Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Memburu Batman di Tengah Krismon

Mengkoleksi komik superhero kini juga menjadi kegemaran orang dewasa.

6 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ARTIS sinetron Marcelino Lefrandt, bintang serial televisi Bidadari, menyukai komik Superman, Flash, dan Green Lantern. Ia terutama menyukai Superman, yang digandrunginya sejak masih duduk di sekolah dasar. "Gambarnya sangat realistis dan karakter tokohnya manusiawi," tuturnya. Hanya kesibukan syuting sinetron itu—tempat ia bermain sebagai ayah—yang katanya bisa menghalangi dia berburu komik kegemaran dari mal ke mal. Marcelino tidak sendirian. Di P&J Hobby Shop, sebuah kios di sudut Mal Kelapa Gading, Jakarta, remaja dan orang dewasa hampir senantiasa berkerumun memelototi komik-komik superhero buatan Amerika itu. Kios ini memang salah satu surga penggemar komik impor orisinal di Jakarta. Di situ orang bisa menemukan beragam komik dari berbagai penerbit aslinya: Detective Comics, Marvel Comics, Image, Vertigo, Top Cow, dan Wild Storm. Sementara anak-anak kecil sekarang cenderung menyukai komik-komik buatan Jepang, seperti Tsubasa dan Conan, generasi lebih tua tetap gandrung mengkoleksi superhero Amerika yang sudah jauh lebih lama dikenal seantero jagat, bahkan menjadi ikon dunia. Sebut saja Batman, Superman, Green Lantern, dan Wonder Woman yang dikeluarkan Detective Comics, atau Spiderman, X-Men, Hulk, dan Fantastic Four yang dikeluarkan Marvel. Penerbit-penerbit Amerika itu menghadirkan menu yang sama: superhero, pembela kebenaran, dan para penyelamat dunia. Komik mereka selalu tampil dengan teknik grafis dan lukis yang nyaris sempurna. Formatnya hampir selalu sama. Berisi kurang-lebih 30 halaman (10 halaman biasanya berisi iklan) dalam setiap seri bulanannya. Namun, P&J Shop juga bukan satu-satunya. Di kawasan Pondok Pinang, Jakarta, ada kios serupa bernama Utopia, dan di Bandung ada Planet Comic. Utopia didirikan oleh Karli Haryono, seorang kolektor komik kakap yang sebelumnya telah membuka gerainya di Mal Pondok Indah. Karli dikenal pula sebagai pelopor toko komik impor di Indonesia sejak awal 1990-an. Sekitar tahun-tahun itulah memang komik impor Amerika mulai deras mengalir ke sini. Sebelumnya, pada 1970-an, komik semacam ini hanya bisa ditemukan dalam bentuk terjemahan, antara lain diterbitkan oleh Penerbit Maranatha di Bandung. "Hingga akhir tahun 1980-an, komik asli impor dari Amerika masih sulit ditemukan," ujar Hikmat Darmawan, pengamat dan kolektor komik. Menurut Hikmat, komik seperti itu digemari orang dewasa dari kalangan menengah-atas Indonesia. Alasannya berbeda-beda. Tak hanya karena karakter tokohnya, tapi juga karena artis penggambar dan penulis cerita komiknya. Imansyah Lubis, karyawan perusahaan teknologi informasi di Batam yang mengoleksi 3.000 lebih komik, menyukai komik Batman keluaran Detective Comics yang ditulis Paul Dini dan digambar Bruce Timm. "Ceritanya hampir tak pernah happy end, selalu bitter-sweet." Dalam serial Mad Love, Batman justru dikalahkan Harleyquinn, kekasih Joker yang menjadi musuh bebuyutannya. Sayang, Joker tidak terima karena bukan dia sendiri yang mengalahkan. Alhasil, malah Harleyquinn yang diserang dan dilempar dari atas gedung. Sementara itu, dari segi grafis, "Tarikan garis gambarnya lebih ke animasi kartun," kata Imansyah. Kekuatan grafis dan gambar memang merupakan salah satu faktor utama sebuah komik diburu para kolektor. Firman Halim, desainer kreatif biro iklan Lowe Lintas di Jakarta, menempatkan kriteria pada urutan atas. Dia kini mengkoleksi lebih dari 3.000 jilid, dan sekitar 80 persen di antaranya serial Batman yang diterbitkan Detective Comics. Hal serupa diakui Isworo Ramadhani, mahasiswa Desain Grafis Institut Kesenian Jakarta, yang mengatakan komik lebih menjadi sumber inspirasinya. Ada juga yang suka karena karakter tokohnya sentimentil. "Saya mulai mengkoleksi serial Spawn setelah melihat sang superhero menangis melihat keluarganya mati dibantai," kata Awaludin, seorang desainer grafis. Menurut Hikmat Darmawan, puncak kegemaran terhadap komik impor sebenarnya terjadi pada 1997, persis sebelum krisis moneter melanda Indonesia. Saat itu komik yang di negeri asalnya seharga US$ 2-5 dijual Rp 7.000-10.000. Dengan nilai tukar sekarang, komik yang sama bisa mencapai Rp 20.000-50.000. Itu pun hanya komik yang terbit bulanan. Komik edisi khusus, collectors item, bisa selangit. Format trade paperback (TPB) yang membundel beberapa serial sekaligus bisa dijual Rp 200 ribu hingga Rp 500 ribu per eksemplar. Terlebih jika sebuah komik dinobatkan masuk dalam 10 Komik Terlaris di majalah bulanan Wizard. Meski menjadi jauh lebih mahal, banyak penggemar komik impor tetap bertahan memburu koleksinya. Firman Halim, yang mengumpulkan komik sejak masih mahasiswa pada 1996, mengaku tak terlalu terpengaruh oleh melambungnya harga. Apalagi setelah dia berpenghasilan sendiri. Setiap bulan dia menyisihkan sekitar Rp 500 ribu untuk membeli sekitar 25 judul buku. Namun, kolektor lain mengaku kini lebih selektif. Isworo Ramadhani kini hanya bisa membeli maksimum dua komik dalam sebulan, sementara sebelum krisis dia bisa mendapatkan delapan judul setiap bulan. Meski begitu, kalau sempat berkunjung ke Singapura, dia menyisihkan anggaran buat beli komik. "Sementara dulu dengan Rp 30 ribu kita bisa dapat enam komik, sekarang cuma satu," kata Imansyah Lubis. Imansyah pun mengakalinya dengan membeli komik Marvel dan Detective Comics edisi terjemahan yang diterbitkan Gramedia. "Yang penting kan ceritanya," tuturnya, "Dengan anggaran Rp 250 ribu, saya tetap bisa belanja 10 komik sebulan." Penghematan memang terpaksa dilakukan demi hobi yang memang tidak murah ini. Tak jarang sesama penggemar saling tukar atau menumpang baca koleksi komik. Tapi praktek seperti ini bisa memicu "perang saudara". Marcelino, bintang sinetron Bidadari itu, tak selalu suka koleksinya dibaca orang lain. Takut lecek dan kotor. "Saya akan memelototi teman ketika mereka membuka halaman demi halaman, sehingga mereka sering justru tak jadi membacanya, ha-ha-ha…," ceritanya. Dalam perawatan pun kolektor harus ekstrahati-hati. Selain menyediakan rak khusus, biasanya plastik pembungkus dari toko tidak dilepas. Isworo bahkan terkadang sengaja membeli dua eksemplar per judul. Satu disimpan, lainnya dibaca. Seperti jenis benda koleksi lainnya, komik bisa mendatangkan kekayaan besar—meski sering kali di atas kertas, kecuali jika suatu ketika bisa dilelang. Isworo merasa beruntung mendapati serial Incredible Hulk yang dibelinya pada 1990-an dengan harga standar. Harganya sekarang mencapai Rp 700 ribu. "Ini menjadi special issue karena di serial inilah Wolverine dari X-Men memulai debutnya," kata Isworo. Marcelino bahkan tak sekadar memburu komiknya. Aneka merchandise-nya pun, yang berkaitan dengan superhero kesayangan, dia buru. Dalam hal ini dia mengaku sering bersaing dengan sutradara Rizal Mantovani, yang menggilai tokoh Superman. Mereka berdua pernah berebut sebuah patung Superman dan Doomsday (tokoh antagonis) yang dijual sebagai penahan buku di sebuah toko komik di Jakarta. "Rizal lebih cepat menyabetnya," kata Marcelino. Endah W.S.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus