PENONTON yang kecanduan film cowboy Amerika lama-lama akan tahu juga, bahwa salon, bank, kantor syerif, dan kandang kuda yang mereka lihat itu semuanya cuma sekadar sulapan di studio. Tapi kalau crew TVRI harus menghadirkan suasana pasar, misalnya, apakah untuk itu mereka punya studio juga? Ternyata, penonton tidak usah kecewa, karena pasar yang mereka lihat di sinetron TVRI adalah pasar sebenarnya. Namun, dengan cara begitu, shooting di tempat umum jelas banyak risikonya. Pemotretan bisa tak lancar dan banyak suara mengganggu. Deru mobil atau jerit penjual ikan, misalnya. Ali Shabab, 48 tahun, mengambil jalan pintas. Ia membangun studio alam, di atas tanah 2 ha di Desa Palasari, Cimacan, Jawa Barat. Namanya "Studio Alam Fokus" yang bernaung di bawah bendera swasta, PT Sentra Fokus. Modalnya? "Di atas Rp 500 juta," kata Ali tanpa menyebut jumlah persisnya. Di sana, sutradara 20 film itu bisa lebih leluasa menata lokasi film. Mau di pinggir danau, oke, di kamar makan boleh. Semuanya bebas dari gangguan umum. "Saya tidak mau capek mencari-cari lokasi dan mengemis macam-macam," kata Ali, yang sejak 1979 sudah merintis pembuatan video dokumenter. Ide untuk memiliki studio alam pribadi ini muncul sekitar delapan tahun lalu," kata Ali Shahab. Tepatnya, ketika ia -- masih bersama Rahayu Effendi memimpin PT September Promotions (Sepro) -- mulai menggarap sinetron TVRI Rumah Masa Depan (RMD). Ketika itu ia mengusulkan ke pihak TVRI agar menggarap RMD di luar studio TVRI, yakni dibekas tempat pembuangan sampah, di Desa Sukmajaya, Cimanggis. Usul ini terlaksana, akhirnya. Di sanalah dilakukan pemotretan sebagian besar dari 29 episode RMD paket pertama. Sementara itu, diam-diam Ali Shahab berupaya terus. Ia mulai mencicil tanah. "Bisa 2.000 meter. Lain waktu 3.000 meter. Pokoknya tergantung kondisi keuangan. Kami semua kan sektor ekonomi lemah," katanya tersenyum lebar. Belakangan usahanya ini terpacu oleh tawaran BKKBN, yang bersama TVRI ingin melanjutkan serial RMD. Tawaran itu diterima Ali Shahab, seluruhnya 15 episode, dengan biaya Rp 25 juta sampai 40 juta untuk satu episode. Studio alam milik Fokus kini baru "bermain" dengan satu rumah yang menjadi kediaman keluarga Sukri -- tokoh sentral RMD. Rumah itu berupa rumah jadi dari beton. Jika kamera memotret suasana belakang rumah, tampaklah jajaran Gunung Gede dan Gunung Salak. Jika mengambil sudut muka, terlihat hamparan air danau dan sebuah air terjun buatan. "Saya lebih bebas mengambil sudut pemotretan," kata Ali. Katanya, pembangunan studio alam ini memang sangat terencana. Pasalnya, sebelum dibangun, ia sudah menentukan sudut-sudut mata kamera. Sedangkan kalau menyewa rumah orang lain, seperti yang selama ini lazim dilakukan, ia serasa dihadapkan pada banyak hambatan. "Mau meletakkan kamera di tempat yang bagus, ketabrak dinding rumah itu. Belum lagi keributan di sekeliling rumah." Dengan setting baru itu, sudah lima episode RMD diselesaikan hanya dalam tempo 21 hari shooting. "Artinya, satu episode hanya memakan waktu empat seperlima hari," ujar Ali. Setelah itu, film akan diolah di studio itu juga. Dalam mekanisme kerja yang ditunjang oleh studio dan peralatan baru itu, kini Ali Shahab sudah bisa memperkirakan "hasil akhirnya". Ini dimungkinkan karena adanya ruang kontrol dengan consult box. Di situ diletakkan perangkat video, tempat sang sutradara mengontrol shooting di bawah, sambil memberikan aba-aba jika ada yang kurang. Singkatnya, dengan video itu, Ali sudah bisa menilai apakah pengambilan gambar di bawah sesuai dengan yang diinginkannya atau tidak. Kecanggihan itu juga yang diperhitungkan oleh TVRI dan BKKBN ketika menawarkan 15 serial baru RMD kepada Ali Shahab. Dalam kontrak antara lain disebutkan, serial harus dishoot dengan kamera high band. "Supaya bisa dijual ke luar," kata Husein Aziz, Kepala Stasiun TVRI Jakarta. Potensi artistik ini dipujikan oleh Husein, sementara TVRI tetap akan membuat sinetronnya di studio Cimanggis. Studio yang diresmikan pada 1987 itu, menurut Husein, akan disempurnakan secara bertahap. Hambatannya, ya, karena dana terbatas. Di pihak lain, Ali Shahab, yang pernah disanjung oleh para kritikus karena keberhasilan sinetronnya yang berjudul Juragan Sulaeman itu, kini memusatkan kegiatannya pada pembangunan fisik studio alam di Cimacan itu. Di situ akan dibangun lima rumah lagi -- masing-masing mewakili arsitektur daerah. Tapi buat apa? "Kalau memerlukan lokasi di luar kota, di Gunungkidul, misalnya, eksteriornya kita ambil di sana, tapi shoot interiornya bisa di studio ini," Ali menjelaskan. Seiring dengan itu, Fokus juga siap dengan peralatan yang lebih canggih. Kamera, misalnya, menggunakan perangkat multiple system. Menurut Ali Shahab, dengan kamera high band seperti itu, akan dihasilkan shot yang warnanya jauh lebih bagus dan berdaya tahan lebih tinggi. Rupanya, ia jera dengan penggunaan low band. "Karena tidak memenuhi persyaratan penyiaran di negara-negara lain," katanya. Kini dengan high band, Sentra Fokus siap menjual RMD ke Singapura, Malaysia, dan Brunei. Ali Shahab mengakui bahwa perjalanan idealisme seorang seniman, pada akhirnya akan bermuara ke bisnis. "Idealisme melahirkan kreativitas. Tapi kreativitas ditambah manajemen menjadi bisnis," ujarnya. Ali memulai kariernya sebagai wartawan, novelis, dan sutradara teater, meskipun ketika lulus dari ASRI ia bercita-cita menjadi pelukis. Namun, lukisan memang tak selalu harus di atas kanvas. Di atas pita video pun, orang bisa melihat gambar yang indah. Bunga S. dan Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini