Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ENAM bulan sejak penyidikan kasus korupsi lahan Gelora Bung Karno dimulai, Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah menyebut empat nama sebagai tersangka. Pekan lalu, mereka mulai menjalani pemeriksaan di Gedung Bundar Kejaksaan Agung.
Keempat tersangka itu adalah Ketua Badan Pertanahan Nasional Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Robert Lumampouw, bekas Kepala Badan Pertanahan Nasional Ronny Kusumo, Direktur Utama PT Indobuildco Pontjo Sutowo, dan bekas pengacara Pontjo dan sekarang Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi.
Sebelum mereka ditetapkan sebagai tersangka, sejumlah saksi telah dipanggil aparat. Di antaranya mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, mantan Menteri Sekretaris Negara Muladi, mantan Sekretaris Negara Ali Rahman, mantan Wakil Ketua Badan Pengelola Gelora Senayan Mahadi Sinambela, dan mantan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sony Harsono.
Kejaksaan Agung pada 3 Februari 2006 seperti berupaya menjawab pertanyaan orang ramai, yang telanjur santer terdengar, tentang tidak munculnya nama pejabat Sekretariat Negara sebagai tersangka. ”Yang menjadi tersangka itu mereka yang melakukan kesalahan,” kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Hendarman Supandji, kepada Titis Setianingtyas dari Tempo, Kamis pekan lalu.
Menurut Hendarman, pejabat di Sekretariat Negara memang penanggung jawab atas pengawasan aset Gelora Bung Karno itu. Tapi, dalam kasus ini, peran mereka sebagai pemilik yang tidak punya dosa. ”Lha, dia yang memiliki kok mau dijadikan tersangka,” ujarnya.
Benarkah demikian? Tampaknya perlu menyimak asalmuasal kasus ini. Dimulai saat Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin meminta Ibnu Sutowo (Direktur Utama Pertamina) mendirikan hotel karena akan diselenggarakan PATA. Saat itu tahun 1971. Setelah itu, terbitlah surat izin menggunakan tanah atas nama PT Indobuildco. Izin itu berlaku 30 tahun lamanya.
Dua tahun kemudian, yakni 1973, izin menggunakan tanah itu diubah sepihak oleh PT Indobuildco menjadi hak guna bangunan (HGB). Badan Pertanahan Nasional DKI Jakarta pun mengeluarkan HGB nomor 26 dan 27/Gelora dengan luas tanah 140.786 meter persegi sebelum dipotong untuk jalan tol.
Lalu, tanpa seizin Menteri Sekretaris Negara, PT Indobuildco meminta perpanjangan HGB. Entah bagaimana caranya, perpanjangan itu bisa dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional DKI Jakarta tanpa ada izin Menteri Sekretaris Negara.
Menurut sumber Tempo, kesalahan fatal pemerintah dalam kasus ini bermula dari pemberian izin menggunakan lahan ke perusahaan swasta. Kesalahan kedua adalah keluarnya HGB dan berlanjut dengan pemberian perpanjangan HGB.
Saling bantah pun berlangsung antara Muladi dan Ali Rahman soal lolosnya perpanjangan HGB itu. Menurut Muladi, surat perpanjangan HGB atas nama PT Indobuildco memang sempat diparaf, tapi kemudian diblokir karena masih harus diteliti dan dikaji secara hukum. Selanjutnya, soal tindak lanjut dari surat itu ada di tangan Ali Rahman.
Ali mengaku tidak mengirim surat yang diblokir itu ke Badan Pertanahan Nasional Jakarta Pusat. Dia malah balik bertanya kenapa perpanjangan HGB bisa terjadi. Adanya sesuatu di balik kasus ini semakin terang dari penjelasan Pontjo. Putra sulung almarhum Ibnu Sutowo ini mengaku memang mengajukan perpanjangan HGB. ”Perpanjangan ini juga atas permintaan bank,” ujarnya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Saat Pontjo mengurus perpanjangan itu, Robert sempat menuding Pontjo melanggar hukum karena tidak ada izin dari Sekretariat Negara. Namun, entah bagaimana, Pontjo akhirnya mendapat sertifikat perpanjangan HGB untuk 20 tahun lamanya.
Menurut Robert, izin Sekretariat Negara perlu karena tanah itu sudah berstatus hak pengelolaan lahan (HPL) yang dikuasai oleh Sekretariat Negara. Tapi perpanjangan HGB itu keluar juga. ”Waktu itu Pak Robert saya kira juga menulis surat ke Kejaksaan,” ujarnya. Jawaban Kejaksaan waktu itu: tidak ada masalah (lihat wawancara Tempo dengan Pontjo Sutowo).
Tapi, usai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka, Kamis pekan lalu, di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Robert melalui pengacaranya Andi F. Simangunsong justru berbicara lain. Dia mengatakan perpanjangan dua sertifikat HGB itu tidak ada masalah. ”Sesuai dengan prosedur yang berlaku,” ujarnya. ”Setelah meneliti semua peraturan perundangan, semuanya menyatakan dapat diperpanjang.”
Apakah prosedur perpanjangan HGB ini mulus karena fulus yang diberikan pihak PT Indobuildco? Hotma Sitompoel, pengacara Robert yang lain, langsung membantahnya. ”Tidak ada suap.” Pontjo pun setali tiga uang.
Menurut Adnan Topan Husodo dari Indonesia Corruption Watch, memang ada keanehan dalam penetapan tersangka di kasus ini. ”Pihak pemilik tanah, dalam hal ini Sekretariat Negara, tidak steril dalam kasus ini,” ujarnya kepada Tempo.
Penggunaan aset negara oleh publik mestinya mendapat kontrol dari Sekretariat Negara. Artinya, kata Adnan, pejabat di Sekretariat Negara memiliki kontribusi terhadap lahirnya perpanjangan dua sertifikat HGB yang berujung pada korupsi. ”Logika Kejaksaan tidak masuk akal,” ujarnya.
Suara juga datang dari pengacara tersangka Ali Mazi, R. Bonaran Situmeang. Menurut dia, Kejaksaan Agung pernah mengeluarkan surat yang ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan DKI Jakarta. Surat yang bertarikh 21 April 2005 itu menyebutkan, tidak ditemukan indikasi tindak pidana korupsi dalam proses perpanjangan dua sertifikat HGB atas nama PT Indobuildco.
Perihal surat Kejaksaan Agung tersebut, Hendarman merasa tidak pernah mengetahuinya. Dia hanya tahu penyelidikan kasus ini pernah dihentikan. ”Karena tidak cukup bukti,” ujarnya. Namun, kemudian pemeriksaan terhadap kasus ini dibuka lagi dengan tanda tanya mau ke mana sebetulnya penyidikan ini dibawa.
Maria Hasugian/Nur Aini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo