Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HIDUP memang penuh kejutan dan sering tak bisa diduga. Demikianlah yang agaknya tengah dialami Pontjo Sutowo. Pengusaha perhotelan ini tak menyangka kedatangannya ke Kejaksaan Agung untuk pertama kalinya, pada 29 Desember 2005, berakhir dengan penetapan dirinya sebagai tersangka korupsi. Ia dituding menilep aset Sekretariat Negara senilai Rp 1,9 triliun. Pontjo menolak tuduhan itu. "Ada semacam character assassination terhadap keluarga saya," katanya.
Kamis pekan lalu, wartawan Tempo L.R. Baskoro dan Maria Hasugian serta fotografer Arif Fadillah mewawancarai Pontjo di kantornya, di sebuah ruangan di kompleks Hotel Hilton. Berikut petikan wawancara itu.
Bagaimana cerita asalmuasal keluarnya hak guna bangunan (HGB) Hilton yang Anda miliki itu?
Kami beroperasi di sini sejak 1971 atas permintaan negara. Gubernur DKI waktu itu, Pak Ali Sadikin, merasa kehadiran industri perhotelan akan membantu. Ayah saya diminta merintisnya. Seingat saya, ayah menghubungi beberapa perusahaan internasional dan ayah usulkan Hilton. Lalu dicari tempat, dan waktu itu sempat diusulkan di Jalan Thamrin.
Tapi tempat yang tersedia akhirnya di sini. Tempat ini, dulu, proyek terbengkalai, lokasinya bernama Lembah Ciragil. Berdasarkan SK gubernur, semua permohonan sejak awal atas nama PT Indobuildco. Setelah berkembang, saya tahu kemudian dari temanteman di Sekretariat Negara, untuk bisa memulai mentrigger pekerjaan, mereka minta payung hukum. Dipilihlah hak pengelolaan lahan pada 1989.
Apa konsekuensinya menurut Anda dengan adanya hak pengelolaan lahan (HPL) itu yang diminta untuk bangunan Hilton ini?
HPL tidak boleh diberikan karena sudah ada HGB. Tapi mereka bilang, setelah HGB habis, lalu pindah jadi HPL. Saya tidak memusingkan soal ini. Ada HPL atau tidak, sama saja. Kami sendiri tahunya ada HPL waktu meminta perpanjangan HGB ke BPN (Badan Pertanahan Nasional).
Ada suara yang mengatakan kepada kami, you jangan buat perpanjangan ke BPN, tapi Setneg. BPN Juga mengisyaratkan kepada kami untuk minta izin ke Setneg. Kami uruslah. Tapi jadi ramai, antara diberi izin dan tidak. Kami berdialog dengan Senayan. Akhirnya berlarutlarut. Lalu saya tanya lagi ke BPN. Pada 2002 terbit perpanjangan HGB. Senayan (pengelola Gelora Bung Karno) marah. Dia bilang, kamu melakukan tindakan tidak baik, melanggar hukum untuk dapatkan HGB.
Apa reaksi ketika itu?
Saya katakan, yang bikin HGB bukan saya. Dia bilang, karena you punya HGB, saya punya HPL, kesempatan saya untuk dapat kontribusi hilang. Itu permasalahannya. Ya, nggak apaapalah kalau begitu. Kami akan mencari mekanisme lain kalau memang Anda merasa hilang kontribusi. Ya, saya sumbanglah begitu.
Tapi rupanya sumbangan itu tidak cukup. Mesti ada semacam pengakuan HPL dari kami. Saya katakan, soal pengakuan HPL atau tidak bukan wewenang saya. Pada 2003 kami dipanggil DPR karena mereka mengadu ke DPR. Sampai dibentuk panitia kerja khusus. Saya terangkan apa adanya. Sampai di situ saya mengira tidak ada masalah lagi. Apalagi, semua kewajiban saya sudah saya penuhi.
Tibatiba pada 2005 akhir ada gonjangganjing. Kami dituduh melanggar hukum. Sejak itu, saya perhatikan betulbetul, ada apa sih. Pak Robert (Robert Y. Lumampouw, Kepala BPN DKI Jakarta saat itu) menulis surat ke Kejaksaan. Jawabannya tidak ada masalah. Sesuai dengan pertemuan dengan DPR, ada juga kesepakatan untuk membangun Senayan. Bagi saya, itu tidak ada masalah.
Kesepakatan itu Anda jalankan?
Supaya sumbangan itu tidak menjadi tak karukaruan, saya tawarkan tertulis. Tibatiba satu sore saya dengar di Metro TV, almarhum ayah saya terlibat mengalihkan aset negara ke swasta. Akhirnya saya dipanggil oleh Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Saya tidak tahu itu atas pengaduan siapa. Awalnya saya dipanggil menjadi saksi, tapi ternyata jadi tersangka. Mungkin ini seperti yang pernah saya dengar dulu. Mereka mau beresberes istana, akhirnya saya yang kena.
Bagaimana perihal korupsi Rp 1,9 triliun yang dituduhkan kepada Anda?
Saya bingung. Saya tidak mengerti kenapa tibatiba tanah itu seolaholah saya bawa lari. Paling, barangkali kami berbeda pendapat dalam menafsir hakhak yang ada. Tapi saya tidak pernah merasa tanah ini saya bawa lari.
Anda tidak rela jika tanah atau Hotel Hilton ini diambil alih dari Anda?
Ini urusan dunia, tidak saya bawa mati. Tapi di sini ada konsekuensi. Ada karyawan, ada hak tanggungan. Bagaimana dengan itu semua?
Anda menjaminkan HGB itu ke bank?
Ya, betul. Pada waktu dulu ayah saya menjaminkan. Waktu saya terima perusahaan ini, tanah ini sudah dijaminkan ke bank. Kondisi riilnya begini. Kenapa tibatiba saya disalahkan untuk satu hal yang sudah terjadi sebelum saya? Kalau soal HGB, saya sebagai pengusaha tidak terlalu pusing.
Apa maksud Anda "tidak terlalu pusing"?
HGB atau HPL tidak masalah. Yang menjadi masalah kalau you bikin syarat yang tidak sesuai. Saya kan tidak bisa bekerja.
Jika demikian, kenapa Anda tidak terima saja status HPL?
Begini, saya mengajukan perpanjangan HGB, terus ada masalah HPL. Lalu perpanjangan HGB saya keluar. Saya tidak mengerti.
Apa yang tidak Anda mengerti?
HPL baru efektif kalau HGB habis. Jadi, tidak mungkin ada HGB ada HPL. Tibatiba Kepala BPN Ronny Kusumo mensyaratkan kami minta izin. Pertanyaan saya, kenapa minta izin, wong HGB belum berakhir. Lalu konsekuensi hukumnya buat saya apa?
Tiba-tiba saya dianggap merampas karena tidak ada HPL. Terus kami disuruh meminta rekomendasi ke Setneg, tapi lalu tidak dikasih. Rekomendasi sudah diteken, tapi tidak diberikan ke BPN. Kami punya bukti karena kami dapat tembusan. Kalau begini, bagaimana BPN mengeluarkan HPL kalau dasar hukumnya tidak ada? Apa yang diributkan hari ini sebetulnya adalah soal izin itu antara ada dan tiada. Tapi buat saya tidak ada masalah. Dibawa ke pengadilan pun saya tidak khawatir
Apa yang Anda harapkan dari kasus ini?
Kami mencari pihak pemutus yang adil. Tapi, bukan saya sebagai penjahat. Jangan karena you dengan saya berbeda pendapat, you, negara, melawan saya, lalu Anda bilang saya penjahat. Enak betul, masa saya disebut penjahat.
Bisa jadi ada kekhawatiran, kalau tetap HGB, Anda akan mengubahnya menjadi milik keluarga Pontjo.
HGB itu tanah negara, jadi ada mekanisme tentang yang dimiliki itu apa. Tetapi, karena ada persepsi HPL itu hak milik, itulah yang membuat perbedaan persepsi. HPL mengatur soal peruntukan, bukan kepemilikan. Dan di atas tanah ini sudah berdiri hotel. Nah, apakah hotel ini mengganggu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo