SUASANA Terminal Bis Pulogadung, Jakarta, masih Sepi. Ketika itu sekitar -pukul 06.00, Selasa pekan lalu. Yonathan Simamora, 28 tahun, dan Tagor Sibagariang, 19 tahun, menjajakan jasanya selaku calo di situ pada seorang lelaki - yang baru turun dari bis luar kota. Si lelaki, yang akan menuju jurusan Cikini, diantarkannya ke President Taxi. Baru saja sopir taksi merogoh kantung untuk memberikan uang persenan kepada kedua calo tadi, mendadak dua orang lelaki berbadan tegap menghardik dari arah belakang. "Jangan bergerak, ayo ikut," kata salah seorang lelaki itu, sambil mengalungkan celurit ke leher Yonathan. Lelaki yang lainnya menodongkan sepucuk pistol ke pelipis Tagor. Tentu saja Yonathan dan Tagor heran campur takut. "Ada apa, Pak?" tanya Yonathan, ayah seorang anak. Pertanyaan mereka tak dihiraukan lagi. Keduanya dipaksa ikut ke Kantor Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (LLAJR) di terminal itu. Sementara itu, President Taxi, yang membawa penumpang tadi, telah meluncur pergi. Tiba di kantor LLAJR, enam orang lelaki lainnya - juga berbadan tegap - sudah menunggu. Tanpa tanya lagi, mereka langsung memukuli Yonathan dan Tagor. Bertubi-tubi pukulan mendarat ke sekujur tubuh mereka yang kecil itu. Kendati keduanya mengaduh dan berteriak ampun, kedelapan lelaki tegap itu terus menghajarnya. Yonathan dan Tagor lalu dibawa ke bagian belakang kantor tersebut. Pakaian mereka dilucuti. Balok, double stick, pisau, celurit, tongkat karet, dan sandal karet bergantian - hinggah ke badan mereka. Lapat-lapat Yonathan mendengar para lelaki yang menganiayanya itu mengaku sebagai petugas dari sebuah instansi keamanan. Sebuah balok mendarat keras di lutut Yonathan. Ia jatuh pingsan. Pagi itu hujan turun deras. Yonathan dan Tagor digeletakkan di lantai, dengan bangku panjang melintang di atas leher. Air hujan menyiram tubuh mereka yang kian lemah. Bersamaan dengan itu, seorang lelaki lain, Hamzah Siahaan, 25 tahun, juga digebuki. Ketika hujan mulai mereda, rambut mereka dipangkas tak keruan bentuknya. Tinggal dua lelaki tegap saja yang melanjutkan penganiayaan. Salah seorang dari mereka, dengan menggenggam gunting berukuran sedang warna putih, mendekati Yonathan. Yonathan menjerit keras. Sepotong daging lepas, darah bercucuran, dari telinga kanan Yonathan. Telinga Tagor dan Hamzah juga tak luput dari pemotongan. "Kalau kalian sayang nyawa, jangan kembali ke tempat ini," kata si lelaki pemotong telinga itu. "Sudah sepuluh kuping saya potong, tahu," sambung'si lelaki, di antara erangan kesakitan ketiga korban itu. Yonathan sempat melihat lelaki tadi membuka kertas yang berisi sepuluh potongan telinga. Malah si lelaki itu mengatakan, akan memotong seratus kuping calo. Dan, masyaallah, darah yang mengucur dari telinga mereka ditampung ke dalam gelas. Belum lagi pupus rasa ketakutan tiga pesakitan itu, tiba-tiba terdengar suara keras. Dor. Sepucuk pistol meletup. Jari tengah tangan kanan Hamzah ditembus peluru. Sekitar pukul 14.00, hari itu juga, Yonathan dan Tagor digiring ke pos polisi diterminal itu, untuk kemudian dibawa ke Polsek Pulogadung. Sementara itu, Hamzah dirawat di Rumah Sakit Polri Kramat Jati. Malam harinya, Yonathan dan Tagor mendekam di sel tahanan Polsek, sampai mereka diperiksa keesokan harinya. Siangnya mereka mengadu ke LBH Jakarta. Baik Yonathan maupun Tagor sama sekali tak tahu kesalahannya hingga digebuki dan dipotong telinganya. "Saya nyambi jadi calo untuh cari uang tambahan," ucap Yonathan, yang mengaku pernah kuliah sampai tingkat III di FH Universitas Pembahgunan Nasional Jakarta. Sehari-harinya, ia bersama Tagor membawa Mikrolet. Tapi karena kena tilang, mereka berusaha cari uang tebusannya. Dan, menurut Yonathan, baru pertama kali itulah mereka beroperasi menjadi calo di terminal Pulogadung. Djoni Irawan dari LBH Jakarta, yang menerima pengaduan mereka, menganggap tindakan para lelaki berbadan tegap itu sudah keterlaluan. "Benar-benar tidak manusiawi, biadab," ujar Djoni, yang mengadukan persoalan itu ke Skogar. "Mereka ditangkap dan dianiaya dengan hukum rimba," sambung Djoni. "Para petugas yang menganiaya itu menginjak-injak KUHAP seenaknya." Kepala Terminal Bis Pulogadung, Abdul Halim, membenarkan instansinya sejak tahun lalu meminta bantuan Laksus untuk menertibkan para calo. "Anda 'kan tahu bagaimana kesan masyarakat terhadap terminal ini? Dari dulu nggak pernah tertib. Tempat ini nerakanya Jakarta," ucap Halim dengan suara keras. Menurut Halim, instansinya tak pernah menutup kesempatan buat mereka itu untuk mencari nafkah di terminal. Tapi kalau melihat kenyataannya, sikap dan ulah para calo itu tak lagi bisa ditoleransi. Nah, "Terserah pada mereka, mau tertib atau tidak," kata Halim tandas. Tapi mengapa sampai hukum potong telinga yang diterapkan - yang menurut banyak orang di terminal itu tak pernah terjadi sebelumnya. "Wah, soal itu tanyakan saja pada Laksus," ujar Halim, yang mengatakan persoalan itu bukan lagi masalah kecil. Pernyataan Abdul Halim tentang "rusak"-nya keadaan terminal Pulogadung memang tidak mengada-ada. Sudah lama kebuasan para calo Pulogadung itu menjadi keluhan penumpang biskota maupun luar kota. Berkali-kali dilakukan usaha penertiban oleh petugas keamanan, rupanya selama ini dianggap tak pernah berhasil. Nah, soalnya kini siapakah yang melakukan "gerakan potong kuping" itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini