TINGGAL di Jakarta atau di kota besar lainnya di Indonesia, kata orang, bagaikan judul sebuah drama Putu Wijaya: dag-dig- dug. Ada saja tindak kejahatan yang siap menghadang. Wajah kekerasan ini membuat prihatin aparat keamanan. Maka, dapat dipahami kalau jajaran Kepolisian Daerah Metro Jaya kian intensif menjalankan berbagai operasi pencegahan. Di antaranya Operasi Curas (Pencurian-Kekerasan) 94, yang tengah digelar di pelbagai pelosok Ibu Kota, pekan-pekan ini. Di Kepolisian Resor Jakarta Timur, misalnya, dalam dua pekan ini sudah puluhan senjata tajam disita dari pemiliknya yang menumpang kendaraan umum. Tindak kekerasan memang dirasa kian memanas. "Perbuatan sporadis mereka sangat mengagetkan kami," ujar Kapolres Jakarta Selatan Letnan Kolonel Adang Rismanto. Dalam pekan pertama di bulan April ini saja, pihaknya sudah menekel puluhan kasus kriminal, di antaranya berupa kekerasan massa. Yang terbaru, ya, 13 pelajar sekolah yang merusak kios, papan reklame, halte, dan sedan di kawasan Senopati, Jakarta Selatan (lihat Kebrutalan: Dari Kebon Nanas sampai Senopati). Dan yang dirasakan sebagai kasus yang dulu tak begitu menjadi perhatian karena jumlahnya adalah kebrutalan massa. Kini, dari polisi sampai sosiolog, dari orang biasa sampai psikolog, bertanya-tanya: mengapa belakangan ini kebrutalan massa seperti meningkat frekuensinya. "Itu akibat rasa frustrasi yang menumpuk," kata Psikolog Djamaludin Ancok. Dan mereka yang merasa frustrasi dalam masalah yang sama ternyata banyak. Sebab, sumber-sumber rasa kecewa itu, kata dosen UGM ini, bersifat umum. Misalnya, banyak orang yang selalu tertekan akibat harus berkompetisi agar dapat mempertahankan hidup. Alasan ini diperkuat oleh Direktur Operasi Markas Besar Kepolisian RI Mayor Jenderal Koesparmono Irsan. "Ada peningkatan depresi sosial. Orang harus berusaha makin keras untuk hidup. Perlu perjuangan, memang. Tapi ini diterjemahkan (sejumlah orang) dalam bentuk kekerasan," kata bekas Kapolda Jawa Timur ini. Ancok juga melihat, kancah pertarungan untuk hidup itu ternyata banyak ditandai ketidakadilan di sana-sini. Di sektor pendidikan, misalnya, frustrasi merebak saat terjadi pertarungan ketat memasuki jenjang pendidikan tinggi. Akibatnya, memang, tak semua orang dapat menikmati jalur pembuka masa depan ini. Belum lagi di pentas politik dan bisnis, yang kerap mempraktekkan "hubungan dekat" sehingga menutup peluang bagi sementara orang, yang kemudian merasa tersisihkan. "Siapa mengira, di tengah situasi ekonomi yang berat ini, kok ada kasus Bapindo," kata psikolog sosial Universitas Indonesia Damona K. Poespawardaja. Skandal di tubuh pemerintahan ini, jelasnya, dapat menyatukan perasaan (kecewa) berbagai orang secara kolektif, yang sangat berpotensi mengundang kebrutalan massa. Dalam pengertian terbatas, tingkah para sopir metromini yang ugal-ugalan juga dapat disebut sebagai "kebrutalan massa". Dan sebab-sebab sopir bus nekat kebut-kebutan itu dapat dimaklumi, setidaknya oleh Ancok. "Mereka bukan cuma mengejar setoran. Tapi, karena mereka hanya punya bus yang bisa dikuasai, benda itulah yang dipakai untuk melepaskan diri dari rasa tertindas," katanya. Akibatnya dapat ditebak. Mereka akan menganggap jalanan sebagai miliknya. "Mereka tahunya hanya bisa jadi sopir," kata Ancok. Dalam konteks psikologi, suasana muram ini disebut Ancok sebagai "penderitaan yang relatif". Yakni adanya perasaan sementara orang yang tak dapat maju, yang tersingkir, karena merasa peluangnya tertutup oleh yang lain. Di sisi lain, masyarakat yang melihat kelaliman sopir bus itu juga tak tinggal diam. Sudah merasa terdesak secara ekonomi, mereka lalu punya perasaan disepelekan oleh si sopir. Maka, muncul kecenderungan menempuh jalan pintas, dan itu adalah menyelesaikannya sendiri dengan main hakim sendiri. Emosi, menurut ilmu psikologi, memang lebih dapat dipuaskan dengan tindakan seketika. Ambil contoh kasus perusakan enam bus metromini oleh massa di Jagakarsa, Jakarta Selatan, Maret lalu. Namun, tindak kekerasan itu dapat juga dilakukan aparat keamanan sebagai salah satu cara melawan kejahatan. Maka, terjadilah ironi: niatnya membasmi kejahatan untuk mencegah massa main hakim sendiri, tapi dari sudut lain itu dapat juga dianggap memberi contoh kepada massa untuk bertindak dengan kekerasan. Sejalan dengan Ancok, Kapolres Adang Rismanto juga melihat kebrutalan berkaitan dengan problem ekonomi. "Kejahatan itu dekat dengan sulitnya ekonomi," kata Adang. Dan jika yang mengalami kesulitan eknomi itu banyak, apalagi mereka kurang lebih merupakan lapisan masyarakat yang sama, terjadinya kasus kebrutalan massa sangat besar kemungkinannya. Repotnya, ada kondisi yang memacu orang untuk rendah toleransinya terhadap orang lain. Ancok menunjuk pemberitaan di media massa, baik cetak maupun elektronik, yang dapat membuat orang makin tak sensitif atas penderitaan sesamanya. Karena masalah itu dibaca berulang-ulang dan tak ada tindak lanjut yang, menurut dia, memuaskan rasa keadilan, "Berita-berita itu membuat mereka tak lagi peka. Toh, orang lain juga melakukan kekerasan yang tadinya ditakuti" -- dan hukumannya kurang setimpal. Yang menyeramkan, bila massa tak lagi pandang bulu. Para pelajar yang mengamuk di Jalan Senopati itu sebenarnya semula tak berangkat dengan niat menggulingkan gerobak pedagang martabak. Tapi karena "musuh" yang dituju tak ditemukan, apa yang mereka lihat dijadikan luapan emosi. "Repotnya lagi, kalau kekerasan itu ditampilkan sebagai gaya hidup, atau sebagai alat sosial untuk unjuk diri," kata Adrianus Meliala, ahli kriminologi dari Universitas Indonesia. Maka, Meliala dengan hati-hati bertanya, jangan-jangan masyarakat tengah memasuki era kekerasan. Dan munculnya sikap kolektif itu bersumber dari banyak hal. Misalnya, di tengah program pengentasan warga miskin, kok, ada skandal korupsi dan kredit macet Bapindo miliaran dolar. "Skandal di tubuh pemerintahan ini jelas mendorong perilaku kolektif," kata Damona, yang juga spesialis perilaku pencegahan kejahatan. Sumber lainnya adalah anggapan bahwa penegak hukum tak ada yang beres. Ini diperkuat dengan munculnya kenyataan bahwa ada pihak tertentu yang kebal hukum. Maka, masyarakat bereaksi secara kurang lebih seragam, yaitu tak percaya pada jaminan aparat keamanan. Maka, hukum pun tak lagi digubris. Dan dalam situasi kacau ini, kata Damona, setiap orang nekat berbuat semau gue, dan bebas menafsirkan aturan main yang sesungguhnya sudah diatur undang-undang. Apalagi faktor-faktor pencetus ke arah kondisi buruk itu, seperti dipaparkan di atas, kian terang saja. Menurut Damona, langkah pencegahan harus dilakukan bersama- sama sebelum hal itu merebak luas, baik oleh Pemerintah maupun masyarakat. Bukan hanya polisi. "Polisi dituntut menjadi psikolog jalanan, hakim, sekaligus teman, mana mungkin?" katanya. Keterbatasan ini juga diakui Adang Rismanto. "Kalau masyarakat sakit begini, siapa dokternya? Kami ini hanya bisa mempersempit ruang gerak mereka," kata Adang. Ia kesal menangani kasus-kasus begini karena, katanya, mereka tak gampang dilenyapkan. "Bagai hilang satu tumbuh seribu," ujarnya. Ia pun memberi resep seloroh, "Mungkin kita perlu minta Iwan Fals menyanyikan lagu kasih antarmanusia." Wahyu Muryadi, Ivan Harris (Jakarta), dan R. Fadjri (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini