 per hari. "Jika tak kami perjuangkan sekarang, bulan depan akan dibayar seperti sebelumnya," kata seorang buruh. Dan "perjuangan" itu bagi mereka adalah seperti itu: perusakan. Begitu mudahkah mereka naik emosi? Ternyata kemudian memang ada ganjalan yang makin hari makin menumpuk dalam diri para buruh karena sikap pihak perusahaan. Misalnya, di pabrik ini ada hukuman mengepel lantai bagi buruh yang datang terlambat. Itu kan tidak manusiawi. "Itu kejam," kata buruh ini. Akhirnya, setelah ada aksi kemarahan, pengusaha memenuhi tuntutan buruh dengan cepat. Tapi mengapa dialog macet? Mengapa soal hukuman tak dibicarakan? EMOSI MASSA PELAJAR Ada yang sudah klasik. Itulah aksi pelajar yang sedang emosi. Perkelahian antarpelajar secara keroyokan bukan soal baru. Yang terjadi belakangan dan agak jarang dilakukan oleh para pelajar itu, membelokkan emosi mereka ke sasaran yang sebenarnya tak mereka tuju. Ini mereka lakukan karena "musuh" sebenarnya tak ditemukan. Selasa malam pekan lalu, sejumlah remaja berpakaian seragam sekolah naik bus menuju halte Senopati, Jakarta Pusat, tempat yang jadi sumber keributan pelajar sehari sebelumnya. Rupanya, mereka masih tersinggung atas cemoohan yang dilontarkan kemarin. Pelajar ini mau menuntut balas berbekal golok, pisau, dan rantai. Tapi, yang dicari tak ada. Lantaran kecewa, sasaran pun dialihkan. Papan reklame di halte dirusak. Motor yang ada di situ pun tak lagi berwujud. Kios rokok, susu, dan makanan kecil lain pun diobrak-abrik, isinya disikat. Gerobak martabak digulingkan. Pemiliknya tak bisa berkutik. Mereka ngeri menghadapi pelajar yang sedang brutal. Lalu sasaran pun ditingkatkan. Sebuah mobil sedan Toyota Crown yang sedang melaju disetop paksa. Tiba-tiba, braak, kaca mobil itu dipecahkan. Baru setelah puluhan polisi dari Polsek Kebayoran Baru datang, semangat menghancurkan itu bisa disetop. Tiga belas pelajar ditangkap. Memang, data meningkatnya kebrutalan massa belum ada yang mengumpulkan. Di Polda Metro Jaya, data kriminalitas bab perkelahian digabungkan jadi satu. Tapi, menurut beberapa pakar kriminologi, memang terasa kekerasan sebagai cara menyelesaikan masalah meningkat. Dan kata Johannes Sutoyo, Ketua Jurusan Kriminologi Universitas Indonesia, misalnya, kepada Antara, jenis kebrutalan belakangan ini bukan kebrutalan individual, tapi massa. Dan itu, ujarnya lagi, merupakan miniatur dari apa yang terjadi di masyarakat luas. Bila itu semua benar, tampaknya solusinya tak bisa hanya dituntut dari aparat keamanan. Di dalamnya tercampur masalah pendidikan, lapangan kerja, moral, hubungan sosial, dan lain- lain.Widi Yarmanto, Wahyu Muryadi, Rihad Wiranto, Kukuh Karsidi, dan Ricardo Indra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini