JAKARTA semakin tak aman. Kejahatan mengancam penduduk di mana saja, dan kapan saja. Bahkan, penjahat kini tak segan-segan beraksi di tengah khalayak ramai dan di siang hari bolong. Korbannya tak cuma perorangan, tapi juga orang banyak, seperti halnya pembajakan bis pada Minggu dua pekan lalu. Baru pertama kali inilah bis bermuatan sarat penumpang dibajak di jalan padat di Jakarta, Jalan Juanda atau di depan Bina Graha. Itu menurut catatan Syamsul Bachri, Ka Depo J.PPD, yang membawahkan 125 bis Patas (Cepat Terbatas). "Sebelumnya, yang ada cuma pencopetan biasa," ujar Bachri kepada TEMPO. Ketika itu, sekitar pukul 2 siang, bis Patas PPD 2 jurusan Kota-Cililitan bermuatan hampir penuh sedang melaju di Jalan Juanda menuju ke arah Pasar Baru. Ini adalah jalan besar dua arah yang dipisahkan oleh Sungai Ciliwung -- di salah satu sisi jalan itu terletak Gedung Bina Graha, kantor Presiden RI. Ketika Warta, kenek bis itu, tengah menagih ongkos penumpangnya, tiba-tiba kedua tangannya diringkus seorang pemuda bertubuh kekar. Warta dipiting, pisau lipat ditodongkan ke lehernya. "Saya dijaga oleh empat orang," cerita Warta lagi. Sopir bis, Prison, 35 tahun, diperintah penjahat agar tetap menancap gas. Pendeknya, tak boleh menaikkan atau menurunkan penumpang. Pembajak pun beraksi. Empat orang dari mereka merampasi perhiasan, jam tangan, atau apa saja milik penumpang. Tanpa seorang pun di antara 40 penumpang itu berani melawan. Yang sayang barang, akibatnya fatal. Kartini Istar, 40 tahun, bersama anaknya, Lilis, 19 tahun, dan keponakannya, Wiwin, 16 tahun, menolak menyerahkan kalung emas mereka. Tiga orang bajingan itu memukuli wanita-wanita malang itu. "Mereka memukul dengan tangan kosong. Muka mereka ditampar, rambutnya ditarik-tarik," masih cerita Warta. Sudah menderita begitu, kalung emas tiga wanita itu tak juga bisa dipertahankan. Ketiganya pingsan dan akhirnya diangkut ke RS Dharma Husada. Ada lagi Andri. Kalung emas mahasiswa Universitas Borobudur itu seberat enam gram disabet kawanan itu berikut dompetnya berisi Rp 50 ribu. "Ya, saya merasa tak mampu melawan, jadi diam saja," ujarnya kemudian. Nasib sial juga menimpa Sukardi, asal Cibinong. Ia terpaksa merelakan dua buah cincin emas dan arloji "Titus" kesayangannya. Kerugiannya sekitar Rp 600 ribu. "Ya, lebih baik selamat, Mas," ujarnya. Agaknya, itulah "ongkos" bis termahal Kota Cililitan yang pernah dibayarnya. Di pintu kereta api Jalan Pintu Air, delapan pembajak itu kabur dan lari berpencar arah. Barulah 40 penumpang itu ramai berteriak, "Maling ... Rampok ... Copet ... Bangsaaat!" Tapi, tampaknya, sopir bis sudah pasrah, terus saja melaju ke halaman Pos Polisi Pasar Baru. "Habis, kalau berhenti juga tak ada penumpang yang mau mengejar," kata Prison. Delapan pembajak tadi memang nekat, tapi Herri Susanto lebih berani lagi. Sekitar pukul 8, 20 Maret lalu, pemuda berbadan gempal dan berkulit hitam ini dengan santai memasuki halaman rumah dr. Johan Karnadi di kawasan Kuningan Timur, Jakarta Selatan. Pagi itu, seperti biasanya, Ramli, sopir Johan, tengah membersihkan mobil. Tiba-tiba sebuah golok sepanjang 30 cm menempel dilehernya. Bagai yang punya mobil, Herri kemudian minta STNK sekaligus kunci kontak mobil. Tak ada jalan lain, Ramli menyerah. Waktu Herri duduk di belakang kemudi, Ramli langsung berteriak. "Rampok ... rampok ...," jeritnya berulang kali. Herri melarikan Honda Civic tadi ke arah Jalan Gatot Subroto. Kebetulan, serombongan polisi di sebuah mobil patroli melihat Honda Civic itu melaju ugal-ugalan. Kejar-kejaran pun terjadi. Rupanya, dengan sebuah mobil yang dicegatnya, Ramli juga ikut mengejar Herri. Balapan pun menjadi seru. Sebuah Honda Civic dikejar dua mobil. Ketiganya melaju dengan kecepatan tinggi, di tengah kemacetan yang biasa melanda Jalan Gatot Subroto di pagi hari semacam itu. Akhirnya, polisi berhasil menghentikan Herri, dengan jalan menabrak mobilnya. Kini Herri -- yang kabarnya, sering terlibat berbagai kasus perampokan di Bogor dan sekitarnya -- meringkuk di tahanan Polsek Setiabudi Rabu malam pekan lalu, keributan juga terjadi di "Bar President" di Jalan Sulawesi, Tanjungpriok, Jakarta Utara. Entah dari mana mulanya, sekitar pukul 11 malam itu terjadi perkelahian antara Kandes Sitorus dan tiga orang tamu di bar itu. Pengelola bar, Budiman Butar-butar, melerai dan untuk sementara kericuhan bisa dicegah. Tapi, sekitar pukul 12 malam, saat Budiman keluar bar, mendadak ia diserang dua pemuda yang melakukan kerusuhan di dalam bar tadi. Budiman mencoba melawan. Tapi, lima pemuda lain segera datang dan menghajar habis warga Semper Barat, Jakarta Utara, ini. Tubuhnya diinjak-injak, kalung emas 40 gram, jam tangan yang dipakainya juga bersih dilalap kawanan itu. Untung, kejadian itu dipergoki seorang anggota Resmob Polda Metro Jaya. Keruan saja kawanan itu kabur. Yang tertangkap cuma seorang, Iskandar, 25 tahun. Dengan mobil kijang patroli polisi, Iskandar dibawa ke pos polisi. Toh Iskandar masih berusaha mengelabui petugas. Sewaktu mobil sampai di Jalan Bukit Kebonbawang, Tanjungpriok, Iskandar menunjuk sekelompok anak muda yang tampak tengah 'begadang'. "Merekalah teman-teman saya," ujar Iskandar lantang. Tapi, begitu petugas membuka pintu mobil, Iskandar -- yang tak diborgol -- melarikan diri menembus gelap malam. Tak ampun lagi, akhirnya sebutir peluru menghentikan langkah pemuda tamatan SMA itu. Ia mati dalam perjalanan menuju RS Polri Kramatjati. Tinggallah keluarganya yang meratapi kepergian Iskandar. "Saya tak mengira ia bisa berbuat senekat ini," ujar Hayati, ibu Iskandar. Kadispen Polda Metro Jaya Letkol. Pol. Latief Rabar memastikan Iskandar memang bersalah. "Bukti-buktinya cukup kuat," ujar Rabar. Ditegaskannya, aparat Polda Jaya akan menindak tegas setiap pelaku kejahatan. Termasuk yang di bis Patas tadi. "Polisi sudah mencium sarang mereka," kata Rabar lagi. Agaknya, memang, sudah perlu tindakan yang lebih keras lagi. Toriq Hadad, Herry Mohammad, dan Muchlis HJ (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini