BUKAN cuma pistol, tampaknya, yang perlu dibenahi. Di samping salah tembak, ada pula salah tangkap. Sebuah contoh ada di Medan. Suatu malam, Kopda M. Noor, Serka Soeharto, dan Lettu Abdul Halim mendapat info. Armen, buron yang selama ini dicari-cari karena telah melakukan pembunuhan, berada di kompleks Medan Fair. Benar. Di pasar malam yang ramai itu terlihat seorang pemuda berwajah oval, kulit kuning bersih, dan tinggi 170 cm. Ia mengenakan kemeja merah. Itu semua sesuai dengan informasi. Maka, tak menunggu lebih lama lagi, tiga polisi itu menyergap, memborgol, dan membawa "Armen" ke kantor polisi. Tapi pemuda ganteng dengan rambut gondrong itu menyangkal telah membunuh. "Saya bukan Armen. Saya Aidil, penyanyi, anak jaksa," begitu pengakuannya. Celaka. Penjelasan itu, yang membawa-bawa nama jaksa - yang ternyata kemudian memang benar adanya - oleh polisi dikira untuk menggertak. Hantaman jadi kian bertubi-tubi dilakukan oleh polisi. Serka Soeharto meraih sepotong balok kayu, dan dengan ayunan sekuat tenaga ia memukul tulang kering kaki kanan tangkapannya. Brak, orang yang dikira Armen menjerit, tulang keringnya patah. Itu semua terjadi lebih dari 10 tahun yang lalu. Belakangan diketahui, polisi telah salah tangkap. Itu diketahui ketika Armen, tersangka pembunuh yang sebenarnya, bisa diringkus. Maka, ketiga anggota Poltabes Medan yang menganiaya Aidil, yang memang anak seorang jaksa, kemudian diadili. Kopda M. Noor dan Lettu Abdul Halim dihukum 3'2 bulan, sedangkan Serka Soeharto kena 7 bulan. Namun, kaki Aidil sudah telanjur cacat. Ke mana pergi, penggesek biola berhidung mancung ini harus ditopang tongkat di bawah ketiaknya. Usman Walad, sang ayah, yang trenyuh melihat nasib Aidil lalu menggugat lewat pengadilan. Ia minta ganti rugi Rp 15 juta, pengadilan memutuskan Rp 3,1 juta saja. Uang itu mesti dibayar secara tanggung renteng oleh ketiga penganiaya korban. Tak segera uang gugatan itu bisa dibayarkan. Sampai akhirnya Kapolri Jenderal Awaluddin Djamin ketika itu (1978) turun tangan. Ia memerintahkan agar ketiga anggota Poltabes - tahun itu mereka semua telah bebas, dan kembali bertugas sebagai polisi membayar kepada Aidil seperti yang sudah diputuskan pengadilan Medan. Dan karena ak ada uang kontan, sebesar 50% gaji mereka tiap bulan dipotong. Selama tiga tahun barulah "utang" mereka lunas. Dan selama itu, mereka benar-benar merasakan hukuman itu. "Terima gaji 100% saja kurang, apalagi hanya 50%," kata salah seorang di antaranya kepada Monaris Simangunsong dari TEMPO, pekan lalu. Bagaimanapun Aidil, kini 30-an tahun yang sampai kini masih suka membawakan lagu ciptaannya sendiri, Alangkah Sedihnya Disiksa Polisi - termasuk yang mendapatkan ganti rugi. Berapa orang - termasuk Sengkon dan Karta (almarhum) - yang harus menderita azab karena salah tangkap, tak memperoleh santunan apa pun. Dan mencari jalan keluar yang ini, agaknya tak semudah memecahkan soal salah tembak. Ada yang bilang, pendidikan polisi perlu ditingkatkan. Misalnya, pernah dikatakan sendiri oleh Harsja W. Bachtiar, Dekan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, ilmu-ilmu sosial dan psikologi sama pentingnya dengan kemahiran menembak, bagi polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini