Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPANJANG siang hingga malam pada Kamis pekan lalu, telepon genggam Pemimpin Redaksi Tempo—majalah yang Anda pegang ini—Bambang Harymurti, tak hentihentinya berdering. Sekitar 150 panggilan dan layanan pesan pendek (SMS) telah masuk. Isinya hampir seragam, memberikan ucapan selamat atas turunnya vonis Mahkamah Agung yang membebaskan Harymurti dari hukuman satu tahun penjara. ”Saya sendiri baru tahu vonis itu saat ditelepon wartawan untuk dimintai komentar,” ujar dia.
Pagi itu, majelis hakim yang beranggotakan Bagir Manan (ketua majelis), Djoko Sarwoko dan Harifin A. Tumpa, menggelar sidang kasus Tempo. Hasilnya, kata Djoko, ”Majelis memutuskan untuk mengadili sendiri dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta dan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.” Majelis berpendapat, dakwaan penuntut umum tidak terbukti, membebaskan terdakwa dari segala tuntutan, dan memulihkan hak dan martabat terdakwa.
BHM, demikian Harymurti biasa disapa rekanrekannya, diadili karena gugatan pencemaran nama baik yang diajukan pemilik Artha Graha, Tomy Winata, atas artikel ”Ada Tomy di Tenabang?”. Berita itu dimuat Tempo edisi 39 Maret 2003. Selain BHM, wartawan Tempo Iskandar Ali dan Ahmad Taufik turut digugat. Ketiganya dijerat dengan Pasal 14 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana karena menyiarkan berita bohong dan menimbulkan keonaran di tengah rakyat, serta pasal 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik.
Pada 16 September 2004, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis satu tahun penjara kepada BHM. Adapun Iskandar Ali dan Ahmad Taufik dinyatakan bersalah, tapi dibebaskan dari hukuman. Iskandar dan Taufik mengajukan kasasi atas putusan ini dan Bambang mengajukan banding. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, 14 April 2005, memperkuat vonis pengadilan negeri.
BHM sendiri menyatakan lega dengan vonis Mahkamah Agung itu. Apalagi, katanya, Mahkamah menyatakan mengadili sendiri kasus ini dan tak mendasarkan pada putusan pengadilan di bawahnya. Menurut BHM, yang tak kalah penting adalah dasar pertimbangan majelis hakim yang menggunakan UndangUndang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. ”Ini menggembirakan. Sebab, MA mengakui UU Pers lex specialis, sehingga setiap kasus yang berkaitan dengan pemberitaan seharusnya diselesaikan dengan melihat kepentingan berjalannya fungsi pers dalam masyarakat,” katanya.
Meski belum mengetahui detail pertimbangan hakim, Trimoelja D. Soerjadi, pengacara Bambang, menyebut putusan itu memberikan angin segar bagi para wartawan dalam menjalankan profesinya. Karena itu, katanya, aparat penegak hukum seharusnya menggunakan UU Pers jika menerima pengaduan yang berhubungan dengan media. ”Terutama jika wartawan telah bekerja sesuai dengan Kode Etik. Kalau wartawan memeras, itu soal lain,” kata penerima Yap Thiam Hien Award 1994 ini.
Mahkamah Agung memang menjadikan UU Pers sebagai pertimbangan untuk memvonis kasus ini. Meski diakui UU Pers tidak mengatur ketentuan pidana, sebagai pilar demokrasi keempat, kata Djoko Sarwoko, pers wajib mendapatkan perlindungan. ”Sejauh wartawan sudah melakukan tugasnya sesuai dengan etika jurnalistik,” katanya. Menurut Djoko, UU Pers bertujuan menjaga keseimbangan antara hak asasi manusia dan informasi yang dibutuhkan publik, serta adanya perlindungan atas pers.
Dewan Pers menyambut gembira putusan ini. Menurut Ketua Dewan Pers Ichlasul Amal, pihaknya sudah beberapa kali bertemu Bagir Manan, meminta hakim menggunakan UU Pers dalam mengadili sengketa pemberitaan. Pengajar di Universitas Gadjah Mada ini berharap putusan MA ini menjadi yurisprudensi.
Kabar ini juga sudah sampai ke pihak pengusaha Tomy Winata, yang kini sedang di luar negeri. ”Dia tertawa saja. Kalau itu putusannya, ya kita terima,” kata Desmon J. Mahesa, pengacara Tomy Winata. Menurut Desmon, untuk kasus ini, pihaknya menyerahkan semuanya kepada kejaksaan. ”Setelah kita melapor polisi, itu bukan urusan kita lagi. Terserah kejaksaan, mau mengajukan peninjauan kembali (PK) atau tidak,” ujarnya.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Heru Hendratmoko menilai vonis itu bagaikan kado istimewa bagi komunitas pers. Sebab, vonis itu keluar bersamaan dengan peringatan Hari Pers Nasional, 9 Februari, meski majelis hakim menyatakan tak punya rencana seperti itu. ”Kami sendiri tidak tahu kalau hari itu Hari Pers Nasional,” kata Djoko Sarwoko.
Abdul Manan, Thoso Priharnowo, Fanny Febiana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo