MAJELIS Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terpaksa memvonis perkara "penyelundupan Kemayoran" tanpa hadirnya terdakwa utama Ir. Djerman Hamid, 46. Direktur PT Multi Episode itu ketika putusan dibacakan Hakim Setiawan sedang berada di Rumah Sakit Persahabatan, karena menderita radang limpa. Keputusan hakim tanpa hadirnya terdakwa itu - bukan perkara in absentia - merupakan yang pertama kali terjadi sejak KUHAP membuka kemungkinan untuk itu. Dalam persidangan koneksitas, Senin pekan lalu itu, majelis hakim menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara (5 1/2 tahun untuk kejahatan korupsi dan 4,5 tahun untuk pidana ekonomi) serta denda Rp 20 juta. Terdakwa kedua, Letnan Kolonel (Pol.) Abdul Hakam, 51, pada hari itu juga diganjar 9 tahun penjara ditambah denda Rp 20 juta. Ketua Majelis Hakim, Setiawan, menunjuk pasal 96 KUHAP sebagai landasan hukum dari vonis tanpa tersangka itu. Pasal itu memang membenarkan hakim memutus perkara - dalam hal terdakwa lebih dari satu orang - tanpa dihadiri semua terdakwa. Menurut Setiawan, keputusan itu diambil karena Djerman sudah dua kali tidak bisa hadir untuk mendengarkan vonisnya. "Saya kurang tahu, seberapa jauh hak saya dirugikan akibat keputusan semacam itu," ujar Djerman, di rumah sakit. Pembelanya, Hotma Sitompul dan Minang Warman, sempat juga menyesali keputusan hakim itu. "Walau KUHAP mengizinkan, hakim tidak harus menjatuhkan hukuman tanpa hadirnya terdakwa," ujar Hotma. Apalagi, kata Hotma, pihaknya hanya meminta hakim mengundurkan sidang dua hari lagi, sesuai dengan rekomendasi dokter yang merawat kliennya. "Yang menjadi pertanyaan bagi saya, kenapa hakim memutus perkara itu tergesagesa. 'Kan lebih sempurna bila Djerman bisa hadir pada sidang penentuan itu," kata Hotma. Karena itu pula Hotma dan Minang Warman menilai persidangan itu dilakukan hanyalah untuk mencapai "target tertentu." Target atau tidak, "penyelundupan Kemayoran" memang penyelundupan luar biasa, yaitu tidak dengan memanlpulasikan dokumen untuk mengeluarkan barang-barang dari pelabuhan. Mereka menempuh cara "tembak langsung", 6, 7, dan 9 November 1983. Di persidangan terungkap bahwa pengusaha cargo itu semula mencarter pesawat Sempati untuk mengangkut barang-barang komputer milik pabrik pesawat terbang Nurtanio. Djerman pula yang meminta pesawat itu di terbangkan pada malam hari dengan alasan, konon, peralatan komputer itu memerlukan suhu yang dingin dalam perjalanan. Ternyata, yang masuk dari Singapura ke Kemayoran kemudian bukanlah peralatan milik Nurtanio, melainkan barang-barang dagangan, seperti pakaian, elektronik, dan kelontong lainnya. Untuk pengamanan pengeluaran barang-barang itu, Djerman bekerja sama dengan petugas-petugas pelabuhan udara Kemayoran, di antaranya Abdul Hakam, Letnan Dua Soekarno, petugas bea cukai (Djahruddin), dan petugas Satpam (Soeroso Achmadi). Berkat pengawalan petugas-petugas itulah, semua barang yang diselundupkan bisa keluar langsung dari Kemayoran, dan dibawa ke rumah Djerman di Jalan Besuki, Jakarta Pusat. Di persidangan terpisah, Soekarno, Djahruddin, dan Soeroso Achmadi di hukum masing-masing sekitar 8 tahun penjara. Selain mereka, kejaksaan juga mengajukan ke pengadilan para pemilik barang. Menurut Majelis Hakim, pemeran utama dalam kasus "tembak langsung" itu tiada lain dari Djerman dan Abdul Hakam. Djerman-lah, katanya, yang mencarter pesawat, menghubungi petugas, mencari muatan, dan kemudian memberi imbalan kepada petugas-petugas yang mengamankan barang itu. Abdul Hakam, menurut hakim, sebagai kepala Seksi Satpam Pelud Kemayoran, berperan penting karena dipatuhi anak buahnya untuk mengamankan pemasukan barang-barang haram itu. Tapi Djerman menuduh putusan hakim tidak adil. "Tidak semua pihak yang terlibat dalam kasus itu diperiksa intensif," ujar Djerman. "Kalau kejadian itu hanya satu kali, masih bisa diterima, tapi ini dilakukan sebanyak tiga kali berturut-turut, kata Djerman. sebab itu, ia menuduh, semua terhukum hanyalah korban "yang diatur". "Perkara ini sudah diatur dari atas, kami ini hanya korban permainan itu," kata Djerman, yang merencanakan naik banding atas putusan itu. Benar atau tidak tuduhan terhukum, kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Bob Nasution, merasa puas atas selesainya perkara itu. "Perkara itu mendatangkan hikmah bagi penegak hukum, karena begitu kasus itu terbongkar, keluar keputusan bersama Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan Keamanan untuk membentuk tim koneksitas tetap guna menyidik perkara semacam itu," kata Bob. Menurut Bob, berdasarkan KUHAP, untuk t)erkara van melibatkan oknum ABRI dan sipil harus dibentuk tim penyidik koneksitas yang terdiri dari unsur-unsur kepolislan, kejaksaan, dan polisi militer. Namun, tim tetap itu tidak pernah dibentuk sampai terjadinya kasus "penyelundupan Kemayoran". Barulah, akhir Desember lalu, tim tetap itu terwujud, baik di pusat maupun di daerah. "Jadi, kasus itu melahirkan lembaga baru," tambah Bob.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini