Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Banyuwangi - Pihak PT Perkebunan dan Dagang Bumisari Maju Sukses menjawab tudingan intimidasi yang dilakukannya terhadap petani anggota Rukun Tani Sumberejo Pakel (RTSP), Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Administratur PT Perkebunan dan Dagang Bumisari Maju Sukses, Sudjarwo Adji, juga membeberkan sikap perusahaan terkait keberadaan kegiatan petani yang diklaimnya sebagai lahan milik perusahaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Menurut pendapat saya dia (petani) melakukan hal yang ilegal dan melanggar hukum karena dengan cara paksa menduduki dan merampas lahan yang sudah berkedudukan hukum yang sah secara aturan negara dan perundang undangan di republik ini," kata Sudjarwo melalui pesan WhatsApp saat dikonfirmasi TEMPO terkait keberadaan petani yang menggarap lahan yang diklaim milik perusahaan.
Soal cerita serangan dan intimidasi yang diduga dilakukan oleh pihak perkebunan Bumisari, Sudjarwo mengatakan bahwa semua (cerita) itu merupakan pendapat petani. "Berindikasi untuk mencari sensasi. Kalau memang ada pengerusakan, menebang, pemukulan, intimidasi dan lain-lain kenapa tidak dilaporkan ke pihak berwajib," ujar Sudjarwo.
Soal pengerahan massa dari perusahaan yang bejumlah kurang lebih 300 orang itu juga dibantah oleh Sudjarwo. "Yang mengerahkan siapa. Gak ada pengerahan. Karyawan mau bekerja di areal perkebunan, bukan di areal petani," ujar dia
Dia mengatakan seharusnya para petani yang merasa diintimdasi melapor jika perusahannya dianggap menyerobot tanah para petani. “Dengan dasar dan bukti yang kuat melalui pengadilan," kata Sudjarwo.
Dia meminta para petani jangan mau dimanfaatkan oleh orang lain yang memiliki motif tertentu. Ia mengklaim perusahannya akan legowo jika para petani melaporkan dugaan penyerobotan lahan dan nantinya dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
"Jangan main putusan dengan logika tak berdasar, akhirnya akan terjadi permasalahan yang secara berkepanjangan dan mudah dimanfaatkan oleh orang yang berkepentingan. Silakan gugat kami, silahkan laporkan kami, supaya kita tahu mana yang benar mana yang salah,"katanya.
Sudjarwo mengatakan pihaknya terbuka jika para petani berkenan mau ketemu. "Kalau memang berkenan monggo kita ketemu," katanya.
Pemuda Pakel, Alvina Damayanti Setyaningrum, mengatakan ada rencana untuk melaporkan kepada kepolisian ihwal dugaan pemukulan terhadap petani yang diduga dilakukan pihak perkebunan. "Berkaca pada kasus-kasus sebelumnya. Kami sudah pernah melaporkan, tapi tidak ada tindak lanjut dari aparat tapi kalau pihak perkebunan yang melapor langsung ditindaklanjuti.
Riwayat Konflik Agraria di Desa Pakel
Direktur Wahana Lingkungan Hidup atau Walhi Jawa Timur, Wahyu Eka Setyawan, mengatakan peristiwa kekerasan pada petani di Pakel baru-baru ini bukanlah pertama kali. Walhi Jawa Timur mencatat sudah ada puluhan dugaan intimidasi dan kriminalisasi oleh PT Bumisari terhadap warga buntut konflik agraria perusahaan dengan petani. “Kasus ini bagian utuh dari konflik agraria di Desa Pakel,” kata Wahyu saat dihubungi pada Senin, 11 Maret 2024.
Sejak 2018, warga Desa Pakel bersengketa dengan PT Perkebunan dan Dagang Bumisari Maju Sukses. Warga desa merasa lahan mereka diambil secara sepihak oleh pihak perusahaan sehingga menimbulkan konflik lahan hingga sekarang.
Sebelum dugaan penganiayaan ini terjadi, Wahyu menuding sejak dulu PT Bumisari kerap meneror warga. Walhi mencatat ada 11 orang yang dilaporkan oleh PT Bumisari kepada pihak berwajib. “Dua di antaranya dijadikan tersangka,” kata dia.
Wahyu mengatakan pada 2023 kemarin ada tiga petani Pakel yang dikriminalisasi. Kasus kriminalisasi ini bermula ketika polisi menangkap tiga petani Desa Pakel, yakni Mulyadi, Suwarno, dan Untung, pada 3 Februari 2023.
Polisi lantas membawa paksa ketiganya ke Kepolisian Daerah Jawa Timur atas tuduhan penyiaran berita bohong yang dapat menyebabkan keonaran di kalangan masyarakat. “Bagian dari upaya kebun untuk mengusik perjuangan warga, menakut-nakuti agar mereka berhenti,” kata Wahyu.
Menurut Wahyu, sebenarnya petani Pakel itu memperjuangkan hak atas tanah mereka yang diserobot PT Bumisari. Dalam sengketa ini, menurut Wahyu ada ketimpangan penguasaan lahan karena Badan Pertanahan Negara atau BPN Banyuwangi menerbitkan HGU yang menyerobot lahan petani.
“Tapi pemberi izin HGU tidak pernah melihat faktor ketimpangan penguasaan lahan dan sosial, tertutup, dan tidak partisipatif,” kata Wahyu.
Padahal, kata dia, tugas negara harus memastikan ketimpangan tersebut memihak kepada petani atau warga, bukan pada korporasi. “Sesuai mandat UUPA 60 dan UUD NRI 2945,” kata dia.
Konflik Agraria di Desa Pakel itu memiliki sejarah yang panjang. Dimulai pada masa kolonial Belanda, sekitar 1925. Ketika itu tujuh warga mendapat izin membuka lahan seluar 3.200 hektar dari Bupati Banyuwangi, Noto Hadi Suryo.
Adapun bentuk izin dituangkan dalam Akta 1929. Pada 1965, warga sempat meninggalkan lahan karena meletus peristiwa pemberontakan PKI. Pada tahun yang sama, PT Bumisari Maju Sukses datang dan mengklaim lahan di Desa Pakel itu.
Kementerian Dalam Negeri pada Desember 1985 menerbitkan surat keputusan bernomor 35/HGU/DA/85 dengan keterangan PT Bumisari mengantongi hak guna usaha atau HGU 11.898.100 meter persegi yang terbagi atas dua sertifikat, yaitu Sertifikat HGU Nomor 1 di wilayah Kluncing dan Nomor 8 di Songgon.
Tidak ada HGU yang berlokasi di Desa Pakel. Keputusan ini diperkuat dengan surat Badan Pertanahan Nasional Banyuwangi Nomor 280/600.1.35.10/11/2018 yang menyatakan Desa Pakel tidak masuk dalam HGU PT Bumisari.
Warga merasa sebagai pemilik sah dari lahan tersebut menggunakan Surat Izin Membuka Lahan yang dikeluarkan pada tahun 1929 yang disahkan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Dalam dokumen lawas tersebut, leluhur warga Desa Pakel diberi izin mengelola lahan seluas 4000 bau. “Perusahaan tidak memiliki HGU dan menyerobot lahan warga,” kata Alvina.
Sebelum terjadi pengeroyokan pada Ahad malam, Alvina bercerita sejak siang telah terjadi adu tegang antara warga dengan pihak perusahaan. Alvina menyebut perusahaan melalui orang diduga preman, bekas tentara, dan beberapa sekuriti menebangi pohon dan tanaman siap panen milik warga. “Lumayan banyak jumlahnya,” kata dia.