Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Kriminal

Psikolog dan Pengamat Pendidikan Bicara Soal Maraknya Kasus Bullying di Sekolah-sekolah Elite

Kasus bullying dan kekerasan semakin marak terjadi di sekolah-sekolah elite.

16 September 2024 | 16.25 WIB

Ilustrasi perisakan/bullying. Shutterstock
Perbesar
Ilustrasi perisakan/bullying. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Kasus bullying semakin marak terjadi di dunia pendidikan Indonesia saat ini. Beberapa kali sekolah-sekolah elit kebobolan hingga murid-muridnya terlibat kasus kekerasan dan perundungan. Contohnya SMA Binus Serpong, SMA Binus Simprug, dan SMA Kebangsaan Lampung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Dalam laporan Tempo sebelumnya, pada bulan Februari lalu publik diramaikan dengan kasus bullying di SMA Binus Serpong. Salah satu terduga pelaku disebut memukul, menyudut dengan rokok, dan membakar tangan korban menggunakan korek api. Kemudian ada pula yang memukul, menjambak, serta mengancam akan membunuh dan melecehkan adik korban.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak lama setelah itu, muncul kembali laporan dugaan Bullying di SMA Binus Simprug. Korban mengaku sudah dirundung dari pertama masuk ke sekolah, hingga puncaknya ia dipukuli dan dilecehkan di toilet sekolah oleh beberapa temannya pada 30  dan 31 Januari 2024.

Hingga laporan minggu ini, kasus dugaan pengeroyokan di SMA Kebangsaan Lampung. Sekolah milik Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan ini telah mengakui adanya siswa mereka yang dikeroyok oleh empat kakak kelasnya di kamar mandi pada malam hari.

Melihat fenomena ini, Psikolog anak sekaligus praktisi psikologi Universitas Indonesia Mira Amir menyatakan bahwa tindak perundungan dan kekerasan yang dilakukan anak di sekolah disebabkan karena kurangnya rasa empati dalam dirinya.

“Bahwa anak-anak itu tumbuh dalam keluarga yang saya bilang ekstrim ya, gagal menumbuhkan empati kepada anak-anaknya” tutur Amira pada Senin, 16 September 2024.

Menurutnya, pengaruh sekolah dan pemerintah hanya sebagian kecil dalam mencegah ini, orang tualah yang paling signifikan. 

“Perkembangan emosi, khususnya empati itu terbentuknya kisaran 3-4 tahun. saat itu anak dimana? dirumah, kan. Kuncinya di orang tua, bukan sekolahan” jelasnya.

Sementara itu, Pengamat pendidikan sekaligus Ketua Yayasan Guru Belajar (YGB) Bukik Setiawan mengatakan hal ini tidak lepas dari pengaruh realitas masyarakat. 

“Bila di dunia masyarakat yang berlaku adalah kekuasaan, bukan kepastian hukum, maka dalam sekolah (anak-anak) juga berpotensi menggunakan kekuasaan untuk menyelesaikan masalah” ungkap Bukik pada Senin, 16 September 2024.

Menurutnya, salah satu hal yang harus dilakukan sekolah dan pemerintah untuk menghilangkan budaya bullying ini adalah dengan mengurangi mengejar capaian prestasi yang sifatnya individual. Upaya tersebut akan membuat kerenggangan dalam sistem sosial di kelas dan sekolah.

“Semakin renggang, semakin mungkin lahir ‘gank’, semakin mungkin terjadi kekerasan” ucapnya pada Tempo melalui aplikasi perpesanan.

 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus