DIA hanya seorang pelacur kelas bawah -- kelas pinggir jalan -- yang beroperasi di gubuk-gubuk liar di pinggir rel kereta api, Jalan Laut, dekat markas Bata Iyon Zeni Tempur Pasuruan. Tapi ketik. Chotimah mati akhir bulan lalu, ribuan orang, termasuk rekan-rekannya sesama pelacur, dengan wajah duka mengantarnya ke permakaman. Semasa hidupnya, Chotimah, 31 tahun berwajah bundar, memang menjadi kembang di kawasan pelacuran rel kereta itu. Wanita kelahiran Sampang, Madura, itu juga akrab dengan rekan-rekannya sesama pelacur. Selain itu, Chotimah - karena beroperasi di dekat sebuah asrama - juga berhubungan intim dengan seorang oknum anggota asrama, sebut saja Prajurit Satu (Pratu.) Robert. Kendati sudah mempunyai istri, toh Robert sempat berjanji akan mengawini Chotimah. Tapi anehnya, Robert juga "mengaryakan" wanita itu. Setiap malam, Chotimah diharuskan mencari lelaki iseng, dan hasilnya disetorkan kepadanya. Kalau suatu hari Chotimah absen, misalnya, Robert menjemputnya dari rumah dan memaksanya berpraktek. Bila transaksi sedang berlangsung, Robert pula yang bertindak sebagai centeng. Begitulah Selasa sore, 26 Januari lalu, Chotimah kelihatan ceria, dengan gaun merah yang baru saja diambilnya dari penjahit, dia siap menggaet langganannya. Masih sore ia sudah dapat tamu. Tapi begitu selesai berkencan, Robert menghampirinya. Pria bertubuh kecil itu, dengan mulut bau alkohol, menanyainya. "Kau melayani temanku ya ?" katanya. Wanita berkulit kuning, bersih, dan padat itu menjawab manja, "Ndak." Tapi jawaban itu disambut Robert dengan tamparan. Lalu tinjunya menyusul, sehingga Chotimah terjerambab. Wanita itu pun pingsan. Robert, disaksikan orang banyak, membopong tubuh tak berdaya itu. Sekitar dua puluh meter dari tempat tadi, ia membaringkan wanita tersebut di tanah. Kemudian, entah setan apa yang membisikinya, tubuh Chotimah disiramnya dengan minyak tanah. Lalu Robert menyalakan korek. Dan, wusssh .... Api membakar tubuh montok itu, dari kaki, perut, hingga dada. Teriakan Chotimah tak menolong nasibnya. "Saya tak bisa berbuat apa-apa, kecuali menangis karena tak tega," kata Sulastri, teman seprofesinya. Mbok Sukisnah, tetangganya yang lain, sempat menyiramkan air ke Chotimah yang berguling-guling di tanah. Usaha itu dibantu pula oleh seorang hansip di situ. Robert, kata saksi mata, belakangan ikut menyiramkan air ke tubuh Chotimah. Api memang bisa dipadamkan, tapi kondisi Chotimah gawat. Seluruh kulitnya mulai dari payudara ke bawah, hingga ujung kaki, menghitam. Robert, yang tangannya ikut terjilat api, mengangkut tubuh itu ke RSUD Pasuruan. Panjar rumah sakit Rp 55 ribu dibayarnya. Ia bahkan berjanji akan menanggung seluruh biaya perawatan. Tapi semuanya itu tidak menolong. Lukaluka bakar yang diderita Chotimah sangat parah. Bukan hanya kulit luarnya yang terbakar, tapi, kata seorang perawat di rumah sakit itu, juga ususnya. "Ketika kencing, yang keluar hanya darah dan nanah," cerita Sunarsih, tetangganya. Setelah empat hari dirawat, Chotimah meninggal. Berakhir pulalah balada pelacur pinggir Jalan itu. Chotimah, yang sejak umur 10 tahun menjadi yatim piatu, meninggalkan seorang anak berusia 12 tahun hasil perkawinannya dengan M. Tohir, yang menikahinya ketika berusia 19 tahun. Tapi persoalannya ternyata belum selesai. Robert menghilang dari kawasan itu sejak mendiang dikubur. Sementara itu, pihak Polres Pasuruan, yang semula mengusut kasus itu, belakangan menghentikan penyidikannya. Sebab, kata sebuah sumber di situ, yang berwenang menyidik oknum itu adalah Pom ABRI. Pihak Yon Kipur, kata Mbah Sumiati, nenek angkat Mendiang, memang ada memberi uang duka, dengan pesan pihak keluarga tak membesarkan masalah. Tapi M. Tohir, bekas suami Chotimah yang menceraikan Almarhumah 5 tahun lalu berniat mencari keadilan. "Lha, wong kambing mati saja bisa dituntut, apalagi ini manusia?" kata M. Tohir, yang sehari-harinya nelayan. "Dia itu sebetulnya baik. Saya sangat prihatin atas kemalangannya," kata Tohir, yang masih menyimpan foto Chotimah di dompetnya. Widi Yarmanto & M. Baharun
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini